HIDUPKATOLIK.com – Hallo Romo Erwin, beberapa kali saya mendapat keluhan baik dari teman yang akan menikah maupun yang telah menikah. Mereka kaget sekaligus kecewa sebab ada beberapa paroki di Keuskupan Agung Jakarta yang memasang tarif untuk pemakaian Gereja. Mereka beralasan untuk biaya listrik dan lain-lain. Mengapa harus mematok tarif, bukan uang sukarela? Kalau mau hitung-hitungan, setiap minggu teman saya dan orangtua serta keluarganya selalu memasukkan kolekte, belum termasuk amplop persembahan yang sewaktu-waktu diedarkan. Seharusnya gereja bersyukur masih ada umat yang mau menikah di Gereja Katolik. Ada tarif untuk penggunaan gereja dan bunga dengan biaya mahal. Ada yang berencana untuk membeli dan merangkai bunga sendiri, atau bahkan tanpa rangkaian bunga sekalipun, ini kan memberatkan. Apakah hal ini tidak sempat dibahas di gereja-gereja tersebut? Mohon pendapat Romo.
Antonius Slamet, Jakarta
Bapak Slamet yang baik, jawaban saya ini pasti tidak mewakili apa yang akan dikatakan oleh setiap paroki yang Bapak maksudkan dalam pertanyaan ini. Saya akan mencoba sejauh yang dapat saya pikirkan dan renungkan mengenai biaya ini. Tentu saja perkawinan pertama-tama bukanlah soal bunga atau hiasannya, melainkan janji kedua pihak yang menikah itu, tetapi saya melihat ada sisi lain yang sedang perlu kita diskusikan bersama.
Perkawinan di Jakarta bukanlah hal yang sederhana. Menikah di Jakarta berarti siap untuk mengeluarkan biaya yang (barangkali) besar. Karena, semua di Jakarta harus dikerjakan oleh pihak-pihak yang nota bene adalah orang-orang yang perlu dibayar atau profesional. Jadi menikah pun perlu biaya. Apakah Gereja menjadi penghalang karena meminta biaya besar? Mohon tidak berkesimpulan dulu.
Jawaban saya ini bukanlah pedoman dalam menyelesaikan persoalan biaya perkawinan di gereja. Ini adalah semacam inspirasi dari saya. Di samping biaya tersebut, masih ada biaya persiapan perkawinan, seperti biaya mengikuti Membangun Rumah Tangga (MRT). Tentu saja ini dibuat bukan karena Paroki mencari uang, melainkan memang biaya itu benar-benar dikeluarkan oleh Gereja, seperti: konsumsi, materi/buku, dan listrik seperti yang Anda sebutkan. Apakah ini suatu bisnis? Seharusnya tidak, karena persiapan perkawinan adalah kewajiban yang berdasar hukum Gereja dan itu pasti membutuhkan biaya.
Sebelum berpikir, renungkanlah lebih dulu hal-hal duniawi yang senyatanya dibutuhkan. Janganlah berburuk sangka dengan pikiran bahwa mematok harga itu suatu bisnis gereja. Memang benar hal seperti ini juga bisa (saya katakan sebagai kemungkinan) terjadi, tapi hal itu semestinya dapat dipantau oleh dewan paroki dan pastor parokinya. Biaya perkawinan Rp.1 juta dirasa besar? Bukankah secara keseluruhan biasanya biaya itu memakan puluhan bahkan ratusan juta? Gereja juga pernah menyelenggarakan perkawinan masal yang minim biaya, tetapi itupun berbiaya. Tapi pasti tidak bisa selalu dilakukan karena setiap pasangan mau menikah secara privat bukan?
Cobalah membayangkan gereja kita yang harus dipelihara umatnya. Kebutuhan listrik, perawatan, karyawan, penyusutan properti, adalah kebutuhan aktual yang harus dibayar oleh umat sendiri. Meskipun demikian umat tetap boleh menyatakan keluhan serta keberatannya, jika dirasa itu amat “tidak masuk akal”untuk diwujudkan karena kesulitan ekonomi. Berbicaralah dengan pastor paroki tentang hal-hal yang mengganjal atau memberatkan.
Jika teman Anda biasa menyumbang gereja, mengapa sekarang merasa keberatan membiayai perkawinannya sendiri, sementara pasangan lain bisa membayarnya? Membangun hubungan yang baik dengan Gereja itu penting. Jika benar ada pihak yang dirugikan, berbicara dengan pihak paroki adalah hal yang tepat. Jangan langsung menghubungkan sumbangan atau kolekte dengan biaya perkawinan di gereja, sebab semua itu adalah untuk gereja kita sendiri.
Semoga sesudah ini, semua pihak boleh secara bijaksana berkeputusan terbaik agar semua perkawinan menjadi sukacita dan kebahagiaan semua pihak. Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019