Anak “Pendeta” Jadi Uskup Termuda

896
Ayah Mgr.Martinus Dogma Situmorang, OFMCap memberikan pelukan hangat kepada putranya usai ditahbiskan menjadi Uskup Padang.
[Dok. Keuskupan Padang]

HIDUPKATOLIK.com – Menjadi seorang imam di usia 27 tahun dan ditahbis menjadi seorang uskup di usia 36 tahun tidak menghilangkan sisi humoris Mgr. Situmorang. Perhatiannya kepada kaum muda terus diberikan sepanjang hayatnya.

Dentang lonceng gereja berbunyi kencang menyebar ke seantaro Desa Palipi, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Saat itu, pukul 12.00 siang. Memang setiap hari lonceng gereja berdentang tiga kali setiap pukul 06.00 pagi, 12.00 siang, dan 18.00 sore. Ketika suara lonceng sampai ke telinga mereka, semua orang sontak berhenti sejenak dari aktivitasnya. Tak ada yang melangkah, suara cangkul tak terdengar, sapi di sawah pun berhenti membajak mengikuti tuannya. Mereka seketika larut dalam keheningan bersama hembusan angin lembut Danau Toba sambil mendaraskan Doa Malaikat Tuhan sampai lonceng berhenti berdentang.

Kesalehan penduduk Desa Palipi juga terlihat kala mereka melewati gereja. Setiap dari mereka yang memanggul cangkul atau bajak berhenti dan berlutut di depan Tabernakel, lalu kemudian melanjutkan perjalanan. Doa Rosario dan pertemuan lingkungan pun menjadi wadah saling mengakrabkan semua penduduk kampung itu. Suasana religius Palipi sedari dulu memang dikenal sangat kental. Hal ini semakin terasa ketika memasuki hari Sabtu untuk menyambut hari Minggu. Betapa tidak, baju, sepatu atau sandal untuk ke Gereja sudah disiapkan sehari sebelum Misa. Ketika Minggu pagi, anak-anak beramai-ramai mandi di Danau Toba, lalu bersiap-siap ke gereja untuk Sekolah Minggu atau Misa.

Tak terkecuali seorang bocah laki-laki yang kelak diutus menjadi gembala di keuskupan yang tak pernah ia kenal. Ia adalah Todo Tunggul Tahan Dogma Yohanes Situmorang. Kelak namanya akan dikenang sebagai Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFMCap, Uskup Padang.

Akar Panggilan
Lahir dari pasangan Joseph Iskandar Arminius Situmorang dan Maria Dina Sinaga pada 28 Maret 1947 menjadikan Dogma sebagai anak ketiga. Ia berasal dari keluarga yang saleh. Ayahnya seorang guru agama atau umumnya di Palipi disebut “voorganger” yang memiliki peran besar dalam kehidupan menggereja. Ketika para misionaris ditawan kala itu, Arminius berjuang keras untuk membantu, terutama menjalankan karya pastoral di tengah umat.

Atas semua itu, masyarakat Palipi menjuluki ayah Dogma sebagai “Pendeta” Situmorang. Tak kalah hebat dengan suami. Dina, seorang ibu rumahtangga pekerja keras. Sebagai pedagang, sang ibu membantu memenuhi kebutuhan keluarga Memiliki lahan luas, keluarga ini terbiasa berkerja di rumah dan sawah, termasuk Dogma kecil. Ia amat bangga jika bisa membantu kedua orangtuanya. Namun kebahagiaan itu terenggut ketika sang ibu meninggal dunia saat Dogma masih berusia 11 tahun. Ayahnya lalu menikah lagi dengan Maria Else Sinaga. Keluarga ini pun menjadi keluarga besar dengan 15 anak yaitu sembilan laki-laki dan enam perempuan.

Lingkungan eksternal turut ambil andil dalam panggilan Dogma kecil. Palipi, desa Katolik membentuk kehidupan iman Dogma. Tak heran banyak gereja, pastoran, susteran, dan sekolah Katolik ada di situ. Rumah Dogma, hanya sepelempar batu dari gereja dan pastoran. Itulah kenapa ia tak asing bergaul dengan pastor dan suster.

Nuansa demikian perlahan menanamkan kerinduan panggilan menjadi seorang imam di dalam dirinya. Ia terkesima melihat pastor yang bekerja keras, disiplin, dan memiliki cara hidup baik. Pengalaman ini dipuncaki dengan perjumpaannya dengan beberapa seminaris dari Palipi. Kala berlibur, mereka mengajarkan cara hidup bersih seperti mandi, menggunting kuku, dan cara menyabun badan dengan benar. Dogma, makin tertarik menjadi menjadi imam.

Sang ayah, juga pandai merawat panggilan Dogma. Ia selalu mengajak keluarga untuk berdoa bersama. Satu intensi mereka, mendoakan panggilan di tengah keluarganya. Keinginan keluarga ini terwujud dengan terpanggilnya saudara tertua Dogma sebagai seminaris di Padang, sayang sang kakak keluar tahun 1959.

Sosok Jenius
Jalan mulusnya menempuh pendidikan patut diacungi jempol. Dogma menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di dua sekolah (1953-1959). Dua tahun pertama di Sekolah Rakyat Negeri berjarak kurang lebih dua kilometer dari rumah. Lalu empat tahun terakhir pindah ke SD Katolik di dekat rumahnya. Di masa bangku SD, Dogma piawai bermain drama, aktif di Sekolah Minggu, dan menjadi misdinar.

Harapan menjadi imam itu terpenuhi ketika lamarannya diterima dan dirinya melanjutkan studi ke Seminari Menengah Pematang Siantar (1959-1966). Tentu keluarga sangat antusias dengan panggilan Dogma. Dalam perjalanan panggilan ini, saat menjadi novis di Kapusin Parapat (1966-1968), Dogma memilih nama Martinus. Kaul perdananya sebagai biarawan Ordo Saudara Dina Kapusin (OFMCap) pada 13 Januari 1967.

Ia tidak pernah berharap menjadi imam yang luar biasa. Bagi Dogma, cukup menjadi imam yang baik, saleh, rajin dan siap melayani siapa pun. Dan itu terbukti ketika selama menjalani panggilan, ia seorang yang berperasaan halus, ceria, dan hidupnya dipenuhi kebahagiaan. Kehadirannya selalu meneguhkan orang lain.

Adik kandungnya, Mangadar Situmorang mengakui pribadi sang kakak. Ia bercerita, Dogma sosok yang penuh sukacita. “Bagi keluarga, Dogma merupakan sumber kegembiraan serta sukacita,” ujar Rektor Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini.

Pribadi yang diidolakan sebagai pastor bonus ini menyelesaikan studi filsafat dan menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Tanah Karo. Pendidikan Teologi dikenyam di Seminari Tinggi Teologi di Pematang Siantar. Pada 29 Juli 1972, Frater Martinus mengikrarkan kaul kekal. Setengah tahun sebelum menyelesaikan studi saat berusia 27 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Medan (KAM), Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap pada 5 Januari 1974.

Ordo Kapusin tak ingin menyia-nyiakan anggota mereka yang berbakat. Hasil studi filsafat dan teologi yang memuaskan mengantar Pastor Martinus menjalani studi teologi di Universitas Gregoriana Roma, Italia dengan spesialisasi Spiritualitas (1974-1976). Dari negeri Pizza, ia melanjutkan studi ke Institute for Religious Formation Universitas St. Louis, Missouri, Amerika Serikat (1976-1977).

Beberapa rekannya meyakini bahwa Pastor Martinus seorang yang jenius. Selain itu, ia memiliki tekad kuat untuk terus belajar. Itulah alasan Ordo Kapusin memintanya untuk belajar beberapa bahasa asing. Ia belajar bahasa Italia di Universitas Italiana per Gli Stranieri, Perugia, Italia. Bahasa Prancis di Institute Catholique de Paris. Bahasa Jerman di Goethe Institute de Staufen am Bresgau, Jerman.

Rupanya rekam jejak Pastor Martinus menjadi bekal karyanya ketika tiba di tanah air tahun 1977. Langsung “tancap gas” dengan mendapat tugas sebagai dosen di Seminari Tinggi Parapat merangkap asisten pemimpin Novis Kapusin. Tak butuh waktu lama, Pastor Martinus ditunjuk menjadi Rektor Seminari Tinggi Pematang Siantar (1979-1983). Puncaknya karya sebagai imam adalah sebagai Wakil Superior Ordo Kapusin Regio Medan dan anggota Komisi Religius Keuskupan Agung Medan (KAM).

Penolakan Pertama
Bila Tuhan berkehendak, semua bisa terjadi. Demikian yang dirasakan Pastor Martinus pada medio 1983. Tak disangkasangka, sebuah tugas berat dipercayakan kepadanya. Paus Yohanes Paulus II pada 14 April 1983, menunjuk Pastor Martinus sebagai Uskup Keuskupan Padang. Ia menggantikan Mgr. Raimondo Bergamin, SX.

Tidak mudah bagi Pastor Martinus menerima tugas ini. Tantangan utama datang dari internal Gereja sendiri. Banyak kalangan Gereja menilai, Martinus masih muda dan minim pengalaman. Sesama saudara Kapusin juga keberatan sampai-sampai Generalat Kapusin turun tangan. Mereka memohon ke Takhta Suci kalau-kalau penunjukkan ini dibatalkan.

Alih-alih dibatalkan, sebaliknya Sri Paus memberinya kesempatan sebagai Uskup Keuskupan Padang. Wilayah teritori Padang yang belum dikenalnya, membuat ciut nyalinya. Tetapi ia berpasrah pada kehendak Tuhan. Ia ingin menyelesaikan tugas itu dalam bingkai kasih Tuhan.

Dalam usia 36 tahun, Pastor Martinus Dogma Situmorang OFMCap ditahbiskan Uskup. Perayaannya dilaksanakan di gereja Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus Katedral Padang. Sebagai penahbis utama Uskup Agung Medan, Mgr Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap didampingi Uskup Emeritus Padang, Mgr Raimondo Bergamin, SX dan Uskup Sibolga, Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap. Wilayah pastoralnya meliputi Provinsi
Sumatera Barat, Riau (daratan) dan Jambi (Kabupaten Kerinci).

“Mikrofon” Moralitas
Selama 36 tahun, Mgr Situmorang mengarungi samudera pelayanan bersama umatnya. Kecintaannya kepada orang muda memberinya peluang menanamkan iman sedini mungkin. Ia menyadari di dalam diri kaum muda ada gambar wajah Tuhan. Ia selalu menekankan agar kaum muda memiliki kepribadian seperti Kristus. Ada relasi batin yang tergambar dalam realitas insani. Relasi bersama kaum muda ini, memberi sinyal positif bagi laju gerak Keuskupan Padang.

Dalam suatu kesempatan ia pernah mengatakan, “Anak muda seharusnya sadar bahwa mereka orang kecintaan Tuhan, Gereja, dan bangsa. Mereka punya potensi dari Tuhan untuk berkembang, berbuah, berakar menjadi baik demi kebaikan banyak orang.” Tak heran bila bertemu anak mudah “letoi” dalam iman, Mgr. Situmorang akan menegur keras. Di satu sisi, kaum muda juga merasa kehadiran Mgr. Situmorang menjadi “mikrofon” kebenaran bagi mereka. Dari mulutnya keluar kebajikan-kebajikan moral, landasan hidup kaum muda. Pribadinya yang unik, bersahaja, dan saleh selalu menghiasi sanubari kaum muda. Ia telah pergi untuk selamanya, tetapi bagi kaum muda Situmorang adalah anak “pendeta” yang selalu bercerita tentang kebaikan Tuhan.

Felicia Permata Hanggu
Laporan: Antonius E. Sugiyanto (Padang)

HIDUP NO.48 2019, 1 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini