HIDUPKATOLIK.com – Bukan soal menuju puncak gunung. Mutripala memprioritaskan rasa kekeluargaan dengan belajar menerima sesama dengan kondisi apapun.
Ketika berada di alam, sifat asli manusia akan terlihat. Begitu juga saat mendaki gunung. Kemunculan watak asli seseorang akan nampak saat mengalami kehabisan minum dan bahan makanan di gunung, harus menunggu temannya yang tertinggal, dan sebagainya.
Hal ini dialami oleh Aris Kurniawan. Tahun 1998 adalah menjadi momentum bagi Aris menginjakan kakinya ke gunung untuk pertama kali dengan mengikuti Mudika Trinitas Pecinta Alam (Mutripala). Ia merasa, teman-teman seperjalanan menjadi lebih nyata.
“Dengan mendaki gunung, kita menjadi menjadi lebih akrab. Justru dengan lebih mengenal teman, entah dari keburukan sekalipun justru itu menguatkan,” ujarnya.
Asah Kepribadian
Pengalaman berbeda dirasakan oleh generasi berikutnya. Gregorius Agung, Anggota Mutripala angkatan 2016, merasakan adanya rangkulan yang kuat satu sama lain. Selain dilatih kiat-kiat naik gunung, Mutripala juga mengasah kepribadian seseorang. Sempat dilarang oleh orangtua untuk bergabung, setelah empat tahun, ia merasakan ada perubahaan. “Dulu saya mementingkan diri saya sendiri, tapi setelah bergabung di sini, saya jadi sadar, oh ternyata ada orang lain. Ada rasanya kepedulian yang timbul dan manusia adalah makhluk sosial, jadi ya harus bersosialisasi,” ungkap Agung.
Berbeda dengan orangtua Agung, Felix, sebagai orangtua, mengizinkan anaknya untuk bergabung di Mutripala. Menurutnya, Mutripala tidak sekadar wadah untuh naik gunung saja, tetapi juga dapat membentuk karakter seseorang menjadi mandiri. “Terlihat persaudaraannya kental. Mulai dari Mudika, sampai yang sudah berkeluarga, relasi mereka itu tidak ada batasannya,” ujarnya.
Mutripala terbentuk pada bulan Oktober 1996, diawali oleh para Mudika di Gereja Katolik Trinitas, Cengkareng. Menurut Henrikus Dwi Cahyono, salah seorang perintis Mutripala, kategorial dibawah Seksi Kepemudaan ini terbentuk karena awalnya tidak sengaja. “Mudika di sini sering kumpul-kumpul, lalu punya hobby sama, entah itu jalan bareng dan termasuk naik gunung,” jelas Henrikus.
Tapi tidak semata-mata hanya karena naik gunung, Henrikus mengungkapkan bahwa Mudika membutuhkan wadah untuk berkegiatan. Sebagai wadah kegiatan kepemudaan yang mengarah pada aktivitas di alam bebas seperti mendaki gunung, penjelajahan hutan, berkemah, Mutripala juga melakukan kegiatan sosial dengan membantu kegiatan-kegiatan paroki seperti pemeliharan taman, kebersihan Gereja, parkir, dan lainnya.
Mencari Kualitas
Regenerasi memang menjadi kendala utama pada setiap komunitas atau organisasi. Mutripala sudah berdiri selama 23 tahun tetapi baru mempunyai 7 angkatan. “Tahun ini sedang berlangsung pelatihan angkatan ke-8,” ujar Agung.
Walaupun begitu, Mutripala tidak mau asal mencari anggota. Mulai dari perekrutan di awal kemudian calon anggota harus mengikuti pendidikan selam 2-3 bulan. Di akhir masa pendidikan lalu di evaluasi, siapa yang lolos akan ikut diklat. “Itu pun belum bisa mendaki gunung ya. Mereka menerapkan materi yang sudah dipelajari seperti makan cacing, tumbuhan, bagaimana jika mengalami hipotermia, agar bisa bertahan hidup,” jelas Agung.
Dalam kondisi apapun di atas gunung, Mutripala menggalakkan anggota untuk selalu bersama-sama. “Kita mau bentuk mental, karena itu utama, dan kami tidak masalah jika anggotanya sedikit tetapi berkualitas,” sahut Henrikus.
Mutripala tidak main-main mencari anggota. Mutripala bukan mencari kuantitas tapi kualitas.
Pendekatan Emosional
Menurut Henrikus, untuk regenerasi pencinta alam di Gereja berbeda dengan pencinta alam di luar. Saat hadir dalam pertemuan pecinta alam se-KAJ, Henrikus melihat adanya kesamaan problematika yang dihadapi komunitas pecinta alam di gereja-gereja lain. Di sini karena dibawah naungan Orang Muda Katolik (OMK), jadi ada batas usia, di tempat lain kan pencinta alam bisa seumur hidup. Meski begitu selalu ada kritik bagi setiap kelompok di dalam Gereja. “Memang ada yang kurang setuju dengan keberadaan pecinta alam di Gereja, karena dipandang anggotanya bandel,” ujar Henrikus.
Hampir dibubarkan karena ada kesalahpahaman, bagi Henrikus, Mutripala harus bertahan. Henrikus masih ingat saat itu Aris memanggilnya untuk datang ke gereja karena anggota dewan paroki meminta Mutripala harus bubar. “Saya tetap tidak mau dibubarkan karena itu wadah dan seharusnya bersyukur teman-teman muda masih mau berkegiatan di gereja. Meskipun bandel, minimal dengan mereka tetap ada di gereja, akan ada kontrol buat mereka untuk tidak melakukan hal
negatif,” ujarnya.
Henrikus percaya bertahan selama 23 tahun sampai sekarang adalah campur tangan Tuhan. Prinsipnya, selama berjalan di ranah yang tepat, kenapa tidak bertahan, walaupun untuk berkembang agak terseok-seok. Selama ini, Henrikus mengakui melakukan pendekatan emosional terhadap anggotanya. “Mungkin karena struggle sama-sama jadi solid. Contoh kami kumpul untuk arisan atau family day. Sering kumpul tuh bermanfaat, walaupun terlihat tidak ada gunanya. Saya selalu tekankan, kalau ada yang jatuh, ya support. Susah senang sama-sama. Membangun kebiasaan seperti itu butuh waktu 23 tahun. Secara regenerasi kita memang kurang, tapi dari proses sosialisasi, proses emosional itu sangat positif”.
Sesuai dengan moto yang dipegang oleh Mutripala, ‘Non Verbo Sed Exemplo’ yang artinya bukan hanya sekadar perkataan, tetapi tindakan. “Nah motonya sama jika sedang mendaki gunung, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak. Termasuk temanmu!” tegas Henrikus.
Dua tahun lagi, Mutripala akan merayakan pesta perak. Ke depannya, Henrikus ingin memupuk mindset pada umat, kegiatan rohani bukan hanya berhenti di depan altar, justru saat mengaplikasikan kepada sesama. “Tindakan adalah merupakan hal rohani yang berupa wujud. Kalau hanya rajin doa, dan Misa tapi dengan sesama tidak peduli, itu percuma. “Untuk apa kita berdoa dan memuji kalau hanya berhenti di situ?”.
Karina Chrisyantia
Laporan: Yola Salvia
HIDUP NO.41 2019, 13 Oktober 2019