Hukum Kemanusiaan

825

HIDUPKATOLIK.com – Romo, saya melihat aparat seperti polisi dan tentara mengemban tugas negara kadang harus berperang dan membunuh musuh, bagaimana pandangan Gereja Katolik soal ini, khususnya saat Yesus bersabda, “Kasihilah musuhmu”?

Wira Jati, Cirebon

Gereja tentu tidak naif dengan realitas nyata kehidupan dunia ini. Acapkali terjadi konflik, bahkan juga perang. Perang memang tidak dikehendaki, namun kadang tidak bisa dihindari. Hal itu merupakan kenyataan dari kedosaan manusia. Prinsip dasar Gereja adalah senantiasa berusaha mencari jalan-jalan perdamaian, namun sering hal itu tidak mudah dibuat. Perdamaian membutuhkan kesabaran dan ketekunan jalan terjal, akan tetapi banyak orang tidak tahan, lalu terjebak lagi dalam kekerasan senjata. Hal ini baru saja terjadi di Kolombia, perdamaian yang diupayakan Vatikan gagal, kekerasan pecah lagi karena ketidaksabaran dan ketidakpuasan dalam menapaki jalan perdamaian.

Perdamaian bagi Gereja bukan terutama tidak ada perang. Namun juga memuat upaya untuk menjaga keseimbangan kekuasaan maupun situasi sosial, politik ataupun ekonomi. Oleh karena itu, adanya ketidakadilan, penindasan ataupun diskriminasi merupakan hambatan bagi perdamaian. Perdamaian tidak ada jika kesejahteraan pribadi, penghormatan akan hak-hak asasi manusia tidak dijamin, demikian Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS 78). Maka kita kenal Paus Yohanes Paulus II, bahkan kini Paus Fransiskus, sangat keras menyuarakan seruan untuk menghindari perang. Perang adalah kekalahan kemanusiaan, demikian ajaran Yohanes Paulus II. Perang menghasilkan kurban, terlebih mereka yang lemah, miskin dan tak berdaya, terutama anak-anak dan kaum perempuan, demikian Fransiskus.

Karena dunia nyatanya tidak ideal, maka Gereja pun harus berbicara pula dalam kenyataan yang realistis. Maka perang bisa terjadi. Kalau nyatanya terjadi perang, Gereja lalu berupaya untuk menghindari dampak buruk dari keganasan perang. Alasan yang paling mungkin adalah alasan pembelaan diri, setelah berbagai upaya untuk menghindarinya sudah secara maksimal diupayakan namun tidak berhasil. Akan tetapi katekismus Gereja Katolik menyebutkan syarat-syaratnya secara ketat: kerugian akibat serangan pihak lain sangat berat dan berlangsung lama, ada harapan akan keberhasilan, penggunaan senjata di dalamnya diharapkan tidak mendatangkan kerugian dan kekacauan yang lebih buruk (Kat 2243.2309).

Dari sini kita bisa melihat bahwa penggunaan senjata memiliki batasan yang ketat, jangan sampai digunakan sekadar demi kepentingan militer atau politik. Maka Gereja menentang keras perlombaan senjata dan perlucutan senjata perusak, termasuk senjata nuklir. Gaudium et Spes menyebutkan mereka yang mengabdi tanah air dalam angkatan bersenjata hendaknya menempatkan diri sebagai pelayan keamanan dan kebebasan rakyat, dan memperjuangkan tegaknya perdamaian (GS 79). Penggunaan senjata selalu didasarkan pada suatu alasan moral yang masuk akal. Oleh karena itu tidak dibenarkan penggunaan senjata untuk mengancam, menindas, apalagi mendiskriminasi demi kepentingan tertentu. Karena senjata itu mempunyai sifat merusak, maka penggunaannya harus lebih berhati-hati.

Dalam landasan ini Gereja memberi ruang, atas dasar suara hati, bagi tentara atau pun polisi untuk menolak perintah untuk menggunakan senjata (Kat 2311). Mereka kalau diminta melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia, berhak menolak perintah atasan. Norma hukum kemanusiaan perlu lebih diutamakan.

Sesuai dengan norma hukum kemanusiaan itu pula maka tawanan perang, dari pihak lawan, harus pula diperlakukan dan diperhatikan secara manusiawi. Mereka tidak bisa diperlakukan sebagai musuh. Oleh karena itu, penyiksaan atau pun pemeriksaan yang berlebihan diharapkan untuk dihindari. Dalam hal ini, Injil Matius memaparkan jelas perintah Yesus, “Cintailah musuh-musuhmu, dan berbuatlah baik kepada mereka yang membenci kamu, serta berdoalah mereka yang menganiaya dan memfitnah kamu” (Mat 5:43-44). Mendoakan musuh, juga mereka yang membenci dan menfitnah kita, itulah keutamaan Kristiani. Mereka yang dipandang berada di pihak lawan, terlebih penduduk sipil dan pengungsi akibat perang, harus dilindungi. Demikian dinyatakan dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja (Komp 504-506).

Yang dilawan, juga dengan senjata, adalah penindasan, penghancuran dan kesewenangan. Namun bukan pribadi manusia, pun yang berada di pihak lawan, yang dimusuhi. Oleh karena itu, hidup dan hak asasi mereka pun harus dilindungi dan dijamin, bahkan jika perlu dengan perlindungan senjata pula.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.39 2019, 29 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini