HIDUPKATOLIK.com – Apapun risikonya, akan ia ambil untuk menuntaskan kasus yang ia tangani. Sebagai perempuan, kadang ia tak sampai hati menghukum terdakwa. Ia yakin, masih ada kebaikan di hati setiap orang.
Anak gadis Jawa biasanya terkenal halus dan lembut. Namun, tidak dengan Fransisca Juwariyah. Sisca, sapaan akrabnya, tidak segan-segan berkelahi dengan teman-teman laki-lakinya. Keberanian ini masih ada hingga kini, terlebih dengan pekerjaannya saat ini sebagai jaksa, ia harus berani untuk menghadapi berbagai intimidasi saat menangani berbagai kasus di pengadilan.
Perjalanan Sisca sebagai jaksa dimulai sejak ia lulus SMA. Si pemberani ini mengikuti tes sebagai pegawai kejaksaan dan lulus. Saat itu, ia benar-benar tidak tahu apa itu kejaksaan. Beruntung, ia tidak langsung menjadi seorang jaksa. Sisca ditugaskan sebagai karyawan perpustakaan.
Sisca merasa nyaman dengan pekerjaan itu. Namun, seorang pamannya menganjurkan, agar ia kuliah. “Kalau kamu tidak kuliah lagi, nasibmu sebagai pegawai ya akan begitu-begitu saja,” tutur Sisca menirukan nasihat pamannya.
Kuliah Hukum
Sambil bekerja, tahun 1984 Sisca kuliah hukum selama empat tahun. setelah lulus, ia langsung mengikuti pendidikan sebagai calon jaksa. Ia masih ingat, tugas pertamanya menjadi jaksa ditugaskan di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Sebagai seorang jaksa, Sisca berperan sebagai penuntut di pengadilan. Sepanjang perjalanan kariernya di kejaksaan, ia telah banyak menangani kasus kejahatan. Tak jarang, kasus-kasus itu menyita banyak waktu dan tenaga dalam proses penanganannya.
Suatu ketika, ia menyidangkan seorang asisten rumah tangga (ART) pria yang didakwa menghamili ART perempuan yang tunawicara. Terdakwa dengan dalihnya tetap bersikukuh dan tidak mau mengaku. Majikan mereka adalah seorang perempuan tua. Di rumah hanya ada mereka bertiga. Namun, terdakwa mengelak dengan dalih, saudara-saudara laki dari sang majikan juga sering berkunjung ke rumah.
Dalam upaya menggali informasi ke pihak korban, Sisca menemui kesulitan, karena korban tidak bisa berbicara. Sisca pun menggunakan bahasa isyarat sebisanya untuk bisa berkomunikasi dengan korban. Ia menunjukkan wajah-wajah lelaki yang sering mengunjungi si pemilik rumah. Namun, jawaban si korban selalu sama, yang menyetubuhinya adalah terdakwa.
Sebagai jaksa, Sisca harus membuktikan kesalahan terdakwa. Untuk itu, diadakanlah tes DNA. Dengan langkah ini bukan berarti tanpa risiko. Apabila tes DNA ternyata negatif, maka terdakwa akan dibebaskan.
Bagi seorang jaksa, apabila dalam suatu persidangan terdakwa diputus bebas oleh hakim, mereka akan diperiksa oleh pimpinan kejaksaan. Kemungkinan terburuknya, jaksa akan mendapat sanksi, karena diduga ada kesalahan prosedur dalam penyelidikan maupun penuntutan. “Saya tidak takut, karena saya sudah menerima terdakwa ini dari proses sebelumnya yakni penyidikan di kepolisian. Kalau pun hasil tes DNA-nya negatif, ya saya sudah siap. Itu risiko dari tugas,” katanya.
Ternyata hasil tes DNA positif. Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sisca pun merasa lega. “Berminggu-minggu saya tidak bisa tidur nyenyak, memikirkan kasus ini,” kenang Sisca.
Tak Peduli Risiko
Tak hanya pantang menyerah, Sisca sangat tak peduli pada risiko pekerjaannya. Apapun itu, akan ia lakukan. Di lain waktu, saat menangani kasus pencurian minyak curah di Plumpang, Jakarta Utara, barang bukti kejahatan yang ia sita dicuri oleh rekan-rekan terdakwa. Padahal, barang bukti itu harus ada dalam proses pengadilan.
Tanpa rasa takut, Sisca mendatangi terdakwa yang sedang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Awalnya, terdakwa menolak mengungkapkan keberadaan barang bukti tersebut. “Saya yakin yang mencuri barang bukti itu adalah komplotannya. Saya ancam dia, kalau tidak mau menunjukkan, saya tidak akan memberikan vonis. Dengan demikian, kasusnya akan terkatung-katung,” beber Sisca.
Terdakwa akhirnya mengaku, bahwa barang bukti itu sudah dijual dan Sisca diminta untuk menemui seorang temannya. Ternyata barang bukti tersebut telah berpindah tangan dan dijual ke Subang, Jawa Barat. Untuk mendapatkan kembali barang bukti tersebut, Sisca harus rela merogoh kocek pribadinya sebesar Rp 15 juta. Tak sedikit rekan jaksa yang mengejeknya, “Jaksa kok mau diperas?”
Namun, bukan Sisca namanya kalau tidak ambil pusing. Untuk kasus ini, ia harus bolak-balik lapas, Tanjung Priok, dan Subang. Namun, semuanya ia jalani. Yang penting baginya, barang bukti itu bisa kembali dan menjadi bukti dalam persidangan dan kasus ini bisa diselesaikan.
Bersandar pada Tuhan
Pada tahun 2009, Sisca ditugaskan di bagian Pengawasan Kejaksaan Agung sebagai pemeriksa. Melakukan perjalanan dinas ke berbagai daerah sudah menjadi “makan minumnya”. Ia harus melakukan pemeriksaan ke kejaksaan di daerah-daerah. Ia menikmati tugas ini selama tiga tahun sebelum akhirnya dipindah ke Kejaksaan Tinggi Lampung. Di sana, Sisca dipercaya sebagai Koordinator Jaksa Bidang Pidana Umum. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Metro, Lampung dan sempat berpindah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Temanggung, Jawa Tengah.
Sebagai seorang perempuan, Sisca mengakui, dalam menangani kasus, kerap dalam hatinya muncul perasaan tidak sampai hati untuk menghukum. Tak jarang ada rekan kerjanya protes, karena menganggap Sisca seharusnya bisa lebih keras dalam memberi tuntutan hukuman. “Tetapi seringkali hati ini tidak sampai. Di dalam diri seorang terdakwa yang telah melakukan kejahatan, saya yakin ia masih memiliki sisi-sisi kebaikan,” ungkapnya.
Meski demikian untuk kasus pemerkosaan dan korupsi, tidak ada tawar-menawar baginya. “Pelakunya harus dihukum dengan hukuman yang tinggi,” tegas Sisca.
Di Temanggung, Sisca menangani kasus korupsi sebuah bank kredit yang merugikan negara hingga Rp 114 miliar. Jumlah korupsi dan potensi uang yang berhasil diselamatkan dalam pengungkapan kasus ini merupakan yang terbesar yang pernah ditangani kejaksaan negeri di seluruh Indonesia. Berkat kerja keras Sisca dan jajarannya, dua orang direksi bank tersebut divonis oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang dengan hukuman 11 tahun penjara. Keduanya diminta untuk membayar uang pengganti kerugian negara, masing-masing senilai Rp 1,2 miliar dan Rp 745 juta rupiah. “Sebelas tahun penjara tidak jauh dari tuntutan jaksa yakni 16 tahun penjara. Akan tetapi kami tetap banding karena uang pengganti kerugian negaranya terlalu rendah, tidak sebanding dengan kerugian negara,” jelas Sisca.
Setelah mengajukan banding di Pengadilan Tinggi, vonis kedua tersangka, dinaikkan menjadi 13,5 tahun. Akan tetapi tidak ada kenaikan besaran uang pengganti. Sisca kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga kini, proses pengadilan di Mahkamah Agung masih berlangsung.
Sisca menyadari berbagai kesulitan dan tantangan di dalam pekerjaannya sebagai seorang jaksa. Karenanya, ibu dua anak ini selalu menyandarkan diri kepada Tuhan. Ia rutin berziarah ke Gua Maria Kerep Ambarawa. “Tanpa penyertaan Tuhan, mungkin saya sudah ambruk sejak dahulu,” ujar Sisca.
Fransisca Juwariyah
Kepala Kejaksaan Negeri Temanggung, Jawa Tengah
Tempat/Tanggal Lahir : Klaten, 30 Maret 1962
Anak :
– Benediktus Krisnamukti
– Aurelia Keisha
Karier:
– Staf Perpustakaan Kejaksaan Agung (1983-1989)
– Jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (1989-1998)
– Jaksa di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (1998-2001)
– Jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (2001-2007)
– Jaksa di Kejaksaan Tinggi Jakarta (2007-2009)
– Pemeriksa di Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung (2009-2012)
– Koordiator Jaksa Bidang Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Lampung (2012-2013)
– Kepala Kejaksaan Negeri Metro, Lampung (2013-2016)
– Kepala Kejaksaan Negeri Temanggung, Jawa tengah (2017-sekarang)
Fr. Benediktus Yogie Wandono, SCJ
HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019