“Berdoa kepada Maria”

478

HIDUPKATOLIK.com – Kemarin saya ditemani seorang teman saya berdoa di salah satu Gua Maria. Teman saya itu non Katolik. Setelah saya berdoa, dia bertanya, kenapa saya harus berdoa kepada Maria. Menurutnya, Maria juga seorang manusia, apakah pantas saya berdoa kepada “manusia”. Bagaimana cara menjelaskan secara singkat kepada saudara kita yang non Katolik mengenai hal ini?

Celine, Pontianak

Saudari Celine yang baik, pertanyaan teman anda mengajak kita untuk memahami lagi peran Maria. Pertanyaan itu bisa muncul dari filosofi tertentu, antara lain pandangan tentang Solus Deus, yaitu hanya Allah saja pemberi kita keselamatan.

Karena itu hanya Dia boleh disembah, dan kepada Dia saja doa-doa kita boleh dipanjatkan. Pandangan ini tentu saja benar, begitu juga iman Katolik, hanya saja dalam tradisi Katolik, ada penekanan tertentu yang berbeda. Untuk sebagian orang, Solus Deus sering dimengerti sangat sempit, sehingga melupakan cara Allah melaksanakan karya keselamatan-Nya yang sebenarnya.

Dalam sejarah keselamatan Allah sering meminta kerjasama manusia. Ia senang memilih manusia untuk menjadi “perantara”-Nya, untuk menyampaikan sabda atau kehendak-Nya. Kita kenal misalnya para nabi dan tokoh lainnya dalam Kitab Suci. Itu semua sama sekali tidak mengurangi keagungan Allah, melainkan justru menunjukkan kemahabijaksanaan-Nya.

Dengannya martabat manusia diangkat, citra Allah ditegakkan, bahkan dirangkul untuk penyelamatan, meskipun tentu saja semuanya adalah inisiatif dan karya Allah. Begitulah juga Maria. Gereja menyebutnya dengan aneka sebutan: pembela, pembantu, penolong, dan perantara (LG 62).

Memang kadang-kadang frase “berdoa kepada Maria” bisa disalah mengerti. Salahlah kalau kita menyamakan Maria dengan Allah, atau menggantikan-Nya. Tapi kata “berdoa” bisa juga dimengerti sebagai “bercakap-cakap” sebagaimana anak anak berbicara dengan ibunya.

Itulah yang sebenarnya terjadi, ketika orang Katolik datang kepada Maria, seperti saat baptis, pernikahan, saat sakit, dan saat-saat lainnya. Kita berwawan hati dengan ibu rohani kita tentang hidup, atau apapun, dan mohon bantuannya untuk mendoakan kita pada Yesus, agar menganugerahkan rahmat yang kita butuhkan.

Jadi bukan Bunda Maria, tetapi tetaplah Allah yang memberikan rahmat-rahmat itu. Lain kali kita tidak mohon, tetapi duduk bersama ibu kita untuk mengkontemplasikan Putranya dan belajar kualitas kebundaannya. Tentu saja, Maria senang mendengarkan doa anak-anaknya, dan memperkuatnya dengan doanya sendiri.

Keibuan Maria lah yang membuat kita datang kepadanya. Rahmat Allah yang besar telah memberinya martabat khusus (bdk. Luk 2) yang memungkinkan kita bertemu sang penyelamat yang dikandungnya. Tak heran, Yesus memberikan Maria kepada murid-Nya (Yoh. 19), bukan agar Maria tidak sendirian sepeninggal Yesus, melainkan agar Maria menjadi ibu kita. Dengan demikian, keibuan Maria yang dialami Tuhan kita, dianugerahkan-Nya kepada Gereja-Nya.

Kutipan dari Veritatis Splendor ini mungkin menarik: “… Dalam kepatuhan total terhadap Roh, Maria mengalami kepenuhan dan universalitas kasih Allah, yang membuka hatinya, dan memungkinkannya merangkul seluruh umat manusia. Dengan cara ini, Maria menjadi ibu dari kita masing-masing, Ibu, yang mendapatkan rahmat ilahi bagi kita” (VS 120).

Maria ambil bagian dalam kondisi kemanusiaan kita dengan keterbukaannya pada rahmat Allah. Dengan cinta keibuannya, ia memahami perjuangan Putranya yang sedang berziarah. Ibu yang berdiri di kaki salib Yesus, tidak ingin anak-anaknya ditawan tipu daya dosa. Demikian pula setelah memperoleh kemuliaan surgawi, ibu kita terus-menerus memperolehkan, bagi kita, karunia-karunia yang menghantar kita kepada keselamatan kekal” (Lumen Gentium 62).

Gregorius Hertanto MSC

HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini