Terang di Ujung Gelap

309

HIDUPKATOLIK.com – Dengan penuh keragu-raguan kuambil lilin berstiker gambar Bunda Maria di kotak lilin yang selalu ada di rumah. Kami terbiasa menyimpan banyak lilin karena rumah kami sering ketempatan ibadat lingkungan. Beberapa di antara lilin itu berstiker gambar Bunda Maria dan gambar Yesus.

Sejak siang tadi Jakarta gempar karena listrik mati berjamaah. Si listrik ternyata mengajak serja teman-teman sejawatnya seperti PAM dan internet. Praktis banyak kegiatan terpaksa terhenti. Beruntung kami semalam sempat mengisi penuh bak penampungan air. Namun begitu, aku belum berani mencuci baju yang sudah menumpuk di bak cucian. Khawatir listrik akan mati sampai hari berikutnya dan kami tidak bisa mandi.

Di siang hari beberapa tetangga memang hanya mengeluhkan matinya PAM karena persediaan air mereka menipis atau matinya AC dan kipas angin yang menyebabkan udara menjadi semakin panas. Di rumahku, keluhan terbesar datang dari anak-anakku yang tidak bisa lagi berselancar di dunia maya. Komputer dan Hp beserta internet mati total. Akhirnya mereka hanya keluar masuk rumah karena bosan.

Masalah muncul menjelang sore hari. Kami masih berharap pada saatnya listrik menyala kembali. Harapan berubah menjadi kecemasan ketika rumah-rumah mulai diserang kegelapan. Tidak semua orang siap dengan kegelapan apalagi yang pu nya anak kecil. Kami yang terbiasa dengan terang benderang, jaringan internet, smart phone, air melimpah, AC menjadi uring-uringan, menangis, mengeluh, protes yang tidak berkesudahan.

Ternyata hanya beberapa orang yang memiliki emergency lamp. Sisanya mengandalkan lilin. Nah, di sinilah masalahnya, karena banyak yang mencari, lilin-lilin di warung, toko, dan terkuras habis. Banyak yang tidak kebagian. Harganya pun melonjak, meski demikian dibeli juga. Beberapa tetangga yang tahu sempat ke rumah minta lilin. Untung kami punya lilin polos tanpa gambar Yesus atau Bunda Maria jadi kami bisa berbagi tanpa canggung. Lilin polos sisa Paskah dan Natal.

Namun, sekarang aku harus bergulat dengan hati nuraniku sendiri. Tetangga depan rumahku tiba-tiba minta lilin juga. Sementara lilin yang polos sudah habis. Tinggal lilin berstiker Yesus atau Bunda Maria.

Aku menjadi teringat peristiwa tujuh tahun silam. Saat itu aku mendengar anak laki-lakiku yang baru berumur tujuh tahun memanggil sahabatnya sejak kecil, anak perempuan tetanggaku itu.

“Lia, main yuk!” ajak anakku.

“Nggak ah,” jawab Lia.

“Emang napa, dari kemarin-kemarin kamu nggak main.” Protesan aku.

Aku mengintip dan menguping pembicaraan mereka itu, kulihat sekilas raut wajah Lia yang sedih dan ragu menjawab dengan suara lirih, “Aku nggak boleh lagi main sama kamu.”

“Kenapa?” serang anakku.

“Kata mamahku, kamu Kristen, aku nggak boleh main sama anak Kristen,” jawab Lia lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah.

Aku penasaran dengan reaksi anakku. Mengertikah dia arti pembicaraan itu? Kulihat anakku dengan riangnya tetap memainkan legonya sendiri. Tanya sendiri, dijawab sendiri seperti seorang dalang. Jadi aku juga hanya diam. Tak lama dia bosan bermain sendiri. Alam sekejap aku mendengar suaranya dari gang bersama anak lain.

Sebelum tidur anakku melontarkan pertanyaan itu menghentakku dan tidak segera bias aku jawab.

“Bu, mengapa orang Islam tidak boleh bermain dengan orang Kristen?”

Sumpah, aku kelimpungan menjawabnya. Bagaimana menjelaskan kepada anak tujuh tahun tentang toleransi. Sementara di depan matanya sendiri dia mengalami intoleransi itu. Beruntung dengan bekal materi kuliah dulu dan berkegiatan di gereja aku bisa menjelaskan kepada anakku tentang baiknya semua ajaran agama dengan sesederhana mungkin. Untuk sementara, anakku bisa menerima tanpa harus membenci sahabatnya itu.

Tetanggaku itu memang orang yang tertutup. Jarang ngobrol dengan tetangga. Ikut arisan RT tetapi selalu hanya titip dan tidak pernah mau ketempatan. Keluar rumah hanya untuk kerja dan belanja. Kami memang masih saling menyapa. Namun, terlihat sebatas formalitas dan kelihatannya terpaksa.

Malam ini, di saat lampu padam kami semua keluar rumah. Duduk-duduk di gang perumahan kami. Kursi yang di rumah kami keluarkan. Kami ngobrol apa saja. Mulai dari susunan kabinet sampai mahalnya harga cabai. Malam itu kami semua sebagai pangamat yang sangat ahli dalam bidangnya. Kulihat Lia dan anakku juga ngobrol. Entah ngobrol tentang apa, sudah lama mereka tidak berbincang. Ternyata, di balik mati lampu membawa berkah tumbuhnya keakraban di antara warga.

Sampai akhirnya, Lia ingat ada PR dan harus selesai malam ini. Sementara mamanya tidak punya persediaan lilin. Katanya sudah berusaha mencari kemana-mana tetapi tidak dapat juga. Maka, mintalah beliau kepadaku.

Syukurlah lampu mati sehingga bias menyembunyikan kekagetanku, perubahan raut wajahku, dan kecemasanku. Aku hanya bisamen dengarkan suaranya berat seakan ada beban di hati. Keriangan ku saat berceloteh tentang susahnya merawat tanaman cabai mendadak musnah. Meski demikian aku tetap masuk rumah meng ambilkan lilin meski sebenarnya aku bias menjawab bahwa lilin kami sudah habis.

Kupandangi stiker Bunda Maria di lilin itu. Dalam hati aku berkeluh kepada Tuhan, “Tuhan, aku harus bagaimana? Aku masih teringat peristiwa itu saat anakku ditolak. Apakah ini saatnya aku membalas perlakuannya terhadap anakku? Bagaimana kalau gambar ini dinistakan?” Aku tidak bias menjamin.

Perang batinku semakin menjadi-jadi. Tanpa sadar kukelupas stiker itu pelan-pelan. Biar menjadi lilin sekadar lilin. Namun, entah mengapa, sebelum stiker terlepas mataku tiba-tiba seakan ditarik untuk melihat patung Bunda Maria di atas meja. Patung Bunda Maria gaya Jawa malam itu terlihat muram. Ada kekuatan untuk merekatkan lagi stiker agar kembali menempel. Kutarik napas dalam dalam mengisi ronggada daku yang sedari tadi kosong, lalu kuhembuskan napasku kuat-kuat sambil mengeja, “Dalam nama Yesus” kumantapkan membawa lilin itu keluar. Kusodorkan lilin itu kepada tetanggaku.

Dengan tersenyum diterimanya lilin itu, diamati gambarnya, lalu katanya, “Ini gambar ibunya Yesus ya Bu?”

“Ya … betul,” jawabku mantap.

“Cantik sekali ya. Jilbabnya juga menarik. Kapan-kapan aku pengen memakai jilbab yang seperti ini,” katanya lagi.

Tak ada lagi kata yang keluar dari mulutku sampai lilin itu menghilang ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian ada cahaya dari lilin di rumah tetanggaku itu. Lilin bergambar Bunda Maria. Bunda Maria doakanlah tetangga kami dan kami.

Emiliana Endang Ismijati

HIDUP NO.36 2019, 8 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini