Suara Orang yang Terlupa

322

HIDUPKATOLIK.com – Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi tulisan berita di HIDUP, Nomor 37, Tahun ke-73, 15 September 2019 dengan judul “Membumikan Lagu Etnik Liturgi”. Kami ingin menambah/meluruskan hal tersebut.

Menarik bahwa Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesparani Katolik Nasional (LP3KN) mengadakan lokakarya komposisi Musik Liturgi Etnik. Lokakarya ini sesuai dengan cita-cita yang diperjuangkan oleh Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta sejak tahun 1971. Pantas disyukuri, bahwa panitia Pesparani menyadari, bahwa Gereja Katolik di Indonesia tidak hanya punya warisan lagu Barat (Gregorian dan Motet dari abad ke-16), tetapi memiliki tradisi nmusik sendiri. Musik inilah yang ingin diperkenalkan dalam Pesparani yang akan datang.

Namun “lagu etnik liturgi berbagai daerah” sudah ada cukup banyak. Dihasilkan bukan di hotel di Jakarta, tetapi bersama pemusik tradisional dan katekis di hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah, bersama para petani di pegunungan Bintang, Papua. Ada juga yang dibuat bersama para pastor di Getengan Toraja, juga para nelayan di Kepulauan Aru, Maluku Selatan, dan lain-lain.

Tujuannya bukan saja untuk menambah lagu liturgi baru, tetapi untuk memberikan suara kepada orang yang tidak punya suara (karena dilupakan oleh Gereja dan pemerintah di Jakarta). Mereka yang punya budaya dan lagu yang telah diolah menjadi ungkapan iman dan pengalaman hidup yang khas Batak, Nias, Sunda, Dayak, Toraja, Flores, Timor, Sumba, Kei, Tanimbar, Aru, Papua, dan lain-lain.

Lokakarya komposisi diadakan oleh PML pada akar rumput, di tempat di mana budaya hidup dan dihayati. Diadakan dalam kelompok, bukan perorangan, karena lagu baru dimaksudkan untuk umat (dan bukan untuk menonjolkan nama orang). Lokakarya Komposisi PML disiapkan dengan rekaman lagu dan tari tradisional di tempat-tempat itu. Lokakarya juga diadakan bersamaan dengan studi bersama (tanya jawab intensif ) tentang budaya setempat.

Lokakarya Komposisi PML berjalan seperti retret : dengan Misa setiap pagi, dengan uraian teks Kitab Suci atau tema lagu yang akan diciptakan. Lokakarya dijalankan dengan bernyanyi (bukan menulis not) untuk merasakan musiknya, dengan presentasi lagu baru dan tanggapan bersama dalam pleno pada sore/malam hari.

Lagu baru diiringi dengan alat musik tradisional setempat, disusun aransemen paduan suara sesuai dengan gaya musik tradisional. Lokakarya Komposisi diakhiri sesudah enam hari kerja dengan Misa bersama umat paroki setempat. Pada saat inilah sebagian dari lagu baru dipakai. Suatu proses yang tidak gampang namun dirasa seperti dibimbing oleh Roh Kudus.

Sebagai lembaga untuk memajukan Paduan Suara tingkat nasional mungkin LP3KN mengira, bahwa buku Madah Bakti tidak dipakai lagi. Namun ternyata tiap tahun terjual sekitar 80 ribu eksemplar, lagi dan lagi. Madah Bakti edisi 2000 bahkan ditambah dengan 238 lagu terpilih yang khas Indonesia, lengkap dengan aransemen Paduan Suara.

Permasalahnya sekarang, apakah LP3KN ingin memakai lagu yang lahir dalam hotel di Jakarta atau nyanyian yang merupakan “suara orang yang terlupakan”: yakni lagu dari nelayan, petani, pemusik di daerah terpencil yang mengungkapkan iman mereka dalam pantun yang mencerminkan hidup masyarakat yang sesungguhnya?

Karl-Edmund Prier, SJ

HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini