HIDUPKATOLIK.com – “Bapak Kardinal adalah pribadi yang memiliki keutamaan lepas bebas atau kemerdekaan batin yang kokoh. Hal ini tampak ketika Beliau mencapai usia purna tugas sebagai kardinal, Beliau langsung mengambil keputusan untuk berhenti total dan langsung mohon untuk masuk Emmaus, atau rumah bagi para Jesuit yang sudah purna tugas.
Bagi banyak romo dan bruder Jesuit, Emmaus merupakan tempat yang ‘menakutkan’ atau lebih tepatnya ‘pensiun’ merupakan masa yang menakutkan. Situasi tidak lagi memiliki pekerjaan, otoritas, kesibukan merupakan situasi yang tidak mudah diterima. Dalam hal ini Bapak Kardinal merupakan salah satu dari sedikit pribadi yang dengan merdeka menerima saat ‘berhenti’ dari tugas dan menjadi pendoa bagi Serikat Yesus dan Gereja.
Beliau juga seorang pribadi yang otentik dalam mengembangkan hidup rohani. Beliau mengakui bahwa pada awalnya tidak mudah. Tetapi dalam perjalanan waktu, Beliau sungguh bisa menemukan perutusan Berdoa bagi Gereja dan Serikat Yesus menjadi rahmat membantu diri menjadi semakin mendalam. Sekalipun perutusan menjadi pendoa bagi Gereja dan Serikat Yesus tidak selalu mudah, Beliau menekuninya. Kedalaman Beliau tampak nyata dalam kesederhanaannya.
Sebagai Provinsial Serikat Yesus, saya selalu memiliki kesempatan untuk mengadakan pembicaraan rohani, minimal setahun sekali dengan Beliau. Hal yang selalu menyentuh hati saya adalah ‘kedalaman Beliau’. Bapak Kardinal adalah pribadi yang sangat dalam. Beliau sangat kaya akan pengalaman sebagai Jesuit, uskup agung dan kardinal. Setiap kali saya mendengarkan sharing Beliau, saya selalu terinspirasi. Saya selalu mendapat ‘insight’ yang bisa saya tularkan kepada rekan-rekan.
Bapak Kardinal adalah pribadi dengan talenta cura personalis yang otentik. Ketika Beliau tinggal di Emmaus, Beliau selalu menyempatkan diri hadir untuk menghibur para romo, bruder dan suster yang ‘kesripahan’ atau ‘berduka cita’.
Bagi saya pribadi, kemurahan hati Beliau untuk menyediakan waktu untuk ‘melayat’ keluarga yang berduka merupakan keutamaan yang luar biasa. Beliau adalah teladan gembala yang ‘memperhatikan’ domba-dombanya dengan kemurahan hati yang sedemikian dalam.
Akhirnya yang juga sangat luar biasa adalah ketekunan Beliau. Sekalipun sudah pensiun, Beliau masih aktif menulis dan tekun memberikan refleksi untuk Majalah Salam Damai. Beliau juga menerbitkan buku Terlahir untuk Mengabdi yang merupakan buah ketekunan Beliau, mengumpulkan seluruh pengalaman bagaimana Beliau memberikan hidupnya bagi Gereja dan Bangsa. Ad Maiorem Dei Gloriam.”
Antonius E. Sugiyanto
HIDUP NO.46 2019, 17 November 2019