[vaticannews.va]Pengampunan Menyembuhkan
Elise pun hidup sebagai tunawisma. Ia mengais makanan dari tong sampah di jalanan. Ia mulai kecanduan alkohol dan narkoba. Ia sungguh terpuruk.
Pada 1994, Elise digelandang ke pusat rehabilitasi. Semua orang di tempat itu takut dengannya. “Jika ada yang mendekati, saya akan menendang. Jika saya melihat seorang pria, saya akan meludahinya. Yang saya tahu hanya kemarahan.”
Suatu ketika, Elise diajak masuk ke sebuah kapel untuk berdoa. Elise sempat memberontak dan marah. “Saya tidak tahu apa-apa tentang Tuhan dan berdoa. Bagi saya, gereja adalah tempat orang mati dibawa.”
Tapi tetiba Elise merasakan sesuatu yang lain. Ia merasakan ada “air segar” yang mengguyurkan seluruh raganya. Kedamaian membalut perasaannya. “Saat itu, saya tidak percaya. Ini mustahil,” kisah Elise. Tapi itulah yang terjadi. Elise merasakan sentuhan lembut Yesus di seluruh tubuhnya. “Saya seperti dilahirkan kembali,” imbuhnya. “Ketika orang menanyakan umur saya, saya selalu menjawab 25 tahun. Karena 25 tahun lalu, Yesus memberikan saya hidup baru, dan saya belajar berjalan dalam kasih-Nya.”
Hari berlalu, bulan pun berganti. Elise mulai meniti jalan hidup yang baru. Seorang imam menyarankan agar Elise membuka hati untuk mengampuni semua orang. Hanya pengampunan yang bisa menyembuhkan seluruh luka-luka di relung hatinya.
Itu tak mudah. “Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan kejahatan mereka yang telah melukai hati saya,” protes Elise.
Pada titik tertentu Elise berhenti. Ia menyadari hanya pengampunan yang bisa menyembuhkan semua lukanya. Pada titik yang lain, ia menemukan amarah yang selalu membuncah. “Itu proses yang panjang dan menyakitkan,” kenangnya. “Saya selalu berdoa di kapel. Menyebut nama-nama yang pernah menyakiti saya satu persatu. Saya berhasil memaafkan ibu saya, yang gagal mencintai dan membela saya dari pelecehan. Saya sadar, ia juga korban,” paparnya.
Hadir Mencinta
Kini, sudah dua dasawarsa, Elise mengabdikan seluruh pengalamannya tentang penderitaan untuk membantu para perempuan korban perdagangan manusia. “Saat pertama kali datang ke Malmskillnadsgatan, di mana para pelacur berkumpul, saya langsung terpanggil. Sepertinya memang Tuhan mengutus saya ke tempat ini,” ujarnya.
Elise hadir sebagai ibu bagi mereka, para pekerja seks komersial. Ia datang menghibur, mendengarkan, memberikan pelukan hangat, dan membagikan makanan, minuman, serta pakaian hangat kala musim dingin menerpa. “Bagi saya, hadiah terbaik adalah ketika saya bisa menyelamatkan seorang gadis dari kehidupan di jalanan. Saya ingin mereka merasa dicintai; bahwa mereka tidak sendirian,” katanya.
Medio Oktober tiga tahun silam, ketika Elise berusia 80 tahun, ia diundang berpidato di hadapan anggota Uni Eropa dalam peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia. Ia menekankan tanggung jawab negara untuk melakukan tindakan nyata melarang perdagangan manusia. Hampir semua anggota Uni Eropa menganggukkan kepala tanda setuju. “Saya menyimpulkan, Anda semua setuju. Kelak, saat saya berusia 90 tahun, saya akan datang lagi dan melihat apakah Anda sudah memenuhi komitmen ini,” tegas Elise.
Y. Prayogo
HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019
Kesaksian nyata yang sangat inspiratif seperti ini seharusnya diperbanyak, bukan hanya artikel yang berisi nasihat teoritis.