Peradaban Ekologis untuk “Paru-paru Dunia”

229
Sejumlah orang menggelar protes terkait kebakaran hutan Amazon di Bern, Swiss, Jumat, 23/8/2019.
[AP.com]

HIDUPKATOLIK.com – Paus mengharapkan setiap pribadi perlu membuang sikap tuna adab dan mengembangkan sikap adab ekologis sebagai sebuah seruan profetis bagi Gereja harapan di Amazon.

Kabut asap membumbung tinggi menutupi sebagian wilayah Hutan Amazon. Terlihat si jago merah belum usai melahap rerumputan kering dan dedaunan pohon. Kebakaran Hutan Amazon tahun ini menjadi yang terparah, paling hebat dan terbesar di dunia selama hampir satu dekade.

Negara Bagian Brasil di Utara seperti Roraima, Acre, Rondônia, dan Amazonas sangat terpengaruh. Pakar negara Brasil melaporkan hampir 77.000 kebakaran hutan di seluruh negeri pada 2019, meningkat 85% dibandingkan periode yang sama pada 2018. Lebih dari setengah kebakaran itu terjadi di kawasan Amazon.

Kebakaran sebagian lahan hutan tersebut memiliki dampak terhadap ekosistem di Hutan Amazon serta perubahan iklim dunia. “Paru-paru dunia”, demikian sebutan para ilmuwan dunia untuk Hutan Amazon. Sebutan ini untuk menggambarkan bagaimana Amazon menguras karbon dioksida yang merangkap panas dari atmosfer. Amazon menyerap hingga dua miliar ton oksigen per tahun. Fakta tersebut menjadikan Hutan Amazon menjadi bagian penting untuk mencegah perubahan iklim.

Maka sudah bisa dipastikan, kebakaran Hutan Amazon dapat menyebabkan hilangnya penyerap karbon dunia. Justru sebaliknya, api dari kebakaran itu telah memproduksi jutaan ton karbon setiap harinya.Dilansir dari Apnews, Carlos Nobre, Ilmuwan Iklim dari Universitas Sao Paulo, Brasil, mengatakan, saat ini Amazon telah dekat dengan “titik kritis” yang akan mengubah hutan lebat menjadi sabana tropis. “Ini bukan hanya teoretis tetapi kenyataan bahwa Amazon sedang menuju padang sabana,” tutup Nobre.

Lagi-lagi, fakta di lapangan menyebutkan kebakaran di Amazon merupakan ulah manusia. Pembersihan lahan ilegal untuk peternakan dan perkebunan yang menjadi penyebab utamanya. Jumlah kebakaran meningkat karena orang berpikir penegakan hukum tidak akan menghukum mereka.

Perhatian Dunia
Meningkatnya intensitas kebakaran di Amazon telah memicu protes anti pemerintah serta protes internasional. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Konferensi Waligereja Uskup Amerika Latin dan Karibia (CELAM), ada keprihatinan yang mendalam terhadap kebakaran yang merusak hutan dunia.

Para uskup meminta pemerintah negara-negara Amazon, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komunitas internasional untuk membantu menyelamatkan paru-paru dunia. Mengutip homili Paus Fransiskus dalam Audiensi Umum di hadapan para peziarah di Lapangan St Petrus, Rabu, 21/8, para uskup mendesak semua orang yang menempati posisi tanggung jawab untuk menjadi penjaga ciptaan.

Demi membangkitkan kepedulian bersama, Paus Fransiskus mencatat keprihatinan universal terhadap kebakaran besar yang mengamuk di seluruh wilayah Amazon pada saat Angelus hari Minggu, 25/8. Paus berdoa agar dengan komitmen semua orang, api bisa ditaklukan sesegera mungkin. “Paru-paru Hutan Amazon sangat penting bagi planet kita,” ungkap Paus.

Keprihatinan Fransiskus menyepakati Instrumentum Laboris’ (Dokumen Kerja) Sidang Istimewa Sinode Para Uskup untuk Wilayah Pan-Amazonia (Sinode Amazon). Sinode yang berlangsung 6-27 Oktober 2019 ini mengusung tema, “Amazonia: Jalan baru untuk Gereja dan untuk Ekologi Integral.”

Dokumen kerja yang telah disampaikan pada 17 Juni 2019 lalu adalah hasil dari proses mendengarkan yang dimulai dengan kunjungan Paus ke Puerto Maldonado, Peru, Januari 2018 lalu. Setelah dokumen ini berangkat dari hasil konsultasi di seluruh wilayah Amazon dan pertemuan kedua dewan pra-sinode, Mei 2019 lalu.

“Suara dari Amazon,” demikian judul pertama dari dokumen itu. Bagian ini menyajikan realitas wilayah itu serta rakyatnya. Tak menampik hubungan antar kehidupan dan ketersediaan air, dokumen ini juga menyoroti sungai-sungai besar yang mengalir melewati wilayah itu dan menjadi habitat ragam makhluk hidup.

Dalam sinode ini, Paus menyoroti akibat kebakaran ini bagi mata pencaharian, budaya, dan spiritualitas ribuan komunitas adat, kelompok-kelompok minoritas lainnya, serta para petani yang tinggal di wilayah itu. Ada hidup yang terancam, hidup penuh teriakan masyarakat kecil, miskin, kecil, orang-orang pinggiran demi hidup yang lebih baik. Inilah pesan profetis kepada Amazon bahwa di sana ada tantangan dan harapan,” jelas Paus seperti dilansir CNA, 30/8.

Perabadan Ekologis
Terhadap Amazon, Paus lagi-lagi mengungkit sifat manusia yang kurang peka. Menurut Paus Fransiskus, krisis ekologi terjadi karena kejahatan manusia. “Kejahatan itu diperhitungkan sebagai dosa! Karenanya, harus ada pertobatan, namanya pertobatan ekologis,” ujar Paus.

Dalam pengamatan Paus, sikap tuna adab ekologis menjadi corak hidup masyarakat zaman ini. Sikap tuna adab itu ditandai sikap serakah, tak peduli dan sewenang-wenang terhadap bumi sebagai rumah bersama. Atas nama keserakahan industri, manusia telah mengeksploitasi bumi tanpa kendali demi kemakmuran segelintir orang.

Dalam sinode ini, Paus mengharapkan setiap orang melupakan sikap tuna adab ekologis yang membuat manusia terlilit oleh spiral penghancuran diri sendiri. Di hadapan para uskup dan peserta sinode, Paus menyeruhkan bahwa pada gilirannya, krisis ekologi itu menjadi masalah pula dari sisi keadilan sosial.

Berhadapan sikap tuna adab ekologis, Paus mengharapkan setiap orang mengembangkan peradaban ekologis. Sikap ini dimulai dengan pertobatan ekologis yang berbuah dalam praksis kasih ekologis. Tentu tujuannya untuk kesejahteraan bersama, terutama bagi mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir.

Harapan membangunkan Amazon dari “tidur panjang” kebakaran ini dianggap Paus sebagai seruan moral untuk semua orang tanpa terkecuali. Apapun agama dan kepercayaan, manusia secara aktif-partisipatif harus menanggapi krisis ekologi Amazon.

Terkait seruan ini, Ketua Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang Pastor Aloysius Budi Purnomo mengatakan, setiap orang perlu merubah paradigma tentang praksis peradaban kasih ekologis ekumenis-interreligius dalam perspektif ekoteologi tanpa memandang denominasi agama dan kepercayaan seseorang. “Secara sederhana, perspektif ekoteologi ini hendak melihat, menggerakkan dan menghadirkan sikap beradab terhadap semesta demi keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup,” ungkapnya.

Wilayah Harapan
Sementara itu, menanggapi Sinode Amazon Oktober 2019 ini, Presiden Brasil Jair Bolsonaro tegas mengatakan pemerintah Brasil siap membantu Gereja untuk menyelesaikan kasus Amazon. Meski sebagian kaum urban Brasil merasa pernyataan Jair ini hanya untuk menutupi kebobrokan pemerintahan Brasil, tetapi pada prinsipnya pemerintah Brasil menyatakan kesediaan menyelesaikan kasus ekologis ini.

Sinode Amazon membahas banyak hal tentu tidak saja terbatas pada ekologi. Sinode ini diikuti Konferensi Waligereja dan sembilan negara yang terlibat yaitu Brasil, Ekuador, Venezuela, Suriname, Peru, Kolombia, Bolivia, Guyana, dan French Guiana.

Ketua Konferensi CELAM, Uskup Agung Trujillo, Peru, Mgr Miguel Cahrejos Vidarte mengatakan suara Amazon tidak hendak didengarkan dalam kacamatan kerusakan lingkungan semata tetapi dilihat dalam terang iman. Amazon butuh “jalan baru” ke luar dari situasi kehidupan yang dianggap menyesatkan, penuh dosa. “Cukuplah ‘api Amazon’ sebagai ‘siksaan neraka’ bagi masyarakat sekitar. Mereka butuh hidup baru tanpa dikejar api yang panas,” sebut Mgr Miguel.

Sementara itu aktivis lingkungan hidup Brasil sekaligus pengacara 30 ribu penduduk hutan Amazon, Pablo Fajardo mengatakan, kerusakan lingkungan karena adanya raksasa minyak Texaco-Chevron yang diduga menjadi biang polusi di Amazon. Bagi Pablo, Amazon adalah dunia yang sama sekali baru, tetapi ada cinta.

“Di Amazon, ada roh, bisikan, bau dan rasa, penuh dengan panas, air, serangga, dan hewan. Singkatnya, penuh kehidupan,” ujar lulusan Universidad Tecnica Particular de Loja, Brasil. “Sementara, Amazon yang lain adalah Amazon yang tercemar!”

Bagi Pablo Amazon adalah gadis “perawan” yang perlu disapa, ditegur bila memilih jalan yang salah, tanpa harus menghakiminya. Bila sang “perawan” telah dinodai, dipastikan 10 tahun kemudian, planet dunia akan kehilangan nama.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.41 2019, 13 Oktober 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini