Menjadi yang Pertama

251
Misa Requiem untuk mendoakan Mgr. Martinus Dogma Situmorang OFMCap, Jumat, 22/11/2019 di Katedral Santa Theresia, Padang.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]

HIDUPKATOLIK.com – Ia sangat mencintai karya pastoralnya di Mentawai. Kepergiannya meninggalkan kehilangan yang mendalam bagi umat di kepulauan yang berada di sebelah Barat Pulau Sumatera itu.

Beberapa saat sebelum malam terakhir almarhum Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFMCap, Pastor Bernard Lie menuliskan di akun Facebooknya ajakan kepada anak-anak muda asal Mentawai yang ada di Padang, Sumatera Barat, untuk berdoa bersama. Acara doa itu pun masuk dalam salah satu rangkaian acara tirakatan yang diadakan menjelang pemakaman Uskup Padang ini.

Pastor Bernard menulis ajakan ini dalam bahasa Mentawai. Alhasil, banyak anak muda yang berasal dari Mentawai sudah terlihat di Katedral St. Theresia Padang sejak sore hari. Doa malam itu pun semua dibacakan dalam bahasa Mentawai, termasuk lagu-lagu yang dinyanyikan.

Banyak yang mengatakan, Mgr. Situmorang sangat mencintai Mentawai. Hal ini bukan berarti ia tidak mencintai ladang pastoralnya yang lain, namun daerah Mentawai memang memiliki tantangan yang berbeda dan membutuhkan usaha pastoral yang lebih. Itu sebabnya, sang uskup sangat memberi perhatian kepada karya pastoral di daerah ini.

Untuk Mentawai
“Bapak Uskup pasti senang kita berdoa dalam bahasa Mentawai,” ujar Pastor Bernard. Sebagai seorang gembala, Mgr. Situmorang bisa dikatakan memahami setiap jengkal pastoral di Mentawai. Sejak menjadi Uskup Padang tahun 1983, tak terhitung berapa kali ia mengunjungi kepulauan di sebelah Barat Pulau Sumatera ini. Pastor Bernard menceritakan, sebenarnya Mgr. Situmorang sudah merencanakan kunjungan ke Mentawai awal tahun depan pada bulan Februari.

Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Padang ini mengakui, Mgr. Situmorang selalu membawa kegembiraan dalam setiap kunjungannya di paroki-paroki di Mentawai. “Ia tak pernah mengeluh, meski kunjungan pastoral di Mentawai selalu melalui medan yang sulit,” ujarnya.

Kesan yang ditinggalkan Mgr. Situmorang bagi masyarakat Mentawai sungguh tidak tiada tara. Bupati Kepulauan Mentawai, Yudas Sabaggalet pun merasa sangat kehilangan dengan kepergian Mgr. Situmorang. Ia berujar, Mgr. Situmorang ketika berkhotbah dan hadir di tengah masyarakat Mentawai, di situlah Kristus hadir. “Bagi saya, Monsinyur ini sangat terasa menghadirkan Kristus, dalam perhatiannya bagi kami di Mentawai. Karyakarya Beliau untuk menggembalakan Mentawai itu sangat luar biasa,” ucapnya.

Yudas akan selalu mengingat, bagaimana Mgr. Situmorang bisa makan bersama dengan rakyat Mentawai, makan apa saja, duduk bersama-sama orang Mentawai, masuk ke pedalaman. Itulah cintanya kepada masyarakat Mentawai.

Pribadi Hangat
Mgr. Situmorang oleh banyak orang dikenal sebagai pribadi yang hangat. Hal ini juga berlaku untuk rekan-rekan uskup lain di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Dalam kebersamaannya di Korea, Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ mengakui, dengan kecerdasannya, Mgr. Situmorang memberi terang bagi sesama dan terutama bagi umat terkasih. “Dia orang yang penuh sukacita, penuh daya, penuh semangat. Ia adalah seorang gembala yang berhati samudera, ia ingin merengkuh begitu banyak orang dengan sapaannya,” ujar Uskup Agung Palembang ini.

Mgr. Sudarso merasa kehilangan, ia menganggap Mgr. Situmorang sebagai sahabat. Satu kesan yang ia lihat, bahwa Mgr. Situmorang tidak pernah mengeluh dengan sakit yang dideritanya. Ia mengingat, saat keduanya di Korea sepuluh tahun lalu, itulah saat pertama Mgr. Sudarso mengetahui perihal sakit yang diderita Mgr. Situmorang. “Saat itu, ia sudah harus menyuntik dirinya sendiri untuk pengobatan,” tuturnya.

Kepergian Mgr. Situmorang meninggalkan duka yang dalam, telah hilang seorang sosok gembala yang agung. Uskup Malang, Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm meyakini, bahwa Mgr. Situmorang juga adalah sosok yang hangat bagi keluarganya. Sehingga, tentu keluarga menjadi yang paling merasa kehilangan. Ia melanjutkan, kepergian Mgr. Situmorang juga menyisakan kehilangan bagi para uskup di Indonesia. “Kami para uskup akan kehilangan seorang yang hangat, pribadi yang tegas namun tetap santun.”

Sampai di saat terakhirnya, Mgr. Situmorang pun menunjukkan dedikasinya bagi Gereja. Ia masih berusaha menjalankan tugas sebagai moderator di salah satu sesi Sidang Tahunan KWI, Bandung, Jawa Barat, 4-14/11. Hal ini menjadi tanda, Mgr. Situmorang hadir tidak saja untuk Keuskupan Padang namun juga untuk Gereja di Indonesia. Kardinal Ignatius Suharyo mengungkapkan, rasa dukacitanya, atas nama KWI, juga mewakili para uskup yang tidak dapat hadir dalam Misa Requiem, Jumat, 22/11, mengantar kepergian Mgr. Situmorang. “Bersama para bapak uskup yang hadir, dan mewakili para bapak uskup yang tidak hadir, atas nama KWI, izinkan saya ikut mengucapkan berdukacita kepada keluarga Mgr. Martinus Dogma Situmorang,” ujar Ketua Presidium KWI ini.

Kardinal Suharyo mengungkapkan, setiap kebaikan yang dimiliki Mgr. Situmorang tercipta karena adanya peran serta umat yang ia gembalakan. Ia meyakini, setiap doa dari umat menjadi kekuatan yang dahsyat bagi Mgr. Situmorang untuk memberikan hidupnya bagi Tuhan dan bagi Gereja. “Tidak ada uskup yang baik kalau tidak ada umat yang baik,” ujar Uskup Agung Jakarta.

Membawa Pengharapan
Mgr. Situmorang telah meninggalkan kesan untuk begitu banyak orang. Orang-orang itu akan terus mengenang sang uskup yang masih mengingat nama mereka. Sehari sebelum berangkat ke Bandung untuk mengikuti sidang KWI, pada Peringatan Arwah Orang Beriman, 2/11. Ia merayakan Misa di Kolumbarium yang baru saja selesai dibangun oleh Keuskupan Padang.

Pastor Bernard menceritakan, Mgr. Situmorang beberapa kali menanyakan perihal proses pembangunan Kolumbarium ini. Ia bahkan mendapati, beberapa kali sang uskup meninjau pembangunan tempat ini. Namun siapa sangka, jenazah Mgr. Situmorang akhirnya menjadi yang pertama yang dimakamkan di tempat ini.

Namun, bagi orang beriman, kematian jangan dimaknai sebagai saat yang mengerikan dan menakutkan. Bagi orang tidak beriman, kematian menjadi saat yang berat. Namun, bagi orang beriman, kematian adalah sebuah pengharapan. Dengan iman kepada Kristus, kematian justru membawa pengharapan akan kebahagiaan kekal. “Kematian kengerian bagi orang tak beriman, kematian adalah pengharapan bagi orang berkepercayaan,” ujar Administrator Apostolik Sibolga, Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap.

Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.48 2019, 1 Desember 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini