Sinode Amazon dan Gereja di Tengah Dunia

504

HIDUPKATOLIK.com – Ketika kawasan hutan Amazon terbakar, muncul seruan keprihatinan dari berbagai kawasan dunia. Hutan Amazon dikenal sebagai paru-paru dunia terbesar, maka kalau kawasan itu hancur, dunia bisa kehilangan sebagian paru-parunya. Wajah Amazon adalah wajah dunia. Demikian kemudian dikatakan. Hal serupa bisa kita katakan tentang sinode kawasan Amazon, yang diadakan di Vatikan 6-27 Oktober 2019 ini. Sinode ini bukan sekadar perkara kawasan Amazon, namun persoalan yang dihadapi Gereja di semua kawasan. Tentang Amazon untuk seluruh dunia, demikian bisa dikatakan.

Akan tetapi sinode ini adalah sinode yang paling memancing kontroversi, beberapa kelompok menentang, bahkan menyebutkan ada tendensi kesesatan di dalamnya. Di hari-hari jelang sinode ini di Roma diselenggarakan beberapa pertemuan yang menentang sinode. Mereka yang menentangnya berangkat dari gagasan tentang bahaya paganisme, penodaan norma selibat dan mengancam kesatuan Gereja. Mereka bisa digolongkan sebagai penentang inkulturasi, penyangkal adanya krisis ekologi dan pengkritik Paus Fransiskus. Malahan pemerintah Brasil pun terusik dengan adanya sinode ini. Mereka mengirim beberapa pengamat untuk memantau proses sinode. Yang juga mencemaskan sinode ini adalah kalangan industri, terlebih mereka yang membabat hutan untuk kepentingan industri, termasuk industri perkebunan.

Sinode Amazon: Anak Laudato Si
Mengapa diadakan sinode kawasan Amazon? Paus Fransiskus atas pertanyaan itu menjawab: ini adalah anak dari . Memang ensiklik itu berbicara banyak tentang persoalan ekologi, akan tetapi dikatakannya, itu bukan hanya perkara ekologi namun persoalan kehidupan umat manusia. Tema yang diusung adalah tapak baru bagi Gereja dan bagi ekologi integral.

Kawasan Amazon menghadapi persoalan kependudukan yang tidak mudah. Arus pembangunan infrastruktur yang masif, yang tidak saja mendatangkan persoalan ekologi namun pula peminggiran masyarakat serta nilai-nilai tradisional. Krisis tersebut dipicu oleh arus perdagangan, sekularisasi, budaya membuang dan kultur uang, demikian mengutip Paus. Masyarakat Amazon semakin terancam. Maka dipromosikanlah gagasan tentang ekologi integral, sebab persoalan lingkungan bersangkutan pula dengan persoalan sosial yang lebih luas. Gagasan ini didasarkan pada Laudato Si. Malahan dikatakan bahwa konsep ekologi integral merupakan suatu sintesa dari ajaran sosial Gereja. Persoalan ekologi tidak bisa hanya dibahas dari satu sisi dimensi kehidupan belaka, hanya perkara menanam pohon saja.

Laudato Si’ berbicara tentang perubahan gaya hidup. Namun kiranya bukan sekadar gaya hidup, tetapi lebih berupa transformasi cara bertindak. Terkait kawasan Amazon, berdasar pada ensiklik tersebut diamati adanya eksploitasi industrial yang berlebihan, cara berpikir teknokratis yang sempit, kerakusan finansial dan konsumtif serta ketidakpedulian sosial. Oleh karena itu diungkapkan gagasan ekologi integral, sebagai suatu paradigma relasional, yang memaparkan keterjejaringan pembangunan agar perkembangan yang utuh bisa terwujud.

Tidak mengherankanlah kalau dalam dokumen kerja persiapan sinode banyak dibicarakan gagasan pembelaan tanah dan budaya, sebagai bagian dari pembelaan kehidupan. Pewartaan iman, karenanya, selalu bersangkutan dengan inkulturasi dan perjuangan keadilan. Oleh karena itu, hal ini tidak saja menjadi persoalan khusus untuk kawasan Amazon, namun juga untuk Gereja seluruh dunia. Namun, sebagaimana dikatakan Paus saat kunjungan ke Brasil di tahun 2013, kawasan Amazon merupakan semacam batu uji bagi seluruh Gereja dan masyarakat. Sinode Amazon, dengan demikian, bersangkutan dengan seluruh Gereja.

Hidup Menggereja
Kawasan Amazon, dengan wilayah yang luas membentang, dengan persebaran penduduk yang meluas, di tengah kawasan hutan, menghadapi persoalan besar dalam kehidupan menggereja. Kawasan tersebut menghadapi kekurangan besar jumlah imam, dan besar pula yang kemudian meninggalkan Gereja Katolik, karena sulitnya mendapatkan pelayanan reksa pastoral dan rohani. Situasi tersebut dikatakan pula menyebabkan banyak orang kehilangan kepekaan transendensi dan kegiatan iman dalam hidupnya. Kehadiran Gereja kemudian dirasakan memudar.

Sinode, oleh karena itu, hendak berusaha membangun Gereja selaras dengan identitas masyarakat Amazon, menemukan struktur Gerejani yang sesuai dan pelayanan pastoral yang memenuhi kebutuhan setempat. Langkah itu merupakan proses diskresi untuk menemukan tapak jalan baru dan profetik di kawasan Amazon bagi Gereja dan ekologi integral. Itulah Gereja yang terinkulturasi, dalam bahasa Evangelii Gaudium, atau terinterkulturasi, dalam bahasa Laudato Si’. Dalam konteks inilah letak Perayaan Ekaristi menjadi sentral, sebab Gereja hidup dari Ekaristi dan Ekaristi menghidupkan Gereja. Akan tetapi, bagaimana itu bisa terwujud kalau ada kelangkaan jumlah imam, sehingga banyak umat sangat jarang bisa ikut dalam perayaan Ekaristi.

Terkait ini salah satu muncul gagasan mengenai “viri probati”, menahbiskan bapak keluarga yang dikenal baik. Gagasan ini pernah muncul pula di Indonesia di tahun 1970-an, masa Kardinal Darmajuwono. Betapapun gagasan ini kontroversial, akan tetapi tetap diangkat agar dibicarakan secara terbuka pro-kontranya. Usulan itu datang dari bawah, demikian Kardinal Lorenzo Baldisseri, Sekretaris Jenderal sinode, maka perlu diangkat untuk dibicarakan. Sinode, sebagai proses diskresi, jangan takut untuk membicarakan hal-hal yang mungkin dipandang tabu. Paus Fransiskus sendiri membuka ruang untuk itu.

Dalam homili membuka sinode, 6 Oktober 2019, Paus Fransiskus mengatakan perlunya roh kebijaksanaan, bukan terutama roh ketakutan. Oleh karena itu tidak puas dan berhenti hanya pada hal-hal yang sudah biasa adan dan dibuat, namun dikobarkan oleh api semangat untuk senantiasa mau mencari kebaharuan yang dibawa oleh Roh. Tanpa nyala api Roh tersebut, Gereja akan mandeg atau bahkan mati, bagai tinggal menyisakan abu belaka. Sinode, sebagai proses berjalan bersama, mengajak untuk mengobarkan nyala api Injil, agar Gereja dikobarkan semangat hidup dan daya misionernya

Dari Amazon ke Seluruh Gereja
Gereja di kawasan Amazon memang Gereja lokal. Akan tetapi, di tengah dunia yang semakin terjejaring ini, apa yang lokal bisa pula memberi pengaruh pada wajah Gereja universal. Apalagi, kenyataan Gereja dewasa ini tidak lagi semakin berciri kuat Barat atau Eropa, melainkan semakin berwajah Gereja dunia, Gereja pun perlu semakin mau membuka hati mendengarkan pergulatan hidup dan realitas menggereja dari berbagai kawasan. Kawasan Amazon, dalam konteks ini, memiliki peran dan sumbangan penting. Maka lalu dikatakan, Sinode Amazon ini sebenarnya berbicara pula tentang keprihatinan yang dihadapi seluruh kawasan Gereja semesta.

Kita di Indonesia pun dalam banyak hal berhadapan dengan persoalan yang menjadi topik pembicaraan dalan sinode ini. Pertama, persoalan ekologi, akibat dari penebangan dan pembakaran hutan, ekspansi tambang dan perkebunan. Di Amazon tidak sedikit uskup, imam dan pemuka umat diancam oleh para pengusaha tambang dan perkebunan besar yang mau memperluas wilayah pengusahaannya. Di sini, yang kedua, orientasi pada keuntungan ekonomis menjadi persoalan besar yang juga diangkat dalam dokumen persiapan sinode. Orientasi pada profit mendatangkan persoalan diskriminasi, peminggiran akan hak dan masyarakat pribumi, inilah persoalan yang ketiga. Permasalahan keempat adalah soal inkulturasi iman, bagaimana iman bisa dihidupi dan dihayati secara setempat, selaras dengan budaya dan realitas hidup umat setempat. Akhirnya, yang kelima adalah persoalan evangelisasi dan kehidupan menggereja, yang terkait pula dengan pelayanan pastoral dan sakramen. Bagaimana membangun Gereja yang hidup, dalam semangat misionernya untuk sanggup melayani umat beriman dan masyarakat.

Sinode Amazon, akhirnya, adalah pula tentang persoalan dan keprihatinan yang dihadapi oleh Gereja Indonesia. Kita pun diajak berefleksi bersama dengan berjalannya sinode tersebut.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini