Kardinal Baru Menyapa Orang Kecil

265
Mgr Ignatius Suharyo (tengah) saat memimpin Misa perayaan ulang tahun episkopal ke-20 di Katedral St Maria Diangkat ke Surga, Jakarta, 22/8.
[NN/Dok.HIDUP]

HIDUPKATOLIK.com – Penunjukan Mgr Ignatius Suharyo sebagai kardinal bertujuan agar suara Gereja dapat menyentuh masyarakat migran, orang miskin, dan minoritas.

Beberapa kali handphone milik Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo berdering. Pada Minggu, 1/9, pukul 11.30-12.30, sedikitnya 15 panggilan tak terjawab di handphone Uskup Agung Jakarta ini. Ada sebagian yang namanya tercatat, banyak pula nomor baru.

Panggilan tak terjawab itu belum dihitung jumlah WhatsApp yang pada intinya mengucapkan selamat atas terpilihnya sebagai kardinal. Ada yang menulis, “Bapak Uskup selamat atas terpilihnya sebagai kardinal.” Ada juga pesan untuk mengkonfirmasi tentang apakah betul Mgr Suharyo diangkat sebagai kardinal oleh Paus Fransiskus.

Setelah sekadar membaca pesan-pesan itu, ia tidak percaya, skeptis, dan mempertanyakan hoax dirinya sebagai kardinal. Ia juga tidak merespons ucapan selamat dari para romo, suster, awam, dan keluargannya sendiri. Baginya ini berita bohong sampai ada kebenaran.

Bukan Sekali
Isu dirinya menjadi kardinal tidak saja terjadi di tahun ini. Dua tahun sebelumnya, isu yang sama bergulir beberapa waktu ketika Kardinal Julius Darmaatmadja SJ memasuki masa-masa senja di Biara Emaus, Girisonta, Semarang Jawa Tengah. Hal ini membuat ia berpikir berita-berita ini tidak benar.

Di tahun ini, isu dirinya menjadi kardinal terjadi sejak Minggu pagi. Beberapa media Katolik menuliskan soal berita ini. Umat Katolik pun dengan bebas mengucapkan selamat dan membagikan berita yang belum dikonfirmasi itu. Laman facebook, instagram, dan media sosial lainnya ramai soal kardinal.

Berkat peran media sosial, melalui situs resmi berita Vatikan, kabar penunjukan itu menemui titik terang. Paus Fransiskus usai Doa Angelus di Lapangan St Petrus Vatikan, 1/9, ia mengumumkan 13 nama kardinal baru. Satu nama di antara adalah Mgr Suharyo.

Setelah pengumuman ini, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Piero Pioppo lantas menghubungi Mgr Suharyo lewat saluran telepon. “Usai mendapat telepon itu, saya yakin dengan benar bahwa saya dipilih Paus untuk melayani sebagai kardinal. Saya cukup berdebat lama, tetapi Nunsio selalu dengan refrennya, ‘ini demi Gereja Bangsa Indonesia’. Alasan ini membuat saya menerima tugas ini,” ujar Kardinal Suharyo.

Kardinal Suharyo melanjutkan, proses keterpilihan sebagai kardinal itu berbeda jauh dengan saat dipilih sebagai uskup. Saat menjadi uskup, butuh banyak permenungan dan masih ada hukum tawar menawar dengan bisa mengedepankan banyak pertimbangan seperti kesehatan, hidup rohani, moral, dan sebagainya. Tetapi penunjukkan sebagai kardinal benar-benar tanpa panggilan atau audiensi lebih dahulu dengan Mgr Pioppo sebagai wakil Paus di Indonesia. “Karena itu penunjukan ini saya tahu lebih lambat dari umat. Saya kurang update media sosial sehingga umat lebih cepat dari saya,” jelasnya.

Setelah penunjukan ini, Kardinal Suharyo mengakui tensinya naik beberapa hari. Ia juga mengatakan jujur belum menyiapkan apapun entah pakaian atau hal lain yang berkaitan dengan kedudukan sebagai kardinal. Karena ia percaya para uskup dan Nunsio akan membantu segala persiapannya nanti. “Kalau tensi naik, tandanya ada sesuatu yang masih kurang dalam diri saya yang harus saya olah. Ini penting untuk menghadapi ragam umat di Indonesia nanti,” ujarnya.

Pasrah dan Takut
Dua hari setelah berita itu, Kardinal Suharyo berkesempatan bertemu Mgr Pioppo. Dalam semangat persaudaraan, Kardinal Suharyo mengatakan dirinya pasrah. Selain itu ia secara terbuka mengakui ia “takut” bukan karena pekerjaannya yang bertambah, tetapi dalam arti takut tidak bebas mengatakan ya soal tanggungjawabnya.

Ketakutannya ini ia refleksikan dalam peribahasa Prancis, Noblesse Oblige, “Kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan mendatangkan tanggungjawab.” Ia memberi contoh soal sabuk kardinal yang berwarnah merah. Warna ini berarti berani. “Apakah saya sudah siap mati? Soal simbol bisa saja. Tetapi memberi diri seutuhnya perlu dipertimbangkan lagi sebagai manusia lemah,” ujarnya.

Kendati begitu, kelahiran Sedayu, Yogyakarta tahun 1950 ini mengatakan dirinya akan menerima tugas ini dalam semangat pelayanan. Sebab menjadi kardinal bukan soal jabatan dan kedudukan tetapi pelayanan. Dalam tugasnya kelak, Kardinal Suharyo akan menyampaikan suara Gereja kepada Takhta Suci sejauh dibutuhkan.

“Sebab saat ini ada dua institusi dari Indonesia yang berhak menyampaikan langsung kepada Paus soal Gereja Indonesia adalah Duta Besar Vatikan di Indonesia dan Duta Besar Indonesia di Vatikan dalam koordinasi dengan Sekretaris Vatikan Kardinal Pietro Parolin. Kardinal Parolin pernah memegang desk Indonesia sehingga banyak tahu tentang Indonesia. Saya akan berbicara dengan mengusulkan apa yang perlu kepada dua institusi ini,” jelas Kardinal Suharyo.

Duta Besar Indonesia untuk Vatikan, Antonius Agus Sriyono mengatakan kehadiran kardinal baru merupakan tanda percaya Vatikan untuk Indonesia umumnya dan umat Katolik secara khusus. Hal ini sekaligus juga menjadi penanda kepercayaan Takhta Suci terhadap Gereja Katolik Indonesia.

Secara politis, kata Agus, dampak pengangkatan seorang kardinal adalah modal sekaligus kekuatan spiritual Gereja Katolik dan bukan menjadi elemen kekuatan nasional yang dominan. “Apalagi di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti kita,” tambah Agus.

Migran, Miskin, dan Minoritas
Kardinal Suharyo ditahbiskan sebagai imam tahun 1976. Ia memperoleh gelar dalam Teologi Biblika dari Universitas Kepausan Urbaniana tahun 1981 dan menjadi Dosen Kitab Suci Fakultas Teologi Wedabakti, Yogyakarta. Tahun 19917, ia terpilih sebagai Uskup Agung Semarang.

Setelah 12 tahun menjadi Uskup Semarang, Kardinal Suharyo ditunjuk sebagai Uskup Koadjutor Jakarta tahun 2009. Sejak 2010, ia menggantikan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ sebagai Uskup Agung Jakarta. Sebelumnya, ia juga ditunjuk menjadi Uskup Ordinariatus Castrensis Indonesia (OCI) bagi TNI/POLRI tahun 2006.

Ia memilih moto tahbisan episkopalnya “Serviens Domino cum Omni Humilitate” yang berarti ‘Aku melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati’ (Kis. 20:19). Moto ini sebagai bentuk kerendahan hati sebagai keutamaan utama dia tas keutamaan hidup lainnya. “Semboyan ini bukan hanya mencerminkan keadaan diri saya, tetapi lebih merupakan cita-cita,” jelasnya.

Menurut Kardinal Suharyo, warna pemilihan kardinal kali ini menitikberatkan pada isu-isu global yang butuh perhatian khusus. Ada usaha untuk memberi tempat bagi mereka yang punya hati untuk para migran, orang miskin, dan minoritas. Tiga hal ini menjadi konsen Kepausan.

Kardinal Suharyo akan mengikuti konsistori kardinal di Vatikan pada 5 Oktober mendatang. Ini akan menjadi konsistori keenam Paus Fransiskus untuk pembentukan kardinal baru sejak pemilihannya sebagai Bapa Suci tahun 2013. “Keseharian saya tidak banyak berubah. Saya akan mengedepankan hidup rohani, mengadakan kunjungan-kunjungan umat, rapat, dan berpikir tentang kebijakan keuskupan, dan Konferensi Waligereja Indonesia.”

Di Indonesia, bila bertitik tolak dari jabatan Uskup KAJ, Kardinal Suharyo tidak punya kewajiban untuk terlibat lebih dalam soal keuskupan lain. “Tetapi saat ini saya sebagai kardinal, perlu hadir disetiap peristiwa Gerejawi besar di keuskupan lain, saya harus hadir karena ini kewajiban moral,” tutup Kardinal Suharyo.

Yusti H.Wuarmanuk

HIDUP NO.37 2019, 15 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini