Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) : Jangan Berhenti di Mimbar

439
Tigor Nainggolan (ketiga dari kiri) bersama tim Fakta menggugat Gubernur DKI Jakarta terkait polusi udara di Jakarta.
[HIDUP/Karina Chrisyantia]

HIDUPKATOLIK.com – Kehadiran Fakta tidak sekadar sebuah lembaga swadaya masyarakat tetapi menjadi teman seperjuangan bagi yang tersinggkir.

Suatu malam seorang teman menelepon Azaz Tigor Nainggolan, yang akbrab disapa Tigor. Sang penelepon berprofesi sebagai pemulung. Malam itu, malang bagi pemulung itu mobil yang disewanya menyerempet sebuah mobil mewah hingga lecet. Tidak terima, sang pemilik mobil meminta ganti rugi. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya sangat besar sulit bagi si pemulung untuk membayarnya.

Karena tidak mampu membayar, Tigor membantu temannya dan berbicara kepada pemilik mobil. “Saya tanya, punya asuransi tidak, dia bilang punya. Nah, kalau punya ya sudah diklaim saja. Saya kasih pengertian bahwa teman saya pemulung. Dia pun perlu perjuangan untuk bisa menyewa mobil. Tapi bapak tersebut masih saja ngotot untuk minta ganti rugi,” ungkap Tigor.

Setelah berdebatan yang alot, akhirnya sang pemilik mobil mengurungkan niat untuk meminta ganti rugi kepada pemulung tersebut.

Cerita tersebut adalah salah satu kasus dari sekian banyak kasus yang pernah ditangani oleh Tigor yang sudah 30 tahun berkecimpung di bidang advokasi.

Dari hasil refleksinya, Tigor menyimpulkan bahwa “barang siapa yang berkuasa berhak menindas yang lemah”. “Dari pengalaman saya dan beberapa teman, kebijakan tidak pernah berpihak kepada yang miskin. Anggapannya orang miskin mudah ditawar.

Maka dari itu, Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) berusaha membantu warga miskin untuk mengorganiasi diri sehingga dapat bargain,” jelas Tigor saat ditemui di Kantor Fakta, di Cipinang Muara, Jakarta Timur, 6/8.

Forum Kebenaran
Forum Warga Kota Jakarta disingkat Fakta dibentuk pada 30 Mei 2000 oleh penggiat Hak Asasi Manusia yakni, Azaz Tigor Nainggolan, Tubagus Haryo Karbyanto dan Ari Subagyo. Sebelumnya mereka berkarya di Institut Sosial Jakarta (ISJ), lembaga sosial milik Serikat Yesus. Seiring berjalannya ISJ dibubarkan. Tigor dan kedua temannya yang tadinya sudah sering bekerja sama, akhirnya membangun sebuah kerjasama yang lebih formal.

Terbentuknya Fakta bukan hanya melanjutkan apa yang sudah mereka lakukan di ISJ tetapi keprihatinan terhadap warga miskin yang mendapatkan ketidakadilan. “Kenapa disingkat Fakta karena kami hendak menyuarkan kebenaran dan itu Fakta. Apalagi untuk orang miskin. Fakta orang miskin selalu ditutupi,” ujar Tigor.

Kasus pertama kali yang dihadapi Fakta, Tigor menambahkan, soal penggusuran di Jakarta tahun 2002. Saat itu, Fakta, yang masih berlokasi di Rawamangun, membantu warga sekitar mengadu ke Komnas HAM. Namun sayang, tidak direspons. Kemudian Fakta menggunggat kasus penggusuran termasuk pelangaran HAM yang dilakukan oleh Konmas HAM ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. “Dan kami menang. Setelah diputuskan oleh PN, Konmas HAM diminta melalukan advokasi dan pendataan para korban,” ungkap Tigor.

Selain gugatan publik, Fakta turut mengintervensi pembuatan kebijakan pemerintah. Tigor mengatakan bahwa Fakta juga dilibatkan oleh Kementerian Perhubungan dalam menyusun kebijakan transportasi online. Saat itu, Fakta mendorong agar pemerintah membuat regulasi tentang penggunaan sepeda motor untuk kepetingan umum. “Ini menjadi regulasi untuk ojek online pertama kali. Hanya Indoneisa yang punya,” ujarnya.

Dalam misi yang diebannya yakni membantu yang bekekurangan di dalam menyediakan bantuan advokasi, Tigor mengakui, Fakta tidak memungut biaya sepersen pun. “Kami pasti sediakan lawyer kemudian kami bimbing sampai meja hijau dan semua itu tidak bayar. Kami memang memberi bantuan hukum, prodeo,” ujar Tigor.

Namun ada beberapa pihak yang mungkin tetap mengeluarkan biaya. Seperti dua tahun lalu, Tigor mengungkapkan, Fakta diminta Mgr Ignatius Suharyo untuk membantu Rumah Sakit Elizabeth, Bekasi yang terkena kasus vaksin palsu.

Pengelolaan Profesional
Sejak berdiri, Fakta memiliki sistem dan pengelolaan layaknya sebuah kantor pada umumnya. Fakta memiliki tiga divisi, yakni Divisi Advokasi dan Ligitasi, Divisi Informasi danDokumentasi dan Analisis, Divisi Pengorganisasian dan Pendidikan, serta didukung oleh sekretariat dan keuangan.

Dari divisi tersebut, Fakta berkarya dalam berbagai bidang. Salah satu contohnya tugas yang dilaksanakan Divisi Pengorganisasian dan Pendidikan yakni memeberikan pendidikan informal untuk komunitas-kominutas yang dikampung seperti membuat kerajinan tangan untuk dijual. Selain itu, Divisi Informasi, Dokumentasi, dan Analisis yang bertugas mendokumentasi semua data dan melakukan social campaign. Juga, membuat analisis yang kemudian disampaikan ke divisi legistasi. Divisi Legistasi sendiri berperan dalam menjadi lawyernya orang miskin atau korban pembangunan dan mengajukan gugatan publik. “Lewat Divisi Ligitasi ini juga membantu memberikan masukan bagi pemerintah jika membuat kebijakan baru dan akan melibatkan perwakilan warga,” kata Tigor.

Melalui Fakta, Tigor ingin membuktikan bahwa kerja sosial, kerja kemanusian haruslah profesional pengelolannya. “Ya karena harus bisa melayani dengan baik. Dan melayani dengan baik itu perlu sistem,” tambahnya. Bagi Tigor, kerja sosial bukan tergantung pelakunya. Tetapi harus profesional. Jika memang prihatin dengan orang miskin membantunya juga harus maksimal.

Untuk dana operasional kantor, Tigor menjelaskan, Fakta mendapatkan dukungan dari beberapa pihak. Seperti kantor yang mereka singgahi sekarang adalah hasil sumbangan dari Keuskupan Tokyo. Kemudian jika ada studi atau kajian, hasilnya akan diberikan ke kantor. Terkadang pula, Tigor dan beberapa teman mendapatkan kasus komersial. “Semua pendapatan dikontribusikan ke kantor karena mengerjakannya ya bersama orang kantor,” jelas Tigor. Seperti yang diungkapkan Tigor juga, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) pun turut mendukung keberadaan Fakta.

Belajar Jadi Korban
Berproses selama 19 tahun, Fakta adalah salah satu lembaga yang menghidupkan nafas Gereja yakni berpihak kepada orang yang lemah, miskin dan tersingkir. Tetapi tentu saja hal ini bukan sekadar membalikan telapak tangan. Fakta sempat dirundung situasi yang tidak mengenakan saat mengadvokasi beberapa kasus. Ada bersama orang-orang terpinggirkan, menjadikan Fakta sasaran bully. “Kena teror, didatangi preman, sempat juga mobil saya dijambret,” ujar Tigor. Namun ternyata tantangan tersebut malah menjadi kekuatan bagi Fakta. Kekuatan bertahan.

Seperti yang diungkapan Tigor, Fakta dikuatkan dari sosok Yesus sendiri. Tigor mengambil contoh kisah Yesus memberi pengampunan terhadap wanita yang berzina yang hendak dilempari batu. Saat itu Yesus berkata kepada ahli Taurat dan orang-orang Farisi, barangsiapa yang tidak berdosa, boleh menjadi yang pertama melemparkan batu. Menurut Tigor, ada yang mau diubah oleh Yesus. “Yesus bukan sekadar mengamankan wanita itu dari penganiayaan. Tapi dia mau ada perubahan cara pandang dan perilaku orang sekitar. Sampai Ia disalib pun, Ia mau bangun perubahan. Dari berdosa menjadi tidak berdosa,” tutur Tigor.

Karena aktivitas keseharian yang dijalani Fakta ini, tak heran lembaga ini menjadi tempat magang bagi siapa saja yang ingin menegtahui bagaimana melayani orang miskin, mengatvokasi orang miskin. Pastor Emanuel Siki contohnya, imam Keuskupan Atambua, saat ini berada di Fakta di sela-sela menyelesaikan pendidikan hukum di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Tigor berharap, Gereja lebih serius menggarap bidang advokasi. Dengan begitu, Gereja langsung bersinggungan dengan masyarakat. “Option for the poor jangan berhenti dimimbar, tapi harus dilakukan,”pungkasnya.

Sudah sejak lama, kantor Fakta berada di Pancawarga IV Jakarta Timur. Gambaran masyarakat di sekitar kantor itu menunjukkan kepada siapa merak berpihak. Keperpihakan itu juga terlihat dari gunggatan mereka kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada Senin, 5/8 lalu. Isi gugatannya berkaitan dengan kualitas udara di Jakarta.

Karina Chrisyantia

HIDUP NO.35 2019, 1 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini