Gropesh : Muda Peduli Lingkungan

751
Kegiatan Indonesia Clean Up Day 2019 di Cililitan, Jakarta Timur, 25/8.
[Dok.GROPESH]

HIDUPKATOLIK.com – Generasi hendaknya memiliki kepedulian yang lebih sebagai pemilik bumi ini lebih lama.

Novita Sari selama ini prihatin, saat melihat kebiasaan orang yang tidak membuang sampah pada tempatnya. Ia juga melihat, fasilitas pengolahan sampah yang masih kurang di Jakarta. Dengan kondisi ini, banyak orang bingung harus buang sampah dimana. Akhirnya, mereka malah dibuang di sembarang tempat.

Sama halnya dengan Birgitta Angelia. Selama di bangku SMA, Angel sapaannya, kerap kali dijuluki “tukang sampah”. Setiap kali ada kumpul bareng bersama teman sekolahnya, Angel sering harus mengumpulkan sampah-sampah yang dibuang teman-temannya itu. Di mana pun ia berada, sedapat mungkin ia berusaha menjaga kebersihan. Jika tidak ada tempat sampah, ia rela mengantongi sampah dan membuangnya saat ia menemukan tempat sampah.

Kepedulian akan kebersihan, membuat Novita dan Angel bergabung dengan Gerakan Orang Muda Peduli Sampah dan Lingkungan Hidup (Gropesh). Romo Alexius Andang L. Binawan SJ mendirikan Gropesh sejak tahun 2007. Latar belakang gerakan ini karena melihat lingkungan dan bumi ini sudah semakin rusak. Sementara di tengah kondisi ini, Gereja juga belum memberikan keperduliannya untuk lingkungan dan bumi.

Gropesh lahir dalam pertemuan aksi peduli sampah di Wisma Samadi, Klender, Jakarta Timur pada tanggal 25 Maret 2007. Sebelumnya, gerakan ini bernama “Gerombolan Orang Muda Peduli Sampah dan Lingkungan Hidup”. Karena “gerombolan” dirasa memiliki asosiasi yang kurang bagus, maka diganti dengan “gerakan”. Romo Andang mengatakan, “gerakan” menjadi hal yang berkelanjutan, dan lebih melibatkan banyak orang.

Motor 3 R
Bukan sekadar menghimbau orang untuk tidak membuang sampah sembarangan, Gropesh mengkampanyekan gerakan “Reduce, Reuse, Recycle, dan Replant” (3R + R). kampanye ini terus berkesinambungan dengan tagline Gropesh, “Taruh Sampah Jadikan Berkah”.

Novita menjelaskan, sampah yang dihasilkan dari aktivitas keseharian manusia sebenarnya tidak dibuang, melainkan ditaruh. Dengan kata dibuang, berarti sampah diacuhkan, padahal sampah masih bisa diolah untuk dipergunakan kembali.

Di Gropesh, cara mengampanyekan gerakan 3R + R ini salah satunya adalah dengan mengadakan Pelatihan Promotor Gropesh (PPG). Pelatihan ini berlangsung dua tahun sekali yang melibatkan paroki- paroki di seluruh Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).

Kegiatan selama PPG antara lain brainstorming tentang isu yang sedang marak terhadap lingkungan hingga praktik membuat biopori. Setelah mengikuti PPG, peserta dapat mengimplementasikan ilmu yang di dapat di paroki asal masing-masing. Harapannya mereka dapat menyebarkan habitus-habitus baru tentang pengolahan sampah di masyarakat.

Dalam banyak kesempatan, Gropesh juga kerap bersinergi untuk memberi pelatihan kepada kelompok atau lembaga lain. Novita menambahkan, Gropesh pernah mengadakan pelatihan membuat barang daur ulang dari bungkus kopi untuk para ibu rumah tangga di beberapa wilayah pastoral KAJ.

Bulan Agustus lalu, Gropesh juga berpartisipasi dalam World Clean Up Day dan mengusung tema Clean Up Jakarta Day (CUJD), 25/8. Angel mengatakan tahun ini adalah tahun ketiga, Gropesh ambil bagian dalam kegiatan tersebut. “Kami melakukan clean up tahun ini di Kampung Cililitan,” ujar umat Paroki Paskalis, Cempaka Putih ini.

CUJD dimulai sejak pukul enam pagi. Selama acara, masyarakat yang terlibat tidak sekadar mengambil sampah, mereka diajak mengikuti pelatihan membuat kertas daur ulang dan penanaman beragam bibit pohon. Selama kegiatan ini, Gropesh berkerjasama dengan Dinas Kebersihan, SD Tarakanita 5, Rawamangun, dan Komunitas Palapass, dari Paroki Salib suci. CUJD bertujuan menghimbau warga sekitar dan menyinergikan masyarakat dan pemerintah.

Bagian dari Iman
Tidak dipungkiri jika masih ada yang peduli lingkungan hanya di bibir saja tetapi tidak melakukan action. Hidup “go green” tidak gampang dilakukan. Ia mencontohkan, gerakan bawa botol minum (BBM) masih sangat sulit di jalankan di paroki-paroki. Belum lagi ada juga gerakan pantang plastik dan sterefoam. Novita mengakui, awal, gerakan-gerakan semacam ini pasti akan sulit. Apalagi, gaya hidup masyarakat sekarang, semua ingin serba praktis dan instan. “Peduli lingkungan bisa dilakukan kalau kita konsisten,” ujar pendamping Gropesh ini.

Novita mengatakan, peduli lingkungan bisa dilihat dari kacamata iman. Novita mengingat selalu pesan Romo Andang tentang “salib”. Salib terbentuk dari dua palang vertikal dan horizontal. Palang keatas menunjukkan arah iman manusia kepada Tuhan. Sedangkan palang horizontal ingin menunjukkan relasi antar sesama.

Masih ada lagi, salib juga mengarah ke bawah, yang berarti ke bumi. Dengan kata lain, lanjut Novita, sebagai penghuni bumi, manusia berkewajiban untuk peduli lingkungan dan harus ada aksi nyata bagaimana menjaga bumi ini.

Bagi Romo Andang, kepedulian sudah sewajarnya dimiliki oleh mahkluk yang tinggal di bumi. Namun, ia berpendapat, orang muda yang akan mendiami bumi ini lebih lama, mereka hendaknya memiliki kepedulian yang lebih.

Orang muda sebagai generasi yang masih mempunyai tenaga lebih, bisa memberikan dampak ke orang lain. Kebiasaan orang-orang yang selama ini membuang sampah ke sungai harus ditinggalkan. Sampah yang dibuang ke sungai tidak akan hilang, sampah itu hanyut di laut dan mengendap. “Kita sebagai generasi muda yang hidup di zaman sekarang dan mengetahui kenyataan seperti itu, ya harus gerak,” tegas Novita.

Tetap Berkarya
Hingga kini, Gropesh sudah berkiprah selama 12 tahun dan sampai sekarang masih tetap berjalan. Saat ini salah satu keprihatinan Gropesh juga dikarenakan kurangnya kader-kader yang aktif. Anggota pasif adalah mereka yang setelah mengikuti PPG kemudian kembali ke paroki. Sebagian lain, mereka terpanggil aktif di kepengurusan Gropesh. Dengan didominasi anggota dengan usia kerja, jadi memang agak sulit jika mau bertemu.

Selain bertemu untuk rapat, di luar dari kegiatan lingkungan hidup, biasanya anggota Gropesh mengadakan nonton bareng atau hanya kumpul dan bercakap-cakap. Sebelumnya, kami selalu berkegiatan di Rumah Komunitas Serikat Yesus di Kramat 6, Jakarta Pusat. Kini, Gropesh tidak memiliki tempat yang tetap untuk berkumpul. Dengan kondisi ini, Angel dan Novita mengakui, Gropesh menemui hambatan untuk melakukan kegiatan bersama, misalnya untuk kegiatan rutin seperti mendaur ulang sampah karena membutuhkan waktu lama.

Namun segala kesulitan yang dialami Gropesh, tidak menutup pintu mereka tetap berkarya bagi lingkungan. Bulan November ini, Novita dan Angel merencanakan pelatihan lingkungan hidup untuk lintas agama. “Karena kalau sudah isu lingkungan menyangkut semua orang yang hidup di bumi,” tutup Novita.

Karina Chrisyantia/Yola Salvia

HIDUP NO.39 2019, 29 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini