HIDUPKATOLIK.com – Layanan rehabilitasi ini menjadi oase di tengah derasnya penyebaran narkoba yang mengancam generasi muda bangsa.
Tahun 2013, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) mengeluarkan Surat Gembala bertajuk Jadilah Pembela Kehidupan! Lawanlah Penyalahgunaan Narkoba! Surat Gembala ini ditandatangani Ketua Presidium KWI Mgr Ignatius Suharyo dan Sekretaris Jenderal KWI Mgr Johannes Pujasumarta. Dokumen yang diterbitkan usai studi para uskup seluruh Indonesia ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan yang mendalam atas semakin luasnya penyalahgunaan narkoba di negeri ini.
Poin terakhir dalam Surat Gembala ini menekankan pentingnya rehabilitasi. Gereja Katolik memandang bahwa para korban penyalahgunaan narkoba harus dirawat hingga pulih. Alih-alih hukuman penjara yang tidak menjadi pemecah masalah, upaya memulihkan korban sebaiknya diberikan di rumah rehabilitasi yang dikelola secara benar dan bertanggung jawab.
Dalam Surat Gembala inilah ditemukan keselarasan misi Badan Narkotika Nasional (BNN) dan karya kasih Gereja Katolik agar pengguna narkoba dilayani dan direhabilitasi dengan pendampingan medis, psikologis, dan rohani. Kongregasi Suster-suster Santo Yosef (KSSY) Medan tergerak mewujudkan pesan tersebut dengan mendirikan Pusat Perawatan dan Pemulihan Adiksi Narkoba “Rumah Kita”. Layanan rehabilitasi ini menjadi oase di tengah derasnya penyebaran narkoba yang mengancam generasi muda bangsa.
“Rumah Kita” diresmikan oleh Uskup Agung Medan Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap pada 28 Oktober 2014. Prosesi peresmian disaksikan sang penggagas, Suster Ignasia Simbolon KSYY serta sejumlah pejabat pemerintahan. Termasuk di antaranya perwakilan BNN Sumatera Utara.
“Kita bersyukur karena Kongregasi KSSY mampu menanggapi keprihatinan di tengah zaman dengan membuka karya baru Pusat Perawatan dan Pemulihan Adiksi Narkoba yang bukan merupakan karya warisan dari para pendiri kongregasi. Semoga karya ini menjadi suatu tempat damai, dan membuka mata lebih jernih, demi perkembangan Kerajaan Allah melalui karya-karya pelayanan mereka,” ungkap Mgr. Anicetus saat itu.
Tanda Kehadiran
Sebagaimana disampaikan Mgr. Anicetus, yakni karya yang memulihkan wajah dan citra Allah, hadirnya Pusat Perawatan dan Pemulihan Adiksi Narkoba “Rumah Kita” merupakan tanda kehadiran Gereja Katolik bagi keluarga yang ditimpa masalah candu narkotika. Masyarakat tidak lagi sendiri dalam memulihkan para anggota keluarganya yang menjadi korban adiksi narkoba.
Suster Ignasia Simbolon KSYY mengatakan visi pusat rehabilitasi ini adalah mewujudkan penghargaan kepada setiap orang sebagai citra Allah dengan ikut serta merawat dan mendampingi khususnya mereka yang menjadi korban akibat penyalahgunaan narkotika.
Suster Ignasia menambahkan, walaupun mengusung lembaga Katolik, “Rumah Kita” tidak dimaksudkan untuk kepentingan satu agama tertentu. “Meski pusat pemulihan ini dibawah naungan Katolik namun semua lintas denominasi agama dan adat bisa dirawat di sini karena yang kami lakukan adalah pelayanan kasih, bukan pengembangan agama,” jelasnya.
Mantan Direktris “Rumah Kita”, Suster Beatrix Lingga KSSY mengatakan, “Rumah Kita” menerapkan Therapeutic Community (TC) atau terapi komunitas untuk memulihkan dampak candu narkoba. “Dengan TC, tidak hanya “Rumah Kita” namun seluruh pihak dilibatkan untuk menyembuhkan residen (korban candu narkoba yang dirawat) serta keluarganya,” ujarnya.
Suster Beatrix mengakui, upaya menyembuhkan pecandu narkoba kerap disulitkan oleh sikap keluarga yang malu mengakui bahwa salah seorang anggotanya telah terjerumus dalam penggunaan narkotik hingga taraf kecanduan. “Pusat rehabilitasi ini tidak hanya menerima residen yang terkena dampak narkoba secara fisik, namun juga orang yang mengalami gangguan jiwa atau psikis,” ujarnya.
Menjadi Sahabat
Konsultan dalam pendirian “Rumah Kita” Pastor Lambertus Somar MSC yang juga mendirikan panti rehabilitasi narkoba Kedhaton Parahita di Sukabumi, Jawa Barat turut menyampaikan keprihatinannya yang serius dalam penanganan adiksi narkoba. “Sungguh mengkhawatirkan. Karena seperti terbiasa dengan isu narkoba. Kita mengira ini masalah yang biasa, sebab selama ini hanya melihat ekornya saja. Kita masih belum melihat seluruhnya. Bagian yang dapat menghancurkan keluarga kita, dan bangsa kita,” katanya.
Direktris “Rumah Kita”, Suster Yovita Situmorang KSSY mengatakan, pihak “Rumah Kita” telah merancang agar dalam satu tahun, residen bisa pulih. “Tapi program ini belum tentu juga ampuh bagi semua residen. Walaupun sebagian besar sudah bisa sembuh dari kecanduan narkoba. Tantangan itu selalu datang, tergantung dari yang kami bina,” tuturnya.
Meskipun menghadapi tantangan yang tak mudah, Suster Yovita mengaku senang dipercaya dalam pelayanan di “Rumah Kita”. “Saya senang bisa bersama-sama dengan mereka. Mencoba merangkul mereka. Yang paling menggembirakan saya, ada residen yang sudah sembuh dan berhasil merintis karier yang baik. Termasuk satu di antaranya ada yang menjadi staf di “Rumah Kita,” katanya. Menurutnya, mereka bisa bertahan karena tidak dikurung, tetapi dikasih kepercayaan, yakni, dengan menjadi sebagai sahabat bagi mereka.
Head Program “Rumah Kita”, Suster Priska Simbolon KSSY mengaku dirinya bersama dua suster KSSY sebelumnya telah menjalani masa magang selama tiga bulan di Kedhaton Parahita. “Kami magang mulai Februari hingga Mei 2014. Setelah tiga bulan, kami membenahi fasilitas di “Rumah Kita”. Posisi saya, awalnya sebagai staf di sini. Dalam perjalanan waktu, saya bertugas sebagai konselor. Sekarang bertugas sebagai Head Program,” ujar biarawati asal Pangururan, Samosir ini.
Dalam pendidikan yang diperoleh semasa magang, Suster Priska mengakui, pertahanan terbesar dalam mencegah penyalahgunaan narkoba adalah keluarga. “Inilah sebabnya proses rehabilitasi di “Rumah Kita” dirancang penuh nuansa kekeluargaan. Kami tidak pernah memanggil mereka residen, tapi family. Sementara para konselor dipanggil bro untuk laki-laki dan sister untuk perempuan,” ujarnya.
“Rumah Kita” menerapkan metode penanganan rehabilitasi narkoba berbeda. “Pastor Somar sejak awal menganjurkan agar kami tidak meniru seluruhnya metode Kedathon. Karena karakteristik masyarakat di Sumatera berbeda. Masyarakat kita dikenal akrab dengan kebiasaan minuman beralkohol dari arak tradisionil,” jelas Suster Priska
Saat membuat nama rumah rehabilitasi tersebut, Pastor Somar juga memberi masukan agar tidak mengambil nama santo atau santa. “Jangan membuat nama yang kudus-kudus. Karena kita kan nasional. Orang yang ke sini tidak hanya Katolik,” ungkap Suster Priska mengutip Pastor Somar.
Suster Priska mengisahkan, saat gedung ini diberdayakan PSE Caritas KAM, rumah rehabilitasi ini sudah diberi nama Rumah Kita. “Kami memohon izin tetap menggunakan nama tersebut, dan mereka mengamini ini rumah kita. Semua orang diterima di sini,” imbuhnya.
Ananta Bangun
HIDUP NO.36 2019, 8 September 2019