HIDUPKATOLIK.com – Salah satu nilai yang ditinggalkan Paul Widyawan adalah melodi inkulturasi dalam lagu-lagunya. Semua ini demi kemuliaan dan keluhuran Tuhan.
Sebagai pencipta lagu-lagu liturgi, Paul Widyawan ingin musik inkulturasi terus dihidupi untuk memperbarui musik liturgi di Indonesia. Paul memberi nafas baru di dalamnya dengan nuansa-nuansa Nusantara. Bagaimana jiwa inkulturasi Paul dihidupi zaman ini, berikut petikan wawancara dengan Pemimpin Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta, Romo Karl Edmund Prier SJ, di Jalan Ahmad Jazuli 2, Yogyakarta, Senin, 12/8.
Kapan Romo mulai mengenal Paul dan sejauh mana perannya dalam PML?
Saya mengenal Paul sejak 1967, sewaktu ia mulai belajar teologi di Kolose St Ignatius (Kolsani) Kotabaru. Saat itu, saya mengajar bahasa Inggris di Akademi Kateketik Katolik Indonesia (AKKI) atau sekarang Prodi Ilmu Kekhususan Pendidikan Agama Katolik (IPPAK) Universitas Sanata Dharma.
Dalam beberapa kesempatan, saya bertemu Paul. Ia saat itu sudah menjadi komponis lagu-lagu Gereja. Ia bahkan sedang melatih paduan suara gabungan tujuh perguruan tinggi di Yogyakarta. Saya diminta mengiringi paduan suara itu.
Sejak itu, apakah ada kerja sama antara Romo dan Paul?
Saya dan Paul merencanakan perwujudan musik Gereja yang khas Indonesia, sesuai dengan pesan Konsili Vatikan II. Ini direalisir PML yang didirikan tahun 1971. Paul membantu PML dengan melatih paduan suara di paroki-paroki. Ada 57 lokakarya komposisi yang diadakan di seluruh Indonesia. Paul juga membuat lagu-lagu baru yang kemudian banyak mengisi buku Madah Bakti.
Paul diakui berperan besar dalam melahirkan lagu-lagu inkulturasi. Tiap kali Tim PML berkunjung ke daerah, Paul selalu menanyakan lagu daerah. Lagu-lagu daerah yang kemudian diperindah dengan aransemen paduan suara. Lagu-lagu karya Paul itu dipentaskan tim PS Vocalista Sonora (Vokacason) yang dipimpinnya, baik di dalam maupun luar negeri.
Apa yang mendasari sehingga Paul ingin musik liturgi terus dihidupi di Indonesia?
Berulangkali Paul menekankan hal ini. Dalam pengalaman kebersamaan, Paul selalu berusaha agar membumikan lagu-lagu khas daerah. Ia ingin jangan ada lagu-lagu pop, apalagi lagu-lagu barat berbahasa Inggris dalam liturgi.
Menurutnya, itu mengkhianati diri sebagai anak bangsa. Harusnya liturgi kehidupan itu tampak dalam liturgi Gereja, di mana dalam liturgi itu tampak hidup manusia sehari-hari. Kita merayakan liturgi sebenarnya merayakan kehidupan kita sebagai umat. Maka pengalaman hidup sehari-hari harusnya menjadi pengalaman hidup menggereja.
Sebagai misionaris asing saat itu apakah Romo terbantu dengan kehadiran Paul?
Sebagai orang asing, saya tak mungkin mampu bekerja single fighter di PML. Saya bisa belajar soal musik dari Paul. Kami saling melengkapi untuk memajukan musik Gereja. Dari PML, Paul memperoleh kesempatan belajar musik pada Albert Greiner Singscule di Leopold Mozart Konservatori-Augsburg-Jerman tahun 1977. Ia mengambil fokus pada pendidikan musik anak. Masa pendidikan ini menjadi dasarnya mendidik anak-anak bermusik.
Apakah pernah disampaikan ke Romo alasan Paul menggeluti musik etnik?
Dalam suatu kesempatan diwawancara secara tertulis, Paul mencoba menjelaskan apa yang memotivasi dirinya untuk mengaransemen lagu-lagu daerah di Indonesia. Ia mengatakan, lagu daerah bagus. Supaya bangsa kita dikenal. Lagu-lagu kita nota bene banyak bernada pentatonik. Lain dengan bangsa-bangsa lain.
Paul pernah menjelaskan, lagu-lagu daerah memuat cerita tentang manusia yang hidup. Misalnya, lagu “Sate Embik” tentang tukang sate, lagu “E Baksone” untuk menjual makanan Indonesia. “Walang Kekek” untuk mengenal flora dan fauna Indonesia.
Paul pernah berkata, ia malu lagu Indonesia saat dipentaskan dalam tur kesenian Eropa, bunyinya hanya itu-itu saja. Paul berusaha, supaya lagu-lagu itu menjadi sebagus mungkin.
Apa peninggalan Paul yang palingdi butuhkan dalam musik liturgi saat ini?
Dalam musik liturgi paling penting adalah penjiwaan lagu serta aransemen kor. Soal itu, Paul paling jago. Ia melatih penyanyi paduan suara untuk mampu menyanyi dengan penjiwaan. Paul sangatpaham, bahwa musik liturgi tidak saja indah, tapi juga sebagai ungkapan iman. Musik liturgi berbau inkulturasi masih tetap relevan di Gereja Indonesia. Buktinya, ratusan penyanyi paduan suara yang pernah dilatih Paul dipesonakan dengan penjiwaan lagu yang berpangkal dari syair, seperti diungkapkan dalam musik liturgi.
Satu peninggalannya juga adalah PML. Tiap tahun ada sekitar 50 anak belajar dirigen dan organis di sini. Mereka pasti melaksanakan apa yang dilatihkan Paul. Mereka akan memenuhi apa yang jadi kebutuhan umat. Karena pelatihnya berkualitas, maka hasilnya juga berkualitas.
Menurut Romo, sejauh mana perhatian Gereja kepada calon musikus liturgi ini?
Kami tidak pernah berharap Gereja menghargai jasa-jasa para musikus atau calon musikus liturgi. Karena selama ini Gereja lebih banyak bergerak di bidang sosial, memperhatikan mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Saya maklum itu, tapi berbuat baik lewat karya sosial akan hampa kalau tidak didukung dengan hati dan iman sejati. Itu tempatnya ada di musik liturgi.
Saya mengamati, belakangan musik profan atau pop, yang diciptakan untuk tujuan di luar liturgi, terkadang ditampilkan dalam ibadat. Musik pop, hanya menyenangkan orang muda. Padahal, musik inkulturasi lebih punya identitas.
Kita pada waktunya akan menang dari lagu pop. Kita harus sadar bahwa tidak hanya butuh lagu yang bagus, tapi isinya juga mengungkapkan iman di dalamnya.
Paduan suara yang dilatih Paul sudah ke mana saja?
Saya rasa PS Vocason pernah pentas di lima negara yang ditujuh. Selain ke Vatikan, juga Belgia, Swiss, dan Jerman. Kami mengiringi misa secara Sunda, dengan alat angklung. Misa Jawa dengan iringan musik gamelan, berpindah-pindah kota. Tim PS Vocason, binaan Paul Widyawan pernah melakukan tour kesenian ke Eropa, selama lima kali. Pertama tahun 1976, 1981, 1984, 1988 dan 1988.
Menyanyikan lagu-lagu Gereja berarti mengungkapkan kemuliaan dan keluhuran Allah. Karena itu, Paul kerap memarahi anak didiknya yang sedang dilatihnya, jika menyanyikan lagu-lagu liturgi dengan tanpa penjiwaan.
Apakah ada kesan khusus yang romo lihat dari Paul?
Saya sadar, kalau tidak kenal Paul, maka hasilnya menangani PML pasti kurang maksimal. Paul membuka mata saya, budaya daerah di Indonesia ada bermacam ragam. Saya merasa diperkaya belajar musik dari dia.
H. Bambang S/Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.35 2019, 1 September 2019