Makna Salib

4546

HIDUPKATOLIK.com – Mengapa Salib sering menjadi kontroversi dan jadi pertentangan, malahan juga dilecehkan. Apakah ada yang salah dengan salib?

Lakshita Murni, Jakarta

Sejak awal Kekristenan salib sudah jadi bahan pertentangan. Tidak mudah memahami salib. Maka Paulus pun mengatakan bahwa pemberitaan akan salib Yesus adalah suatu batu sandungan untuk orang-orang Yahudi kebodohan dan batu sandungan untuk orang-orang bukan Yahudi (lih 1 Kor 1:23). Sebab memang nalar manusia tidak mudah mengerti, apalagi menerima tentang salib. Kita ingat apa yang dikatakan Yesus kepada Petrus, saat dia tidak bisa menerima nubuat tentang penderitaan-Nya, “Enyahlah iblis, … sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mat 16:23).

Kesulitan memahami salib tidak saja dialami oleh kalangan di luar Kekristenan. Di kalangan umat Kristiani pun sejak awal Gereja sudah muncul berbagai paham yang menyangkal bahwa Yesus disalibkan. Yang menjadi argumennya adalah apakah mungkin Yesus, utusan dan penebus, bahkan Putra Allah sendiri wafat di kayu salib, bukankah hal itu bertentangan dengan belaskasih dan kemahakuasaan Allah. Ketika memandang Yesus yang tersalib, terdengar olok-olok, “Baiklah Ia turun dari Salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya” (Mat 27:42; bdk Mrk 15:32). Salib adalah kutukan, “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” (Gal 3:13).

Semuanya itu tidak menggambarkan Kemahakuasaan dan kebesaran Allah, bagaimana mungkin Allah bisa diam dan membiarkan itu terjadi, kalau Yesus adalah Putera dan milik terkasih-Nya? Setidaknya ada dua paham besar dalam sejarah yang menolak salib Yesus. Yang pertama aliran doketisme. Paham ini mengatakan bahwa bukan Yesus yang disalibkan, namun seseorang yang mirip Yesus, bahkan ada yang mengatakan Yudas Iskariot atau salah seorang dari para murid. Yang kedua, dekat dengan paham ini, bahwa ada yang dipaksa untuk menggantikan Yesus untuk disalibkan. Maka, tidaklah benar kalau Yesus yang disalibkan, karenanya mempercayainya, dan bahkan memuja salib Yesus, karenanya adalah suatu kesesatan, sikap tak beriman.

Persoalan teologis dari penolakan itu adalah pertama apakah Allah membiarkan utusan-Nya menderita. Kedua, kalau Yesus itu Putera Allah, apakah mungkin Allah menderita di salib, apalagi wafat? Allah tidak mungkin menderita, apalagi wafat. Maka kalau Yesus mati di salib, Dia bukan Allah, atau Keilahian-Nya baru nyata setelah bangkit. Tradisi Gereja menyatakan, benar Allah tidak mungkin wafat, namun Dia bisa masuk ke ruang penderitaan dan kematian, untuk membebaskan umat manusia dari belenggu maut akibat dari dosa.

Namun ada persoalan lain, wafat Kristus lebih dilihat sebagai peristiwa masa lalu, historis belaka, sekali untuk selamanya. Maka tidak perlu salib itu dibawa ke mana-mana dan disembah dan dipuja. Ditolaknya, lalu, devosi salib, bahkan patung salib dengan tubuh bergantung. Dikatakan, itu menyembah patung, karenanya merupakan praktek sesat, penyembahan berhala.

Kalau Yesus tersalib sekadar kenangan, hanya diingat, tidak hadir dalam realitas dunia dan sejarah masa kini, maka orang bisa tidak melihat karya penyelamatan yang masih berlangsung. Allah masih berkarya menyelamatkan, maka kurban keselamatan pun masih terus dirayakan hingga kini, terutama dalam Ekaristi: Allah yang hadir nyata menyelamatkan dunia dan umat manusia dewasa ini. Konsekuensinya, menerima salib berarti melihat pula Yesus tersalib bersama dan dalam diri orang-orang yang menderita, disingkirkan dan direndahkan, termasuk mereka dianggap binatang serta diteriaki sebagai monyet. Tanpa masuk ke kenyataan ini, salib kehilangan makna terdalam sebagai tindak penyelamatan, sekadar berhenti sebagai devosi kesalehan belaka.

Ternyata sangat tidak mudah memahami salib, sebab salib adalah hikmat Allah (lih 1 Kor 1:20-25), sehingga banyak orang, malahan juga dari kalangan orang yang percaya akan Yesus, masih hidup sebagai seteru salib Kristus (lih Fil 3:18). Yesus adalah tanda dan Pribadi yang menimbulkan pertentangan (lih Luk 12:51). Maka penghojatan akan salib masih akan berlangsung terus, kesalahpahaman masih akan terjadi, ketidakmengertian dan penghinaan masih akan kita hadapi, sebab salib bukan cara pikir manusia, namun cara bertindak Allah yang melampaui pemahaman manusia ( lih Mat 16: 23).

Namun ada yang lebih penting daripada marah menghadapi gugatan dan hojatan, yaitu apakah hidup kita menunjukkan kepercayaan sungguh akan salib atau tidak, iman akan Allah yang mengosongkan diri hingga wafat di kayu salib (lih Fil 2:16), sehingga salib bukan batu sandungan lagi (lih Gal 5:11). Kalau hidup kita malah menjadi jalan penyesatan, salib hanya sekedar dipuja, namun tidak menghidupi kebenaran, peduli akan keadilan dan mengupayakan pendamaian, maka salib Kristus bisa menjadi sia-sia malahan menjadi batu sandungan (lih 1 Kor 1:17; Gal 5:11; Fil 3:18; Ef 2:16).

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.35 2019, 1 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini