Inilah Wajah Kardinal yang Akan Dilantik Bersama Kardinal Suharyo Hari Ini

1021
Paus Fransiskus menyambut para peziarah ketika ia tiba untuk audiensi umum di Lapangan Santo Petrus di Vatikan 25 September 2019. (Foto CNS / Media Vatikan)

HIDUPKATOLIK.COM— Pada bulan lalu, Paus Fransiskus telah mengumumkan rencananya untuk menunjuk 13 kardinal baru untuk Konsuler Publik Biasa 2019 yang akan dilantik pada 5 Oktober. Pemilihan 13 kardinal baru ini berdasarkan pada penilaian atas gerak pelayanan yang mencerminkan komitmen untuk melayani komunitas-komunitas gereja lokal yang terpinggirkan.

Penunjukan para kardinal tahun ini mengungkapkan misi Paus lebih lanjut untuk mendiversifikasi Kolegium Para Kardinal: Para uskup berasal dari 11 negara yang berbeda dan mewakili berbagai ordo keagamaan, termasuk Serikat Yesus.

Artikel ini disusun berdasarkan profil kardinal yang diterbitkan oleh Catholic News Service.

Uskup Álvaro Ramazzini Imeri (Guatemala), 72, Uskup Huehuetenango

Uskup Alvaro Ramazzini Imeri dari San Marcos, Guatemala,
(CNS / Mary Knight)

Uskup Álvaro Ramazzini Imeri lahir pada 16 Juli 1947 di Guatemala City. Dia ditahbiskan saat berusia 24 tahun, mendapatkan gelar doktor dalam hukum kanonik di Universitas Kepausan Gregoriana di Roma dan melayani sebagai rektor seminari di Seminari Tinggi Guatemala.

Pada tahun 1988, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Mgr Ramazzini sebagai uskup keempat San Marcos sebelum ia dipindahkan ke Keuskupan Huehuetenango pada 2012, di mana karyanya berfokus terutama pada migran dan hak-hak masyarakat adat.

Mgr Ramazzini dikenal telah mengembangkan reputasi untuk mengecam ketidakadilan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan pemerintah Guatemala, dan secara konsisten telah memberdayakan orang miskin dan terpinggirkan untuk melawan penindasan.

Para umatnya percaya bahwa menjadi kardinal akan memperkuat suara Kardinal Ramazzini untuk menyelesaikan masalah keadilan sosial di wilayah tersebut.

Uskup Agung Cristóbal López Romero, S.D.B. (Spanyol), 67, Uskup Agung Rabat, Maroko

Uskup Agung Cristóbal López Romero memberi berkat Angelus di Rabat, Maroko, 31 Maret 2019.
(CNS / Paul Haring)

Uskup Agung Cristóbal López Romero lahir di Vélez-Rubio, Spanyol, pada 19 Mei 1952. Ia bergabung dengan Salesian Don Basco pada tahun 1964 dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1979.

Minat besarnya pada pengetahuan tampak jelas dalam latar belakang akademisnya; sebagai seorang seminaris, Mgr Romero belajar filsafat dan teologi selama tujuh tahun, dan memperoleh gelar dalam Ilmu Informasi dari Universitas Otonom Barcelona pada tahun 1982.

Sebelum paus menunjuknya sebagai Uskup Agung Rabat pada tahun 2017, Mgr Romero mengabdikan dirinya untuk pelayanan pastoral di Amerika Latin, khususnya di Paraguay, di mana ia bekerja sebagai komisi kepemudaan, pastor paroki, guru komunitas dan misi.

Dia juga menjabat sebagai kepala komunitas Salesian di Maroko, Paraguay, Bolivia, dan Spanyol.

Komitmen Uskup Agung Romero terhadap pelayanan pastoral, serta upaya diplomatiknya untuk membangun hubungan baik antara para pemimpin agama Kristen dan Muslim di Maroko, disinyalir telah mengilhami pengangkatannya sebagai kardinal.

Uskup Eugenio dal Corso, PSDP (Italia), 80, Uskup Emeritus Benguela

Uskup Eugenio dal Corso lahir di Lugo di Valpantena di Grezzana, Italia, pada 16 Mei 1939. Mgr dal Corso masuk sebagai salah satu dari tiga kardinal yang telah berusia 80 tahun sehingga membuatnya kehilangan hak untuk dicalonkan sebagai calon Paus kelak.

Panggilan religius tampaknya telah memanggilnya sedari awal dalam perjalanan hidupnya; ayahnya menamainya Eugene untuk menghormati Paus Pius XII.

Setelah penahbisannya pada tahun 1963, Mgr dal Corso melanjutkan studi dogmatik di Roma sebelum pindah ke Argentina pada tahun 1975 untuk mendidik para imam di Keuskupan Gregorio de Laferrere. Setelah melayani selama 11 tahun di negara Amerika Selatan, ia dikirim ke ibukota Angola, Luanda, tempat ia mendirikan seminari di Keuskupan Uije.

Dia ditahbiskan menjadi uskup pada tahun 1996 oleh Paus Yohanes Paulus II dan melayani Keuskupan Saurimo sampai penunjukannya tahun 2008 sebagai uskup Benguela. Meskipun telah pensiun sebagai uskup Benguela pada Maret 2018, kardinal baru ini masih tetap aktif bekerja dengan orang miskin di Afrika selatan di area yang kaya minyak.

Uskup Agung Fridolin Besungu, OFMCAP (Republik Demokratik Kongo), 59, Uskup Agung Kinshasa

Uskup Agung Kongo, Fridolin Ambongo Besungu dari Kinshasa, merayakan Misa Malam Natal di katedral di Kinshasa.
(CNS / Baz Ratner, Reuter)

Uskup Agung Friodlin Besungu dilahirkan dalam keluarga penyadap karet di Boto pada 24 Januari 1960. Ia bergabung bersama Ordo Saudara Dina Kapusin pada tahun 1981 dengan mempelajari teologi di Akademi Alfonsianum Roma.

Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1988, Besungu ditahbiskan dan menjadi superior dan wakil provinsi dari provinsi-provinsi Kongo. Ia juga mengajar teologi di Fakultas Katolik Kinshasa dan Institut Mazenod.

Pada tahun 2004, ia diangkat menjadi uskup Bokungu-Ikela dan Administrator Kerasulan Kole, menjadi uskup agung Mbandaka-Bikoro pada November 2016 dan Uskup Agung Kinshasa pada Desember 2018 setelah sembilan bulan melayani sebagai co-direktur Kardinal Laurent Monsengwo Pasinya. Asosiasi Katolik mengatakan bahwa kardinal baru Kongo akan menggunakan posisinya untuk menyoroti masalah-masalah Afrika, sembari membawa  isu keprihatinannya selama ini terkait hak asasi manusia ke panggung internasional.

Uskup Agung Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, (Indonesia), 69, Uskup Agung Jakarta

Uskup Agung Jakarta dan Uskup Ordinariat Militer Indonesia Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo saat ditemui di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Cut Meutia Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 9/11. (Dok. HIDUP)

Uskup Agung Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo lahir pada 9 Juli 1950 di Sedayu, Indonesia, dekat kota Yogyakarta.

Ia ditahbiskan pada tahun 1976 di Semarang. Pada tahun 1997, ia ditahbiskan menjadi uskup dan melayani sebagai Uskup Agung Semarang sebelum ia dipindahkan ke Jakarta sebagai koajutor pada tahun 2009.

Pada tahun 2016, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) membentuk komisi keadilan dan perdamaian untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang terpinggirkan di ibu kota Indonesia, sebuah pencapaian besar bagi Gereja Indonesia.

Mgr Suharyo juga merupakan anggota Kongregasi Evangelisasi untuk Bangsa-Bangsa dan melayani sebagai uskup untuk umat Katolik di Lingkungan TNI/POLRI atau Ordinariatus Castrensis Indonesia (OCI). November lalu, ia terpilih kembali sebagai Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya; ia akan memimpin KWI sampai 2021.

Baru-baru ini, Uskup Agung Jakarta ini mendesak kesadaran lingkungan di Indonesia untuk keseriusan penanganan masalah limbah plastik.

Uskup Agung Jean-Claude Hollerich, SJ (Luksemburg), 61, Uskup Agung Luksemburg

Uskup Agung Jean-Claude Hollerich, SJ
(Oliver LPB/Wikimedia Commons)

Uskup Agung Jean-Claude Hollerich lahir pada 9 Agustus 1958, di Differdange, Luksemburg. Ia belajar  di Universitas Kepausan Roma dan bergabung dengan Ordo Serikat Yesus pada tahun 1981, melayani novisiatnya di Belgia. Sejak tahun 1985-1989,  ia belajar bahasa Jepang di Universitas Katolik Sophia di Tokyo, sebelum ditahbis di Brussels pada April 1990.

Paus Benediktus XVI mengangkatnya menjadi Uskup Agung Luksemburg, dan ditahbiskan pada Oktober 2011. Ia menjabat sebagai Presiden Konferensi Komisi Keadilan dan Perdamaian Eropa (2014-2018), dan ketua Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Eropa yang berbasis di Swiss.

Terpilih sebagai Presiden COMECE pada bulan Maret 2018, Mgr Hollerich telah mendukung pekerjaan lembaga-lembaga Eropa dan mendukung Uni Eropa (UE), di saat yang sama turut mendesak reformasi UE dan keterbukaan yang lebih besar terhadap dialog.

José Tolentino Calaça de Mendonça (Portugal), 53, uskup agung, Kepala Arsiparis dan Pustakawan Gereja Suci Roma

Uskup Agung José Tolentino Calaça de Mendonça (ANTÓNIO0196/Wikimedia Commons)

Uskup Agung José Tolentino Calaça de Mendonça lahir pada 15 Desember 1965 di Machico, sebuah kota di pulau Madeira di lepas pantai Portugal. Pada tahun yang sama saat Kardinal Mendonça ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1990, ia menerbitkan volume puisi pertamanya, Os Dia Contados (“The Days Counted”).

Sejak penahbisannya, ia telah menulis beberapa esai, koleksi puisi, panduan spiritual dan enam buku tentang kehidupan Kekristenan, dan telah menerima beberapa penghargaan sastra dan hadiah atas upayanya.

Mgr José Mendonça meraih gelar master dalam Ilmu Biblika di Institut Kepausan Alkitab di Roma pada tahun 1992 dan dianugerahi gelar doktor dalam Teologi Biblika dari Universitas Katolik Portugeu (U.C.P.) pada tahun 2004.

Sepanjang panggilannya, kardinal Portugis yang baru ini telah memegang berbagai posisi di akademi, termasuk dosen di seminari Funchal, rektor Pontifical Portueguse College di Roma, wakil rektor dan Dekan Fakultas Teologi di U.C.P.

Pada tahun 2018, paus menunjuknya sebagai arsiparis dan pustakawan Gereja Suci Roma  di Vatikan dan mengangkatnya sebagai Uskup Agung Suava.

Uskup Agung Juan de la Caridad García Rodríguez (Kuba), 71, Uskup Agung San Cristòbal de Havana

Uskup Agung Havana Juan Garcia Rodriguez
(CNS photo/Paul Haring)

Uskup Agung Juan de la Caridad García Rodríguez lahir pada 11 Juli 1948 di Camagüey, Kuba.

ia ditahbiskan pada tahun 1972 setelah menghadiri seminari di Havana. Ia adalah kardinal baru yang masuk dalam kelompok imam Kuba pertama yang mendapat pendidikan sepenuhnya di Kuba.

Pada tahun 1997, Mgr Rodríguez diangkat sebagai Uskup Auksilier Camagüey, lalu diangkat menjadi uskup agung pada tahun 2002 dan kemudian menggantikan Kardinal Jamie Lucas Ortega y Alamino sebagai Uskup Agung Havana pada tahun 2016.

Ia telah menjadi anggota Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian sejak 2007. Ia juga menjabat sebagai Ketua Konferensi Waligereja Kuba sejak 2006 hingga 2010.

Ia juga dikenal atas karyanya pada kelompok kategorial yang berfokus pada penginjilan generasi muda di Kuba, terutama memanggil para kakek-nenek untuk mendidik cucu mereka tentang  iman Katolik pada masa ketika pemerintah komunis tidak menganjurkan praktik keagamaan.

Ia juga memberikan pelayanan pastoral kepada para narapidana pada akhir 1980-an setelah mengantongi izin pemerintah.

Uskup Agung Matteo Zuppi, (Italia), 63, Uskup Agung Bologna

Uskup Agung Bologna, Mgr Matteo Zuppi
(Francesco Pierantoni/Wikimedia Commons)

Uskup Agung Matteo Zuppi dilahirkan di Roma pada 11 Oktober 1955, sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Ia memutuskan bergabung dengan Seminari Keuskupan Palestrina, sekitar 25 mil sebelah timur Roma, dan belajar di Universitas Kepausan Lateran dan mendapatkan gelar dalam bidang teologi.

Ia juga mendapatkan gelar dalam bidang Kekristenan dari Universitas La Sapienza Roma. Ditahbiskan sebagai imam untuk Keuskupan Palestrina pada tahun 1981. Sebagian besar pekerjaan penggembalaannya terjadi di Roma, dan bergabung ke Keuskupan Roma pada tahun 1988.

Selalu dekat dengan markas Sant’Egidio, Mgr Zuppi melayani selama hampir 20 tahun sebagai Rektor Gereja Salib Suci dan sebagai asisten imam Basilika Santa Maria di Trastevere dari 1981 hingga 2000 sebelum menjadi imam di paroki.

Pada tingkat keuskupan, ia melayani di dewan imam dan prefek paroki wilayah Trastevere. Kardinal baru ini senang mengendarai sepedanya di sekitar Bologna dan dikenal karena pelayanan khususnya untuk orang tua, orang miskin dan migran.

Michael Czerny, SJ (Cekoslowakia dan Kanada), 73, wakil sekretaris untuk bagian migran di Diskateri untuk Pelayanan Pembangunan Manusia Integral

Kardinal baru yang ditunjuk, Michael Czerny SJ d dalam sebuah wawancara di Roma 27 September 2019. Dia menggambarkan menjadi seorang kardinal sebagai intensifikasi dari “misi berkelanjutan” untuk membantu Paus Fransiskus. (CNS / Paul Haring)

Pastor Michael Czerny lahir di Cekoslowakia tahun 1949 dan tiba di Montreal ketika dia berusia 2 tahun. Kemarin, 4/10 ia ditahbiskan sebagai uskup. Ia akan menjadi Uskup dari Keuskupan “tituler” Beneventum, sebuah keuskupan yang tidak berfungsi di tempat yang sekarang disebut Tunisia. Dia akan memegang gelar selama 24 jam; begitu ia menjadi kardinal, ia akan memiliki gereja tituler di Roma.

Dia lulus dari Universitas Gonzaga yang dikelola Yesuit di Spokane pada 1968 dengan gelar gabungan dalam bidang filsafat dan sastra. Tahun berikutnya ia masuk ke Universitas Chicago, di mana ia mendapatkan gelar doktor dalam analisis gagasan dan studi metode — program humaniora interdisipliner yang unik bagi universitas — dengan studi dialog Kristen-Marxis.

Pada tahun 1973, ia ditahbiskan dan, enam tahun kemudian, mendirikan Pusat Iman dan Keadilan Sosial Jesuit di lingkungan East End Toronto. Ia adalah salah satu dari beberapa Jesuit yang secara sukarela menggantikan mereka yang terbunuh pada tahun 1989 di San Salvador, El Salvador, selama perang saudara di negara Amerika Tengah itu.

Dia meninggalkan The Savador pada tahun 1992 untuk memimpin sekretariat untuk keadilan sosial dari kuria Jesuit di Roma.

Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi direktur pendiri Jaringan AIDS Jesuit Afrika, yang didirikan atas perintah provinsi-provinsi Afrika. Berbasis di Kangemi, daerah kumuh di pinggiran ibukota Kenya, Nairobi, yang telah memantau dan mengoordinasikan Pekerjaan Jesuit bidang AIDS sudah berjalan di 30 negara Afrika.

Pada tahun 2010, ia diminta oleh Kardinal Peter Turkson dari Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian untuk menjadi asisten pribadinya. Dia melayani di sana selama enam tahun, sampai Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai wakil sekretaris saat ini.

Uskup Agung Michael Fitzgerald, m. Af. (Inggris), 82, Uskup Agung Nepte

Uskup Agung Michael Fitzgerald, seorang Misionaris Afrika yang lahir di Inggris.
(CNS / Phil Humnicky, courtesy of Georgetown University)

Uskup Agung Michael Fitzgerald lahir pada 17 Agustus 1937, dari orang tua berkebangsaan Irlandia di sebuah kota kecil di utara Birmingham, Inggris – menjadikan Uskup Agung Fitzgerald salah satu dari tiga kardinal baru yang berusia 80 tahun atau lebih.

Dia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1961 pada usia 23 dan menghabiskan dua tahun mengajar kursus tentang Islam kepada siswa Muslim dan Kristen di Kampala, Uganda, pada masa pemerintahan diktator Idi Amin. Mgr Fitzgerald juga tinggal di Sudan utara, melakukan dialog dengan Muslim dan memberitakan Injil kepada komunitas Kristen kecil di sana.

Pengalamannya menjadikannya salah satu pakar terkemuka di Gereja Katolik tentang Islam dan Al-Quran, dan pada tahun 1987 ia diangkat sebagai Sekretaris Sekretariat Vatikan untuk Non-Kristen, yang kemudian menjadi Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama.

Dia ditahbiskan menjadi uskup pada tahun 1992 dan menjadi uskup agung pada tahun 2002 ketika dia menjadi ketua dewan kepausan.

Meskipun ia sudah pensiun pada usia 75 tahun, ia berkomitmen akan menjadi misionaris komunitas Afrika di Yerusalem untuk menyambut para peziarah, mengajar kursus Alkitab dan memberikan ceramah tentang Islam.

Uskup Agung Miguel Ángel Ayuso Guixot, MCCJ (Spanyol), 67, uskup agung dan Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama.

Uskup Agung Miguel Ángel Ayuso Guixot, MCCJ
(Christoph Wagener/Wikimedia Commons)

Uskup Agung Miguel Ángel Ayuso Guixot lahir di Seville, Spanyol, pada 17 Juni 1952. Dua tahun setelah bergabung dengan Comboni Missionaries of the Heart of Jesus, ia ditahbiskan pada tahun 1982. Pada tahun yang sama ia mendapatkan lisensi dalam studi Arab dan Islam di Institut Kepausan Arab dan Studi Islam di Roma.

Setelah lulus, Mgr Guixot melayani sebagai misionaris di Sudan dan Mesir hingga tahun 2002 dan memfasilitasi berbagai diskusi antaragama di Timur Tengah. Dia diangkat menjadi uskup Luperciana oleh Paus Fransiskus pada tahun 2016.

Uskup Agung Guixot juga menjadi instrumen untuk memulihkan dialog antara Vatikan dan Universitas Al-Azhar, pusat teologi Islam Sunni.

Uskup Agung Sigitas Tamkevicius, SJ. (Lituania), 81, uskup agung emeritus Kuanas

Uskup Agung Sigitas Tamkevicius, SJ
((Juliux/Wikimedia Commons)

Uskup Agung Sigitas Tamkevicius lahir pada 7 November 1938, dari keluarga petani di Krikstonys, Lithuania – menjadikan Kardinal Tamkevicius salah satu dari tiga kardinal baru yang berusia 80 atau lebih, dan karena itu tidak memenuhi syarat untuk memilih dalam konklaf.

Ia memulai formasi imamat pada tahun 1955 dan ditahbiskan pada tahun 1962 setelah periode wajib militer di Soviet. Pada tahun 1968, ketika bekerja di paroki, ia bergabung diam-diam dengan Serikat Yesus yang saat itu dilarang oleh pemerintah,  tetapi izin imam pastornya dicabut setahun kemudian karena menandatangani petisi menentang pembatasan Soviet di Seminari Kaunas.

Pada tahun 1972, setelah bekerja di pabrik logam dan menggali parit reklamasi tanah, ia mulai mengedit tulisan babad Gereja Katolik  bawah tanah di Lithuania, yang menjadi jurnal yang diterbitkan sendiri dan berjalan paling lama di Uni Soviet.

Pada November 1978, sebulan setelah pemilihan Paus Polandia,  St Yohanes Paulus II, ia ikut mendirikan Komite Katolik untuk Pertahanan Hak Orang Percaya, yang mengeluarkan 20 dokumen dan petisi dalam setahun, dan mendapatkan dukungan dari lebih dari  500 imam.

Ia ditangkap pada tahun 1983. Uskup Agung Tamkevicius menghabiskan masa enam bulan di sebuah penjara KGB di Vilnius, sebelum dijatuhi hukuman kerja paksa enam tahun. Pada tahun 1988, ia diasingkan ke Siberia untuk menyelesaikan hukuman.

Pada tahun 1991, ia ditunjuk sebagai uskup auksilier ketika kemerdekaan negara itu diakui dan pada tahun 1996, ia menggantikan Kardinal Vincent Sladkevicius, mantan pengasingan lainnya, sebagai Uskup Agung Kaunas.

Ia melayani beberapa masa sebagai Ketua Waligereja Lituania, mengarahkan Gereja Lituania untuk masuk ke dalam NATO dan Uni Eropa, serta membawa beberapan isu kontroversial negaranya mengenai aborsi, perceraian, pendidikan agama dan emigrasi masal sebelum pensiun sebagai uskup agung pada tahun 2015.

Felicia Permata Hanggu
Sumber: The Jesuit Review America, Catholic News Service

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini