Suster Maria Theresia Tuminah BKK : Tuhan Mempersiapkan Jalan

619
Suster Maria Theresia Tuminah BKK.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]

HIDUPKATOLIK.com – Kehilangan orang tercinta amat menyedihkan. Namun, kenangan itu justru menjadi fokus dan medan pelayanannya. Ia sempat bercita-cita menjadi pastor.

Tuminah lahir dari keluarga Islam. Saban menjelang maghrib, ia selalu ada di mushala atau di rumah guru agama. Ia tak pernah absen mengaji. Putri sulung pasangan Suparman dan Kusmi ini juga jago pelajaran bahasa Arab. Ia selalu mendapat nilai 100 dalam menulis aksara Arab dan pelajaran lain di sekolah.

Tuminah adalah bintang sekolah. Ia sering dipercaya sekolah untuk mengikuti kompetisi akademik. Tak hanya berilmu, Tuminah lincah dalam melakukan gerakan akrobatik. Ia juga aktif dalam kelompok drum band.

Sama seperti anak-anak lain, gadis kelahiran Semarang ini pun memiliki cita-cita. Namun, Tuminah tak mau menjadi guru, dokter, bidan, atau profesi populer lain yang jamak diminati oleh bocah seusianya. Ia mau menjadi romo. “Aku udah teguh pendirian. Gede nanti aku mau menjadi seperti romo itu (romo Belanda yang berkarya di Gereja Jago/ Paroki St Yusuf Ambarawa),” ujarnya.

Pegang Jubah
Sebagai bocah dan seorang Muslim, Tuminah tak tahu banyak soal proses dan syarat menjadi romo. Ia cuma tahu romo itu tinggal di gereja dan tiap hari berkunjung ke rumah umatnya. Namun, justru kebiasaan sederhana seperti itu yang membekas dan membuatnya terpincut menjadi romo.

Tuminah tinggal di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Mayoritas penduduk di sana beragama Islam. Umat Katolik di desa itu hanya beberapa orang saja. Kendati demikian, hampir tiap hari salah satu dari tiga romo di Gereja Jago mengunjungi umatnya di desa tersebut.

Tuminah tak pernah melewatkan kesempatan itu. Ketika sudah melihat romo dari kejauhan, ia akan buru-buru bersembunyi di balik pepohonan. Begitu romo melintas, Tuminah keluar dari persembunyian, mengendap, dan memegang jubah sang romo. Aksi Tuminah selalu diikuti oleh sorak teman-temannya.

Ia yakin, romo-romo bule itu mengetahui perbuatannya. Namun, mereka pura-pura tak tahu. Baru ketika romo sengaja menoleh, Tuminah langsung mengambil langkah seribu. Ia bersembunyi di dalam rumah. “Enggak takut. Biar romo enggak tahu saja kalau yang megang (jubahnya) bukan Katolik,” ujar siswi SD Negeri Panjang 1 Ambarawa ini.

“Keisengan” itu tampaknya menjadi kebiasaan yang membahagiakan bagi Tuminah. Hingga satu kali, Tuminah terkejut. Tanpa ia sadari seorang romo londo berdiri di hadapan dan menanyakan rumahnya. Tuminah langsung menyambut tangan romo dan menuntun ke rumahnya. Saat itu Natal. Tuminah kelas III SD.

Percakapan antara romo dengan orangtua Tuminah berlangsung amat cair. Tak ada rasa canggung di antara mereka. Sedangkan Tuminah duduk di pangkuan sang imam. Sembari mendengarkan percakapan antara orangtua dan romo, ia mengelus-elus salib yang melingkar di leher gembala umat itu. “Kalau gede nanti, aku mau jadi kayak gini,” gumam Tuminah.

Tak berselang lama, Tuminah merasa tak kerasan di sekolah. Ia ingin pindah dari sekolah lama karena tak ada pelajaran Agama Katolik. Tak seorang pun, bahkan orangtuanya sendiri, mengetahui dari mana Tuminah memiliki alasan tersebut. Karena itu, para guru berusaha agar Tuminah mengurungkan niatnya.

Nyatanya, tak ada seorang pun yang berhasil membujuknya untuk bertahan di sekolah lama. Gadis berambut panjang yang dikepang dua itu kemudian masuk ke SD St Yusup Losari, Ambarawa. Lembaga pendidikan tersebut dikelola oleh Yayasan Kanisius. “(Meski belum dibaptis) Saya sudah merasa menjadi Katolik saat itu,” tutur Tuminah.

Sejak bersekolah di sana Tuminah semakin mendalami ajaran agama Katolik. Hal yang sama juga dilakukan oleh orangtua dan adik Tuminah. Sebelum lulus SD, Tuminah bersama keluarganya menerima Sakramen Baptis. Namanya tak lagi hanya Tuminah, melainkan Maria Theresia Tuminah.

Pengalaman Kehilangan
Tuminah tak pernah melupakan Natal perdana keluarganya sebagai warga baru Gereja Katolik. Mereka amat bersukacita. Apalagi ia mendapat hadiah dari orangtuanya. Begitu pula sang adik, Yustinus Tukiman. Tuminah ingat betul. Saat Perayaan Natal, adiknya pergi ke gereja mengenakan kemeja berkelir hijau. Sepatu hitam pekat membungkus kedua kakinya. Ia terlihat amat gagah.

Suasana Natal yang semula membawa kegembiraan luar biasa bagi Tuminah dan keluarga, lenyap seketika. Tukiman didera demam luar biasa. Perawat memberinya obat. Alih-alih sembuh, tubuhnya justru kejang-kejang. Nyawanya pun tak tertolong. “Saya masih merasa kehilangan dirinya hingga kini,” ujar alumna Akademi Maritim Nasional Indonesia (kini, Sekolah Tinggi Maritim dan Transpor AMNI), Semarang, dengan mata berkaca-kaca.

Menurut Tuminah, yang paling terpukul atas tragedi itu adalah ibunya. Sama seperti Tuminah, Tukiman merupakan putra semata wayangnya. Amat lama sang ibu bisa berdamai dengan peristiwa kehilangan itu. Pikirannya selalu tertumbuk kepada putranya. Ibu menjadi jarang makan. Tubuhnya mengurus.

“Pil pahit” kedua yang ditelan Tuminah adalah ketika pakde-nya meninggal. Ia mengaku, masuk AMNI karena ingin mengikuti jejak pakdenya. “Saya mau kerja nerusin pakde saya. Dia di bea cukai, mau memberantas mafia, dan sindikat-sindikat,” ujarnya.

Masih ada satu peristiwa “kehilangan” yang amat membekas dan berpengaruh pada hidup dan panggilan Tuminah. Ketika ia kuliah terjadi prahara dalam keluarganya. Ibu dan bapaknya berpisah. Ayah berselingkuh dengan perempuan lain. Mereka menikah kemudian mempunyai anak.

Tuminah amat berang kepada mereka. Pada saat bersamaan, hatinya luluh lantak melihat dan merasakan penderitaan ibunya, yang selama ini sudah sangat setia mendampingi dan melayani suaminya. Ibu juga pekerja keras dan mandiri. Ia seorang pedagang. Penghasilannya selalu lebih besar dari gaji suaminya. Karena itu, ibu tak pernah sekali pun meminta uang kepada suaminya . Malah justru sebaliknya, ibu yang memberikan uang bapak.

Kendati “awan gelap” menyelubungi keluarganya, Tuhan masih memperhatikan ibu dan saudarinya. Dia mengutus Romo Johanes Maria Trilaksyanta Pujasumarta (kelak menjadi Uskup Bandung dan diangkat sebagai Uskup Agung Semarang) untuk membantu mereka melewati saat-saat terberat kehidupan. “Ibu saya sempat beberapa kali mau bunuh diri. Beruntung, ia tertolong terus,” kenangnya.

Membuka Mata
Tuminah terus melangkah dan menata hidupnya. Begitu lulus kuliah, ia langsung mendapat pekerjaan. Hidupnya pun terbilang mapan. Namun, pada suatu ketika, cita-cita masanya kecilnya menggema. Ia ingin menjadi pastor. Perjumpaan dengan Kepala Paroki St Familia Atmodirono, Keuskupan Agung Semarang waktu itu, Pastor Nicolaus Antosaputra MSF, baru membuka mata Tuminah. Yang bisa menjadi pastor hanyalah laki-laki.

Dari Pastor Anto pula Tuminah berkenalan dengan tarekat Biarawati Karya Kesehatan (BKK) atau Medical Mission Sisters (MMS). Ia pun memutuskan untuk bergabung dengan tarekat tersebut. Akhir September lalu, Tuminah –yang kemudian dipanggil Sr Maria sejak menjadi biarawati– merayakan pesta perak (25 tahun) hidup membiara. Kendati sang ibu tak menyetujuinya menjadi suster, namun ia bangga dengan keberanian dan keputusan putrinya itu: hidup sederhana dan mengabdi untuk Tuhan serta sesama. Sr Maria juga menjadi jalan pertobatan sang ayah kembali ke dalam pangkuan Gereja Katolik.

Pengalaman getir yang sempat dialami semasa muda menjadi pemantik bagi Sr Maria untuk menyelam dan membantu masyarakat kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Secara khusus kepada kaum perempuan, ibu, dan anak.

“Saya tidak menaruh dendam terhadap laki-laki. Namun, saya menaruh perhatian besar terhadap wanita yang menjadi korban, terutama anak-anaknya. Itu menjadi bekal untuk saya, karena jalan Tuhan mempersiapkan saya menjadi seperti itu,” ungkap biarawati, yang sejak lima tahun lalu berkarya di Biro Pelayanan Penyandang Disabilitas Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta ini.

 

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.41 2019, 13 Oktober 2019

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini