Calon Mertuaku Gangguan Jiwa

749

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh, saya memiliki kekasih dan berencana untuk membawa hubungan kami ke jenjang yang lebih serius: pernikahan. Namun, ada suatu yang menganjal di batin saya. Ibu pacar saya pada waktu-waktu tertentu mengalami gangguan jiwa. Jika saya menikah dengan kekasih saya, apakah gangguan jiwa itu bisa menurunkan kepada anak saya? Berapa besar kemungkinan itu? Apakah kami bisa mengantisipasi agar hal itu tak menimpa anak-anak kami kelak? Bagaimana menghadapi orang yang mengalami gangguan jiwa?

Rudi, Jakarta

Saudara Rudi, saya memahami situasi dilematis yang Anda alami saat ini. Di satu sisi ada keinginan untuk membawa hubungan dengan kekasih ke jenjang yang lebih serius, namun di lain sisi Anda bimbang karena calon ibu mertua memiliki gangguan jiwa yang kambuh pada waktu-waktu tertentu. Sehingga Anda khawatir gangguan tersebut bakal menurun kepada anak kelak.

Di sini tak dijelaskan manifestasi gangguan yang muncul dan faktor pemicu kekambuhannya. Dengan memahami faktor pemicu tersebut, bisa digunakan sebagai upaya untuk meminimalisir kekambuhannya.

Ada banyak jenis gangguan jiwa. Yang paling banyak adalah depresi dan gangguan cemas. Schizophrenia dialami sekitar satu persen dari total populasi. Gangguan jiwa berdampak pada suasana hati, pola pikir hingga tingkah laku secara umum yang pada akhirnya mengakibatkan penderita tak mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara normal.

Banyak orang mengalami gangguan jiwa karena berbagai persoalan hidup. Apakah gangguan jiwa bisa menurun ? Ya, pada beberapa penelitian menunjukkan memang ada keterkaitan antara keluarga sedarah yang juga mengalami kondisi yang sama dengan pasien. Namun persentasenya tak dapat ditentukan, karena fakta juga menunjukkan kemungkinan seseorang bisa menderita gangguan jiwa walau tak ada faktor genetik dari orangtua maupun kakek-neneknya.

Penelitian yang dilakukan terhadap anak kembar satu telur yang disinyalir memiliki struktur DNA yang sama ternyata bereaksi berbeda terhadap stresor yang sama. Artinya, faktor genetik dapat meningkatkan risiko gangguan mental namun bukan sebagai jaminan. Memang diakui bahwa seorang psikolog/ dokter akan bertanya tentang apakah ada anggota keluarganya yang memiliki gangguan serupa ketika berhadapan dengan pasien yang mengalami gangguan perkembangan maupun gangguan jiwa.

Pendekatan yang saat ini digunakan psikolog dalam menganalisis kasus klien dengan gangguan adalah dengan pendekatan Bio-Psiko-Sosial. Perilaku abnormal dapat dipengaruhi oleh faktor biologis (seperti faktor gen, infeksi, trauma pada otak, keracunan obat-obatan yang terjadi saat kehamilan, kelahiran maupun setelah kelahiran), faktor psikologis (pengalaman masa kecil, pola asuh orangtua, pengalaman kekerasan, ketidakmatangan kepribadian), dan faktor sosiokultural (tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi, kemiskinan). Dalam perspektif biopsikososial tidak ada faktor yang dianggap lebih penting. Ketiganya memiliki peran dalam pengembangan perilaku nomal dan abnormal.

Karakteristik kepribadian yang tak matang ditunjukkan dengan sikap egosentris, tak siap untuk menerima kekecewaan/kegagalan, menuntut perhatian dan kasih sayang berlebihan sehingga menjadi marah ketika keinginannya tak dituruti, kurang bertanggung jawab, selalu minta ditolong, kurang percaya diri dan kurang terampil memecahkan masalah, daya tahan terhadap stresnya tergolong rendah. Karakteristik kepribadian yang tak matang ini bisa disebabkan pola asuh yang memberikan perlindungan atau memanjakan berlebihan dari orangtua.

Bagaimana antisipasinya? Perlu upaya untuk mencermati tanda-tanda awal problema kesehatan mental, antara lain: menarik diri, banyak melamun, kecemasan berlebihan, ada indikasi untuk menyakiti diri sendiri, merasa tak bahagia, dan sulit tidur. Meminta bantuan psikolog atau dokter jika menunjukkan gejala di atas, memeriksakan kesehatan secara rutin. Bagi ibu yang terdiagnosis mengalami gangguan sebaiknya dilakukan terapi kejiwaan secara intensif dan teratur dengan pengobatan yang tepat sehingga gangguan tersebut dapat diatasi dan dijaga kekambuhannya. Kita memang tak bisa mengendalikan faktor genetik namun bisa meminimalisir faktor stres dan memaksimalkan aspek kondisi biologis, psikologis, sosial di atas. Semoga bermanfaat.

Dra Praharesti Eriany MSi

HIDUP NO.42 2019, 20 Oktober 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini