HIDUPKATOLIK.com – Aspek geografis yang sulit, tidak menghentikan pewartaan sabda di Agats agar api semangat Injil terus menyala.
Kumpulan lempeng kayu berbaris rapi membentuk jalan-jalan setapak di atas rawa. Semakin dekat melangkah terlihat tulisan “Selamat Datang di Asmat” terpampang lebar menyambut siapa saja yang hadir untuk menyaksikan salah satu kekayaan suku dan budaya Indonesia. Asmat dikenal sebagai negeri seribu papan. Sebutan ini muncul karena kondisi Asmat yang berlumpur. Hampir tidak ada tanah kering sehingga infrastruktur jalan semua terbuat dari jembatan papan meskipun saat ini di beberapa area juga sudah ada jalan beton.
Dahulu akibat kondisi Asmat yang berlumpur dan maraknya peperangan antar masyarakat, membuat wilayah ini dipandang sebelah mata oleh pemerintah Belanda. Kemudian baru diketahui, bahwa seluruh Asmat menyimpan berbagai macam kekayaan alam yang luar biasa.
Terdapat hutan-hutan yang ditumbuhi pohon bakau, palma, dan pandan. Satu yang istimewa di daerah ini adalah adanya kayu besi. Kayu ini sangat kuat dan biasa digunakan sebagai bahan bangunan. Masih ada lagi, di tanah ini tumbuh kayu gaharu yang nilai jualnya sangat tinggi. Dari beragam tanaman itu, pohon sagu bermanfaat sebagai makanan pokok masyarakat Asmat.
Bahkan hingga kini, masyarakat Asmat dikenal sebagai masyarakat peramu. Kadang, mereka juga harus berperang untuk menjaga wilayah kekuasaan. Sungai dan laut menjadi jalur transportasi utama, yang menghubungkan wilayah satu dengan yang lainnya. Tak jarang, Asmat disebut juga sebagai negeri seribu sungai.
Masyarakat ini memiliki kepercayaan bercorak animisme. Kepercayaan ini dituangkan lewat ritual adat dan juga dalam bentuk-bentuk patung dan ukiran.
Tanah Lumpur
Awal 1900-an wilayah Selatan Papua, dulu disebut Irian Jaya, termasuk wilayah Asmat, mulai diinvasi oleh Belanda. Pada 1936, Belanda membangun pos pemerintahan di wilayah Asmat. Seorang bernama Felix Maturbongs, saat itu menjadi Bestir Assistant di Asmat (1938-1943). Felix mendatangkan tukang-tukang dari Kepulauan Kei untuk membangun kompleks pemerintahan ini. Oleh masyarakat Asmat, pos pemerintahan yang dibangun dianggap baik dan bagus sehingga dengan bahasa setempat disebut Akat. Konon menurut cerita, orang Belanda sulit mengucapkan kata Akat. Lambat laun, kata “Akat” ini akhirnya berubah menjadi Agats.
Pada 1936, Pastor Herman Tillemans, MSC, mengunjungi wilayah Asmat bagian Utara. Ia berlayar menggunakan perahu dayung dari pusat Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) di Mimika. Inilah misi pertama di tanah lumpur Asmat. Tercatat pada 1938, Pastor Hendrikus Conelisse, MSC, mengunjungi wilayah Asmat dari Langgur-Kei kemudian membangun dua gereja pertama di Syuru dan Ayam.
Sejak itu guru-guru Katolik dan juga para katekis awal seperti Thadeus Ngaderman, Yoseph Renwarin, Natalis Kelanit, Emerikus Rahawarin, dan Isaias Maturbongs didatangkan untuk mengajar di sekolah-sekolah dasar Katolik pertama di Syuru, Ewer dan Ayam.
Sampai 1941 masih belum ada satu pun orang Asmat yang dibaptis, jadi saat itu umat Katolik di Agats hanya anggota keluarga para guru, katekis dan pegawai pemerintah yang berjumlah sekitar 40-50 orang. Sayangnya, pada masa kependudukan Jepang di Indonesia pada 1943, usaha pewartaan Injil di tanah Asmat harus berhenti. Di bawah kekuasaan Jepang pos pemerintahan Agats yang dimusnahkan sebagai dampak dari Perang Dunia II.
Baptisan Pertama
Sekitar 1950, misi di Asmat kembali dilanjutkan saat Pastor Gerald Zegward, MSC, mengunjungi Asmat. Ia mulai menetap di Asmat pada 1953 dan akhirnya membaptis seorang ibu dari Kampung Syuru. Inilah baptisan pertama bagi orang Asmat. Pusat-pusat misi dibuka di beberapa tempat seperti Agats, Ayam, Yamasj, Sawa-Erma, Atsj, dan Pirimapun demi pewartaan dan pelayanan yang lebih luas. Pada 1956, para suster Putri Bunda Hati Kudus (PBHK) mengelola sebuah Asrama Putri dan membantu pelayan bidang kesehatan di poliklinik Agats.
Pada 26 Februari 1958 terjadi peristiwa penting penandatanganan kontrak kerjasama antara Keuskupan Agung Merauke dengan Provinsi Ordo Salib Suci (Ordo Sanctae Crucis/ OSC) St Odilia dari Amerika Serikat. Kerjasama ini menghasilkan sebuah kebijakan, di mana para misionaris OSC akan mengemban tugastugas pelayanan dan pewartaan Injil di tanah Asmat. Namun saat itu, daerah Basim, Bayun dan Pirimapun tetap dilayani oleh para misionaris MSC.
Pada 15 Desember 1958, empat misionaris OSC pertama datang di tanah Asmat, yaitu Pastor Frank Pitka, Pastor Delmar Hesch, Bruder Joseph de Louw, dan Bruder Clarence Neuner. Akhirnya, tepat pada 1 November 1961, Uskup Agung Merauke, Mgr. Herman Tillemans, MSC, mengangkat Pastor Frank Pitka, menjadi Vikaris Delegatus Asmat. Dengan pengangkatan ini, Pastor Frank bertanggungjawab atas misi di tanah Asmat kepada para misionaris OSC.
Misionaris OSC lalu menambahkan pusat misi baru di daerah Sawa-Erma, Komor, Yaosakor dan Basim. Mereka juga mengutus anggota-anggotanya untuk memperkuat pelayanan dan pewartaan Injil. Sejak saat itu, tarekat lain pun mulai ikut membantu dalam pelayanan dan pewartaan di tanah Asmat. Para suster Tarekat Maria Mediatrix (MM) yang datang dari Langgur dengan empat anggota pertamanya yaitu Suster Sebastiana Lesomar, Suster Margareta, Suster Edmunda Takerubun dan Suster Antonina. Seiring waktu, suster-suster MM ini menggantikan tugas dan pelayanan Suster-suster PBHK.
Uskup Agats Pertama
Dalam perjalanan pelayanan dan pewartaan Injil di tanah Asmat, akhirnya Agats ditetapkan sebagai sebuah keuskupan pada 23 November 1969 dengan ditahbiskannya Mgr. Alphonse A Sowada, OSC, sebagai Uskup Agats yang pertama. Sejak saat itu, di bawah penggembalaan Mgr. Sowada, para Krosier (misionaris OSC), para petugas pastoral, dan umat, mulai berlayar lebih cepat demi tumbuh kembangnya benih Injil di tanah Asmat.
Keuskupan Agats di bawah penggembalaan Uskup Alphonse A. Sowada, telah berhasil menyelenggarakan Musyawarah Pastoral (Muspas) sebagai pertemuan tingkat tinggi sebuah keuskupan. Muspas pertama dilaksanakan pada 18-23 Februari 1979 dengan tema “Bersama dan Bersatu dengan Kristus”. Melalui Muspas pertama ini, Keuskupan Agats menghasilkan rencana pastoral lima tahun hingga tahun 1984.
Bahtera Gereja Katolik di Asmat semakin bergerak dengan kedatangan para misionaris baru. Seorang Misionaris Maryknoll, Pastor Vince Cole, MM, menjadi salah satu dari bilangan ini. Para misionaris OSC dari Provinsi Bandung juga hadir, yaitu Pastor Agustinus Made, Pastor Yohanes Widyasuhardjo, Frater Agus Rahmat, dan Frater Bambang, untuk melayani di Paroki Atjs dan Paroki Yaosakor.
Tak berselang lama, misionaris Millhil juga mengirimkan Pastor Joseph Haas, dan Pastor Anton Putman, untuk bertugas di Paroki Senggo. Para suster dari Ordo Santa Ursula (OSU) juga ikut ambil bagian dalam karya pelayanan di Keuskupan Agats yang dimulai pada 13 Oktober 1983. Suster Paulina Gani, mengawali karya Ursulin di Paroki Ewer.
Gereja di Asmat mulai menampakkan perkembangan dalam banyak aspek. Hal ini semakin terwujud dengan bertambahnya jumlah imam yang berkarya, terlebih para imam dari Indonesia. Pada masa awal misi di Asmat, misionaris asing memang mendominasi pelayanan di daerah ini. Para petugas pastoral awam juga menampakkan perkembangan yang cukup signifikan, baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas. Petugas pastoral yang awalnya hanya berjumlah delapan orang di tahun 1980-an, pada tahun 2000 menjadi dua puluh empat orang. Mereka mendapat tugas sebagai tenaga di kantor keuskupan, komisi, dan katekis.
Karena alasan kesehatan, Mgr. Sowada mengajukan pengunduran diri sebagai Uskup Agats pada 9 Mei 2001. Sejak itu, Keuskupan Agats mengalami kekosongan kepemimpinan.
Meski belum memiliki uskup, pada 2001 Keuskupan Agats kembali mengadakan Muspas kedua, tepatnya di akhir Agustus 2001. Tema Muspas kali ini adalah “Kita Umat Allah Bersatu dalam Mewujudkan Dunia Baru di Tanah Papua”.
Muspas itu diselenggarakan sebagai persembahan bagi Mgr. Sowada yang telah mengabdi selama 40 tahun di tanah Asmat. Saat itu, Keuskupan Agats dipimpin Pastor Virgil Petermeier, OSC, sebagai administrator keuskupan.
Uskup Baru
Keuskupan Agats sungguh mengalami berkat Allah karena dalam penantian untuk memiliki seorang gembala baru, Paus Yohanes Paulus II pada 8 Juni 2002 mengangkat Mgr. Aloysius Murwito, OFM, sebagai Uskup Agats. Mgr. Murwito ditahbiskan Minggu, 15 September 2002 dengan moto “In Deo Speravi Non Timebo”, yang artinya ‘Kepada Allah aku percaya, aku tidak takut’ (Mzm 56:5).
Di bawah penggembalaan Mgr. Murwito, identitas Keuskupan Agats sebagai Gereja lokal di tanah Asmat semakin nampak jelas. Gereja dengan karakter yang hidup, kudus dan menjalankan misi begitu mewarnai. Sebagai Gereja yang hidup, Keuskupan Agats memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan iman yang dinamis. Kegiatan-kegiatan mulai dari tingkat paroki sampai tingkat keuskupan selalu diusahakan demi pewartaan Injil yang semakin mendalam dan mendasar. Medan yang berat dan sulit tidak menghalangi semangat uskup, para pastor, petugas pastoral, dan awam untuk bahu membahu.
Tercatat ada tiga kali penyelenggaraan Muspas setelah tahun 2001, yaitu pada tahun 2007 dengan tema “Marilah Sehati, Sepikir dan Seiman dalam Mewujudkan Keselamatan”, pada tahun 2012 dengan tema “Komunitas Basis Kristiani”, dan pada tahun 2019 dengan tema “Keluarga sebagai Panggilan dan Perutusan”. Muspas tahun 2012 digagas dengan harapan bahwa Gereja akan hidup saat anggota-anggota komunitas sering berjumpa dan berkegiatan bersama.
Muspas kelima pada 7-13 Oktober 2019 diselenggarakan dalam rangka Perayaan 50 Tahun Keuskupan Agats yang puncaknya jatuh pada 23 November 2019. Melalui Muspas kali ini, Keuskupan Agats merefleksikan sekaligus memiliki mimpi bagi kehidupan keluarga-keluarga khususnya keluarga Asmat. Keluarga adalah tempat pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga yang baik akan menciptakan lingkungan yang baik, lingkungan yang baik akan menciptakan masyarakat yang baik, masyarakat yang baik akan menciptakan bangsa yang baik, dan tentunya juga menciptakan gereja yang baik. Keluarga Katolik Asmat diharapkan menjadi Gereja kecil yang tumbuh dan hidup dalam kebaikan.
Keuskupan Agats sebagai Gereja lokal juga terus berjuang untuk menjadi Gereja yang menguduskan, sekaligus menjadi Gereja yang menuju kepada kekudusan itu. Pelayanan akan sakramen-sakramen Gereja, terlebih Sakramen Inisiasi sungguh diperhatikan. Perayaan-perayaan Liturgi dengan corak budaya Asmat seringkali mewarnai dan menjadi sarana bagi Gereja untuk bergerak menguduskan dan menuju kepada kekudusan ini.
Sebagai Gereja yang bermisi, Keuskupan Agats selalu berjuang untuk terus menjadi garam dan terang secara khusus bagi masyarakat Asmat. Guna terus menggarami dan menerangi tanah Asmat dengan Injil, Keuskupan Agats di bawah penggembalaan Mgr. Murwito mencoba masuk melalui berbagai aspek kehidupan yang lebih nyata. Bidang pendidikan, kesehatan, sosial ekonomi, budaya dan juga secara khusus pastoral keluarga telah dimulai dan diawali sejak dahulu. Bidang pastoral ini menjadi perhatian khusus. Cara dan arah pastoral terbaik, tepat guna dan tepat sasaran selalu dicari, dicoba dan diterapkan demi terwujudnya nilai-nilai Injil di tanah Asmat.
Keuskupan Agats saat ini telah memasuki usia emas. Tanpa mengesampingkan dan melupakan usaha dan perjuangan para misionaris awal, keuskupan telah mengalami banyak perkembangan. Situasi ini dijiwai oleh semangat dan keinginan untuk terus maju dan mewujudkan kehidupan Injil yang nyata di tanah Asmat. Keuskupan Agats harus menjadi Gereja yang hadir di tengah masyarakat Asmat.
Pada 2 Februari 2019 ditahbiskan imam diosesan pertama bagi Keuskupan Agats, yaitu Pastor Moses Amiset. Peristiwa ini begitu mengharukan, sekaligus membawa sukacita bagi masyarakat Asmat.
Dalam rangka Perayaan 50 Tahun Keuskupan Agats, ada beberapa agenda kegiatan dan pendirian sarana pelayanan yang dilakukan, di antaranya Kirab Salib 50 Tahun Keuskupan Agats dan Jambore Remaja Keuskupan. Selama Kirab Salib, umat mengarak salib dari paroki satu ke paroki di Keuskupan Agats dengan menggunakan perahu. Perarakan ini melintasi sungai dan laut. Peristiwa ini memiliki makna mendalam bagi masyarakat Asmat. Kirab ini mengingatkan perjalanan Injil masuk ke tanah Asmat.
Jambore Remaja Keuskupan diikuti oleh perwakilan remaja-remaja dari seluruh paroki sebagai simbol wajah Gereja masa kini dan masa depan Keuskupan Agats.
Keuskupan juga mendirikan sekolah pertukangan di Atjs. Sekolah ini dirancang dan digagas untuk memberikan pembinaan dan pendampingan dalam hal pertukangan. Sangat diharapkan dari sekolah ini muncul ahli-ahli pertukangan dari masyarakat Asmat.
Menara Salib sebagai monumen sejarah Injil masuk ke tanah Asmat juga akan didirikan di Syuru, tempat pertama kali orang Asmat menerima Sakramen Baptis. Dalam usaha mengembangkan pewartaan iman, Keuskupan Agats akan memiliki stasiun radio yang sebentar lagi mengudara. Mgr. Murwito yang menggagas stasiun radio ini. Ia menginginkan supaya radio nanti mampu menjadi pewartaan iman, sarana yang mampu mendekatkan dan menyatukan umat juga masyarakat secara umum.
Pastor Lucius Joko
(Imam Keuskupan Bogor yang berkarya di Keuskupan Agats)
HIDUP NO.45 2019, 10 November 2019
Selamat pagi, saya mencari kabar tentang Pater Ton, pater yg bertugas di Desa Basim sekitar tahun 1980-an (1985?), yg menjalankan klinik pengobatan tiap pagi di rumahnya. Sy tidak tahu nama asli/formalnya. Panggilannya adalah Pater Ton. Ada 2 Pater Ton saat itu: yg seorang di Desa Agats, sedang menyiapkan sistem komputer. Yg sy cari adalah Pater Ton yg di Basim.
Sy senang sekali bila bisa mengetahui kabarnya, terima kasih
(Baby Ahnan)