Memerangi Api dengan Api

110
Paus Fransiskus pada Misa Pembukaan Sinode Amazon menerima kedatangan suku asli Amazon yang akan mengikuti Sinode pada Minggu, 6/10.
[Dok. Vatican News]

HIDUPKATOLIK.com – Kebakaran Hutan Amazon telah mengancam semua lini kehidupan. Sinode Amazon menjadi tanggapan resmi Gereja atas krisis ekologi yang sedang terjadi.

Dunia menyaksikan dengan ngeri ketika api ganas dengan lebih dari 80.000 titik wabah kebakaran baru memakan sekitar 906.495 hektar hutan hujan yang dihuni oleh setidaknya 10 persen dari keanekaragaman hayati yang terkenal di dunia dan membahayakan kehidupan dan mata pencaharian jutaan penduduk asli. Perhatian Gereja mengenai peristiwa ini ditunjukkan dengan dirilisnya sebuah dokumen kerja (Instrumen Laboris) tertanggal 17 Juni 2019 sebagai kerangka dasar untuk Sinode Amazon yang berlangsung sejak Jumat, 6 hingga 27 Oktober di Roma. Dalam sinode ini, para uskup akan membahas isu tidak hanya seputar liturgi tetapi menitik beratkan pada isu ekologi, secara khusus kerusakan lingkungan di Hutan Amazon dan hak-hak penduduk asli dengan tema “Jalan Baru untuk Gereja dan Ekologi Integral”.

Menanggapi kebakaran yang semakin mengenaskan, Paus Fransiskus pada hari Minggu, 6/9, memanggil sekitar 300 uskup dan peserta lainnya di sinode untuk menyalakan jenis api yang berbeda. Api yang menyelamatkan. Paus menyebutkan sebagai api “kehati-hatian yang berani” sebab bersumber dari Roh Kudus. “Yesus datang bukan untuk membawa angin malam yang lembut, tetapi untuk menyalakan api di bumi,” ia mengingatkan para peserta sinode pada hari Minggu dalam Misa untuk membuka acara selama sebulan itu.

Secara harfiah, Paus tampaknya akan memadamkan api dengan api.

“Api yang ditimbulkan oleh kepentingan yang menghancurkan, seperti api yang baru-baru ini menghancurkan Amazonia, bukanlah api Injil,” ujarnya. Paus melanjutkan, api Tuhan adalah kehangatan yang menarik dan mengumpulkan ke dalam persatuan. “Api itu diberi makan dengan berbagi, bukan dengan keutungan. Di sisi lain, api yang menghancurkan berkobar ketika orang hanya mempromosikan ide-ide mereka sendiri, membentuk kelompok sendiri, menghapus perbedaan dalam upaya membuat semua orang dan semuanya seragam,” tegas Paus.

Sinode ini turut menyoroti hak dan martabat sekitar 400 komunitas adat Amazon yang terancam. Kecaman Paus jelas dengan menyebut keserakahan sebagai bentuk baru kolonialisme. “Berapa kali pemberian Tuhan diperalat, bukan ditawarkan,” kata Paus. “Sudah berapa kali terjadi penjajahan daripada penginjilan!,” ujar Paus di hadapan para umat termasuk di dalamnya suku asli dari Amazon yang terlihat mengenakan hiasan kepala berbulu berwarna-warni seperti dilansir cruxnow.com, 6/10.

Kepada para uskup, Paus mengingatkan untuk menjadi gembala bukan birokrat. Ia juga mendesak agar api Roh tidak disiram oleh abu ketakutan dan kepentingan untuk mempertahankan status quo. Paus juga mengingatkan agar jangan memakai kunci yang sama yakni perkataan, ‘hal ini sudah pernah dilakukan’ agar kesempatan tidak hilang akibat mentalitas demikian. Dalam kunci itu, Paus memanggil para uskup untuk setia kepada kebaruan Roh yang ia definisikan sebagai kebalikan dari membiarkan segala sesuatunya berjalan tanpa melakukan apa pun.

Singkat kata, Paus Fransiskus menambahkan bahwa kebijaksanaan bukan hanya suatu kebajikan tetapi suatu keutamaan tata kelola. Bapa Suci mengutip perkataan Paus Emeritus Benediktus XVI yang menyatakan bahwa Gereja pada dasarnya adalah misionaris. Gereja selalu bergerak, menjangkau, dan tidak menutup diri. Tidak hanya itu, Paus juga menambahkan referensi dalam daftar para martir di wilayah Amazon merujuk pada rekomendasi salah satu dari tiga presiden sinode, Kardinal Claudio Hummes asal Brasil yang menyatakan bahwa mereka layak dikanonisasi.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.41 2019, 13 Oktober 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini