Dia yang Mengutus, Memberi Kekuatan

632
Mgr Mandagi menerima kenang-kenangan berupa lukisan karikatur dari Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku Pendeta A.J.S.Werinussa (kiri), disaksikan Gubernur Maluku, Irjen. Pol. (Purn) Murad Ismail (paling kanan).
[Dok. Keuskupan Amboina]

HIDUPKATOLIK.com – Usianya sudah tinggi, 70 tahun. Langkahnya pun telah tertatih-tatih. Namun, ia menerima tanggung jawab sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke. Berikut ini penuturan tentang tugas barunya itu.

Saya datang ke Keuskupan Agung Merauke (KAMe) karena di sana ada masalah. Jikalau tak ada persoalan, tak mungkin Takhta Suci membebastugaskan Uskup Agung Merauke, Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC. Mgr Nico ada di Vatikan sekarang. Paus Fransiskus memintanya untuk mengikuti program bina lanjut (on going formation) di sana.

Empat hari saya berada di KAMe, saya akhirnya mengetahui pokok masalah yang terjadi di sana, yakni pola komunikasi dan relasi. Bila hal ini tak berjalan secara baik maka dapat menimbulkan gosip. Salah satunya mengenai penggunaan keuangan. Namun demikian, ketika masuk ke KAMe, saya cukup beruntung. Sebetulnya, Mgr Nico sudah mengelola keuangan keuskupan secara baik.

Mgr Nico mampu mengembangkan uang keuskupan yang didapat dari uskup terdahulu. Cuma barangkali Mgr Nico tak mengkomunikasikan kepada pastor. Dalam ekonomi ada dua hal penting yang harus ditaati: transparansi dan akuntabilitas. Kami harus jujur, terbuka, dan bertanggung jawab dengan uang umat. Dengan begitu, partisipasi umat untuk Gereja meningkat.

Dua imam yang dipecat Mgr Nico akibat konflik, saya angkat kembali sebagai imam. Mereka sudah berkarya seperti biasa sekarang. Saya berpesan kepada mereka agar jangan mengulangi kejadian yang lalu. Mereka juga manusia yang harus dihargai, dirangkul, dan diajak untuk berkomunikasi.

Dalam pertemuan dengan para imam, suster, dan tenaga pastoral awam, saya juga berpesan kepada mereka agar hidup damai. Sebab, kita adalah panutan bagi umat. Selain itu, salah satu inti Gereja adalah persaudaraan. Bila persaudaraan di dalam Gereja rusak, berarti uskup dan imamnya tak benar. Sebab, uskup dan imam ada untuk membangun persaudaraan. Dan persaudaraan merupakan keselamatan.

Pesan WhatsApp
Minggu, 4 Agustus 2019, sekitar pukul 09.00 WIT, saya selesai memimpin Misa di Gereja Katedral St Fransiskus Xaverius, Ambon . Begitu tiba di kamar, sebuah WhatsApp masuk ke telepon seluler saya. Pesan tersebut berasal dari Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr Ignatius Suharyo (pada 1 September 2019, Vatikan menunjuknya sebagai kardinal Indonesia).

WhatsApp Mgr Suharyo kepada saya mengatakan seperti ini, “Bapak Uskup, selamat pagi. Maaf kalau saya lancang. Dengan kepergian Mgr Saklil, saya pasti akan ditanya, siapa yang mampu dan rela diangkat sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke? Saya berpendapat, Bapak Uskup Mandagi yang pasti paling baik dan cocok untuk tugas itu. Atau, Bapak Uskup punya pandangan lain? Nanti sore saya diundang untuk ketemu Nunsio. Sekali lagi, maaf Bapak Uskup kalau saya lancang. Salam.”

Saya pun langsung membalas pesan Mgr Suharyo. Saya tulis seperti ini di WhatsApp, “Monsinyur Suharyo, selamat pagi juga. Tentu masih ada uskup lain yang lebih pantas. Namun, kalau demi pelayanan kepada Gereja Keuskupan Agung Merauke, dan Vatikan sungguh meminta saya, saya siap sedia, walaupun tidak gampang. Tentu saya punya banyak keterbatasan. Salam. Uskup Mandagi.”

Selang beberapa menit kemudian, Mgr Suharyo membalas pesan saya. Di aplikasi tersebut, ia mengatakan, “Bapak Uskup, terima kasih banyak. Saya sangat bersyukur. Tentu Nunsio sangat lega juga. Sejak kemarin, Nunsio bingung, telepon terus. Untuk Timika akan diusulkan Administrator Diosesan adalah Romo Vikjen Keuskupan Timika.”

Beberapa jam kemudian, Mgr Suharyo kembali mengirim WhatsApp kepada saya. “Bapa Uskup, saya sudah selesai bertemu dengan Nunsio bersama dengan Bapa Uskup Murwito. Beliau setuju untuk mengusulkan ke Vatikan. Bapak Uskup ditunjuk sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke. Kalau semua lancar, mungkin pengumuman akan kami sampaikan semua pada hari Rabu. Pasti semua mendukung Bapak Uskup.

“Monsinyur Suharyo, terima kasih. Semoga saya mampu. Esok malam dari Jakarta saya terbang dengan Garuda ke Timika untuk melayat (Mgr Saklil, Red). Tapi karena ada rapat Dana Pensiun KWI di Bali pada Kamis, saya langsung pulang pada Rabu pagi menuju Bali melalui Jakarta. Jadi, saya tidak akan mengikuti upacara pemakaman. Selamat malam. Salam Uskup Mandagi,” balas saya.

Mgr Suharyo masih membalas pesan saya malam itu. Ia mengatakan akan memberitahu terkait pengumuman resmi soal penunjukan saya sebagai Administrator Apostolik KAMe. Mgr Suharyo juga meminta saya agar tak terlalu lama untuk bertemu dengan Nunsio.

Rabu pagi, 7 Agustus 2019, Mgr Suharyo mengirim pesan kembali kepada saya. Dalam pesan singkat tersebut, ia menginformasikan bahwa dirinya telah berada di Timika dan akan mengumumkan penunjukan saya sebagai Administrator Apostolik KAMe berbarengan dengan Misa Requiem untuk Mgr Saklil. “Sudah dipastikan, nanti saat Upacara Pemakaman akan diumumkan Bapak Uskup ditunjuk sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke,” tulis Mgr Suharyo dalam pesan WhatsApp kepada saya.

Ingin Konsekuen
Saya tak terkejut dengan perutusan ini. Ini sudah biasa, tak ada yang namanya dadakan. Mengapa saya merasa seperti itu? Karena saya telah mempersiapkan diri untuk menyambut kematian. Bukankah kita mengamini bahwa kita takkan pernah tahu kapan kita meninggal? Selain itu, saya juga mempersiapkan diri untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepada saya.

Hal yang sama juga saya lakukan kepada para imam saya di Keuskupan Amboina. Dalam pengangkatan dan perutusan para pastor, saya tak ada pembicaraan dengan mereka. Kalau memang mau mengabdi tak usah banyak ngomong. Yah, sama dengan Yeremia ketika dipanggil Tuhan. Tak usah banyak alasan. Kalau Tuhan mengutus saya untuk pergi, maka saya harus pergi.

Sebagai seorang manusia biasa, tentu muncul pertanyaan dalam batin saya. Mengapa Tuhan mempercayakan saya? Padahal, tugas saya di Keuskupan Amboina banyak. Medan pastoral di keuskupan ini juga amat luas, antar pulau, karena itu disebut keuskupan kepulauan. Rupanya Tuhan menyanyangi saya. Dalam keberdosaan, keterbatasan, dan kekurangan saya, Dia masih mempercayakan saya dalam karya penyelamatan dunia.

Saya akui, sempat heran dengan penunjukan ini. Saya sudah tak muda lagi. Pada April lalu, saya genap berusia 70 tahun. Langkah kaki saya juga sudah pincang. Selain itu, biasanya, uskup yang menjadi administrator diambil dari keuskupan terdekat. Tapi, yang terjadi kali ini justru diambil uskup yang jauh dari keuskupan tersebut.

Tentu semua ini terjadi memiliki alasan. Apakah karena saya punya pengalaman menjadi provinsial? Apakah karena saya juga mengetahui Papua? Apakah karena saya sudah 25 tahun menjadi uskup sehingga dianggap berpengalaman? Apakah itu karena saya sempat mempunyai pengalaman dalam menyelesaikan masalah di Keuskupan Amboina?

Mungkin mereka berpikir saya sanggup. Tapi, saya sendiri tak tahu dan tak bisa menjawab, apakah saya mampu untuk itu? Yang ada di batin dan pikiran, saya cuma ingin melayani, mengabdi kepada Tuhan dan sesama. Saya ingin konsekuen dengan perutusan saya.

Bagi saya, Administrator Apostolik KAMe bukanlah jabatan. Ini merupakan panggilan Tuhan. Dia memanggil saya untuk terlibat dalam karya penyelamatan-Nya. Karena ini panggilan, saya ingin konsekuen dengan iman saya. Aneh bukan, seandainya kita mengaku sebagai orang yang taat kepada Tuhan, tapi menolak kalau Dia meminta kita untuk ambil bagian dalam karya-Nya. Itu berarti kita berpura-pura. Kita tak konsekuen.

Kegembiraan Pastoral
Bagi saya, dengan segala keheranan yang sempat terbesit kala itu, ini merupakan kegembiraan pastoral. Saya masih dipercaya Tuhan untuk mencintai Allah dan sesama. Karena itu, ketika menerima perutusan sebagai Administrator Apostolik KAMe saya tak pernah muram.

Tentu perutusan baru ini menguras tenaga dan perhatian. Lelah sudah pasti. Namun, saya yakin, Tuhan yang memanggil, mengutus, akan memberi kekuatan kepada saya. Seperti kata Rasul Paulus, dalam kelemahan, justru aku kuat. Karena rahmat Allah tetap ada bersamaku. (2 Kor. 12:9).

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini