Pesan Pastor Sekaligus Ketua RT: Toleransi Jangan Sebatas Pemahaman

782
Imam Keuskupan Malang, Pastor Damianus Fadjar Tejo Soekarno (HIDUP/Yanuari Marwanto)

HIDUPKATOLIK.com – BUDAYA damai dan persaudaraan sejati tercipta karena dilandasi oleh sikap toleran antar sesama manusia. Keutamaan itu, menurut Pastor Damianus Fadjar Tejo Soekarno, muncul mengandaikan setiap individu membuka “ruang” perjumpaan atau memperbanyak silaturahmi antar sesama.

“(Untuk itu kita harus) berani meninggalkan kemapanan dan kenyamanan,” ujar Kepala Paroki St Paulus Jajag Bayuwangi, Keuskupan Malang, pada hari studi para uskup, di Bumi Silih Asih Keuskupan Bandung, Selasa, 5/11.

Silaturahmi, lanjut Romo Fadjar, sapaannya, tak cukup hanya bertatap muka, ngobrol, lalu kembali ke kediaman masing-masing. Silaturahmi yang ideal, menurutnya, harus sampai pada mengetahui, merasakan, memikirkan, dan terlibat dalam mensejahterahkan sesama atau masyarakat sekitar. “(Sehingga) toleransi bukan sebatas pemahaman tapi harus sampai kepada pengalaman,” ujar imam yang getol dalam komunitas dialog lintas agama dan budaya ini.

Saking semangat dalam komunikasi dan relasi dengan akar rumput, Romo Fadjar didapuk oleh warga sekitar gereja menjadi Ketua Rukun Tetangga. Sebelumnya, saat berkarya di Paroki Maria Ratu Damai Bayuwangi, Keuskupan Malang, ia dipercaya sebagai tokoh adat Osing Kemiren.

Setiap 2 Syawal (Idul Fitri hari kedua), Romo Fadjar, diminta para tokoh masyarakat Osing Kemiren untuk membuka prosesi Barong Ider Bumi. Upacara adat itu diawali dengan ritual Sembur Otik-Otik. Ia lalu berjalan di depan sambil melemparkan uang logam, bunga, dan beras kuning.

Mengutip dari Mongabay, suku Osing merupakan penduduk asli Bayuwangi, Jawa Timur. Mereka juga biasa disebut sebagai Laros, atau singkatan dari Lare Osing. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai wong Blambangan. Seperti layaknya wilayah-wilayah kerajaan di Pulau Jawa pada zaman dulu, Suku Osing semula memeluk agama Hindu-Budha. Namun perkembangan Islam, mayoritas masyarakat di sana akhirnya memeluk agama Islam.

Romo Fadjar mengaku, butuh waktu lama, untuk menabur dan merawat relasi dengan masyarakat sekitar. Karyanya itu pun tak selalu mulus. Kadang, ada cibiran yang ia terima.  Tuduhan kepadanya pun bermacam-macam, antara lain dirinya dicap telah melakukan sinkretisme. Ironisnya, kalimat menyakitkan itu justru datang dari orang terdekat dengannya: beberapa rekan imam. “Kadang, saya merasa (berjuang) sendiri dan sendirian,” keluhnya.

Perayaan Ekaristi, aku Romo Fadjar, menjadi sarana yang menguatkan panggilan dan karyanya. Tiap kali merayakan Misa, ia menyadari, bahwa apa yang dialaminya tak sebanding dengan pengorbanan yang telah Yesus lakukan. “Dia (Yesus) rela dicaci maki, disiksa, bahkan wafat di kayu salib,” ujarnya, takjub.

Pesan mantan rektornya di seminari (kini menjadi Uskup Surabaya), Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, juga memantapkan panggilannya. Mgr Sutikno mengatakan kepadanya, menjadi pastor itu bukan hanya menggembalakan umat Katolik tapi menggembalakan manusia dan alam yang ada di wilayah teritorial atau kategorial yang dipercayakan kepadanya. Peneguhan juga ia dapatkan dari mantan dosen Teologi Dogmatiknya, Pastor Petrus Maria Handoko CM.

Romo Fadjar (kiri) bertemu dengan mantan rektor yang kini menjadi Uskup Surabaya, Mgr Sutikno, pada sela hari studi para uskup se-Indonesia (HIDUP/Yanuari Marwanto)

Langkah dan karyanya berdialog dengan umat beragama dan budaya lain semakin diteguhkan berkat dukungan uskupnya, Mgr Henricus Pidyarto Gunawan OCarm. Saat Romo Pidyarto ditunjuk oleh Paus Fransiskus sebagai Uskup Malang, kenang Romo Fadjar, ada rekan imam yang mencibirnya.

Mereka mengatakan, yang telah ia lakukan tak sesuai dengan moto kegembalaan Mgr Pid, Fideliter Praedicare Evangelium Christi (Dengan Setia Mewartakan Injil Kristus).  “Mereka (beberapa imam) bilang, yang saya lakukan justru bukan mewartakan Injil,” kenang Romo Fadjar.

Setelah mendengar pernyataan tersebut, Romo Fadjar menemui Mgr Pid. Ia meminta maaf kepada Bapa Uskup dengan menyertakan berbagai komentar yang ia dapat dari konfraternya. Jawaban Mgr Pid justru membuatnya kaget. Mgr Pid mengatakan, Injil itu sama dengan Kabar Suka Cita. “(Jadi) Romo sebetulnya juga telah mewartakan Kabar Suka Cita kepada umat dan masyarakat,” ujar Mgr Pid, seperti dikuti Romo Fadjar.

Romo Fadjar menyadari, karya yang ia tekuni, mungkin kurang menarik di mata imam-imam lain. Namun, demi menciptakan hidup bersama yang damai, ia mendorong para imam dan kaum berjubah untuk meretas dialog dan karya bersama komunitas lain, baik yang berbeda keyakinan maupun budaya. Harapan serupa juga ia tujukan kepada kaum intelektual Katolik, para orang muda, dan seluruh umat.

 

 Yanuari Marwanto

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini