HIDUPKATOLIK.com – Pemilihan kardinal baru tahun 2019 memberikan gambaran visi pastoral Paus Fransiskus, yang tidak bisa dilepaskan dari nama Santo Fransiskus Asisi yang dipilihnya.
Sudah selayaknya kita bersyukur atas pengangkatan Uskup Agung Jakarta, sekaligus ketua KWI, Ignasius Suharyo sebagai Kardinal. Sudah lama disebut sebagai kandidat Kardinal, karena memang pribadi dan posisi beliau dalam Gereja dan masyarakat Indonesia, kini kita bergembira menyambut pengukuhan tersebut, yang baru secara resmi dalam konsistori kardinal 5 Oktober 2019 nanti, sebelum berlangsungnya sinode uskup tentang kawasan Amazon.
Dalam tradisi Gereja pengangkatan seseorang dalam jabatan gerejani berbicara pula tentang arah atau misi Gereja. Maka pengangkatan kardinal menggambarkan pula arah penggembalaan yang digagas dan hendak dijalankan oleh Paus.
Gereja dunia
Wajah Gereja Katolik semakin terlihat berwajah mondial. Menyadari dalam pemilihan Paus terakhir mayoritas kardinal berasal dari kawasan barat, terlebih Italia, maka terkesan ada sesuatu yang kurang tepat. Kenyataannya Gereja sekarang dikatakan lebih hidup, baik jumlah maupun vitalitasnya, di kawasan selatan: Amerika Selatan, Afrika dan juga Asia. Kawasan yang secara tradisional disebut kawasan Katolik kental, mengalamai kemandegan, sebagaimana Paus Fransiskus pernah menggambarkan Eropa bagai perempuan tua yang sudah keriput, sehingga berwajah kurang segar dan cenderung mapan.
Tidak mengherankanlah kalau Paus Fransiskus kemudian mengangkat beberapa kardinal dari berbagai belahan dunia, misalnya Togo, Papua Nugini, Myanmar, Madagaskar, Afrika Tengah ataupun Bangladesh. Beberapa di antaranya adalah kawasan yang umat Katoliknya tidak banyak, namun memiliki wajah Gereja yang hidup. Beberapa uskup di Italia, yang biasanya bergelar kardinal tidak lagi diangkat sebagai kardinal, apalagi di tengah kenyataan bahwa Paus hendak menggabungkan beberapa keuskupan mengingat menipisnya demografi umat Katolik. Maka kita akan bisa semakin wajah kardinal yang tidak lagi berkulit putih. Dominasi kuat Eropa akan perlahan makin berkurang. Tentu hal ini tidak begitu mudah bagi mereka.
Hal ini menjadi berarti karena dalam ketentuan hukum Gereja (kanon 349-359) para kardinal bertugas untuk memberi nasehat kepada Paus, membantunya baik secara bersama maupun pribadi, dalam reksa kepemimpinan Gereja. Secara konkret hal itu dijalankan terutama dalam konsistori, pertemuan para kardinal, baik konsistori biasa, yang lebih sering diadakan untuk para kardinal yang berada di Roma, maupun konsistori luar biasa yang wajib diikuti semua kardinal.
Para kardinal bisa pula menjadi utusan Paus untuk suatu perayaan atau pertemuan tertentu. Selain itu para kardinal adalah mereka yang memiliki kewenangan mengikuti konklaf untuk memilih Paus. Dalam kenyataan keberagaman asal kardinal, maka dalam kewenangan dan peran tersebut kita bisa membayangkan kepemimpinan Gereja yang semakin berwajah mendunia, sehingga perspektif dan pengalaman yang semakin luas dan beragam akan bisa mewarnai kebijakan pastoral Gereja.
Visi pastoral Fransiskus
Para Kardinal yang terpilih, dan juga mengingat, nama-nama kardinal yang sudah diangkat dalam masa penggembalaan Paus Fransiskus, kita bisa melihat gambaran visi pastoral Paus Fransiskus, yang tidak bisa dilepaskan pula dari nama Santo Fransiskus Asisi yang dipilihnya.
Pertama adalah dialog agama. Ada dua kardinal baru yang berasal dari kawasan yang mayoritas Muslim, Indonesia dan Maroko. Selain itu kita masih punya kardinal dari Bangladesh, Pakistan, Afrika Tengah dan bahkan nunsius di Suriah diangkat pula sebagai kardinal oleh Fransiskus. Selain itu, diangkatnya Mgr Michael Louis Fitzgerald, mantan perfek dialog agama dan duta besar Vatikan di Mesir, yang seorang Islamolog, serta Mgr Miguel Angel Ayuso Guixot, ketua komisi dialog antara agama saat ini, yang juga seorang Islamolog, menunjukkan pentingnya dialog agama, terlebih dialog dengan umat Islam. Di sini kita tidak bisa melupakan dokumen Abu Dhabi, yang ditandatangani Paus dan Ahmed a-Tayyeb, imam besar di Al-Azhar, Mesir, sesuatu yang juga penting bagi kita, Gereja Katolik di Indonesia.
Aspek yang kedua adalah ekologi. Sinode uskup di bulan Oktober nanti, tidak bisa dilepaskan dari visi Paus tentang ekologi, bahkan dia sempat mengatakan sinode nanti adalah anak kandung dari Laudato Si, ensikliknya tentang pemeliharaan rumah bersama. Michael Czerny, salah satu yang diangkat Kardinal merupakan salah satu orang yang ikut berperan dalam penyusunan ensiklik tersebut. Selain itu kardinal baru dari Guatemala, Alvaro Ramazzini dikenal sebagai pembela lingkungan, bahkan pernah diancam akan dibunuh oleh mereka yang terlibat dalam perusakan lingkungan di wilayahnya. Pengangkatan ini tidak saja menggambarkan visi Paus, namun juga dukungannya akan pembelaan lingkungan di Guatemala.
Tentu pemilihan Kardinal ini tidak bisa dilepaskan dari, yang ketiga, opsi pastoral Fransiskus akan orang miskin, mereka yang terlantar dan membutuhkan. Michael Czerny, sekretaris komisi Keadilan dan perdamaian yang khusus menangani pekerja migran dan pengungsi, satu-satunya imam yang diangkat Kardinal, menunjukkan dengan jelas pembelaan Paus akan misi Gereja untuk melayani mereka yang miskin.
Demikian pula pengangkatan kardinal dari Kongo, dan sebelumnya dari Togo, Afrika Tengah, ataupun Bangladesh, di mana Gereja dikenal dengan pelayanan pendidikan kepada kaum miskin, menjadi tanda pula akan hal tersebut. Matteo Zuppi, uskup Bologna, yang dekat dan aktif dengan komunitas Sant Egidio, menperlihatkan hal yang sama. Selain itu, ada pula pengangkatan uskup emerituas Kaunas, Lithuania, Sigitas Tamkevicius, yang sempat lama di penjara dan bahkan dibuang ke Siberia, berbicara pula tentang pembelaan akan mereka yang dianiaya dan ditindas karena iman orang-orang sederhana.
Kita melihat ada tiga uskup dari Eropa yang diangkat Kardinal. Yang pertama adalah Uskup Agung Bologna, Mgr Matteo Zuppi. Nama ini belum lama ini cukup jadi pembicaraan, karena memberi kata pengantar pada buku tulisan James Martin, “Building Bridges” edisi bahasa Italia, yang berbicara tentang karya pastoral pada kaum LGBT. Buku ini mengundang cukup banyak kontroversi, terutama di AS.
Namun Uskup Zuppi mendukung pastoral untuk mereka, sebagai wujud pendampingan dan perhatian Gereja kepada mereka. Yang kedua, Uskup Agung Luxemburg, Jean-Claude Höllerich, yang juga presiden konferensi uskup Eropa, dikenal karena tulisan-tulisannya yang melawan berkembangnya paham nasionalis-populis, terlebih di Eropa, yang menyebut Steve Bannon, mantan penasehat strategi Donald Trump sebagai “imam” gerakan populis.
Yang ketiga adalah kardinal baru dari Portugal, yang termuda dari antara yang lain, karena lahir di tahun 1965. Dia adalah pengelola arsip dan perpustakaan Vatikan, sesuatu yang penting dalam tradisi Gereja. Akan tetapi selain menulis buku teologi dan Kitab Suci, dia dikenal pula sebagai penyair, dengan menerbitkan beberapa buku puisi tulisannya.
Pengangkatan jabatan Gerejani tidak saja berbicara tentang nama dan jabatan yang diembannya. Di dalamnya berbicara pula tentang pesan yang hendak disampaikan. Hal tersebut berlaku pula dalam pengangkatan Kardinal. Nama-nama yang diangkat, menggambarkan apa yang menjadi visi pastoral dan arah penggembalaan Paus Fransiskus.
Akan tetapi, hal ini tidak saja berbicara tentang Paus Fransiskus sebagai pribadi, namun pula Gereja sebagai tubuh. Kardinal terpilih menambah jumlah elektor, yang berhak memilih Paus. Mereka nanti di bulan oktober akan berjumlah 124. Para kardinal ini terdiri dari 16 kardinal yang dipilih Yohanes Paulus II, 42 dipilih Benediktus XVI, dan ada 66 kardinal yang dipilih oleh Paus Fransiskus. Dari perhitungan jumlah ini bisa dikatakan kalau Paus Fransiskus meletakkan dasar bagi gerak serta arah Gereja ke depan: Gereja yang terbuka akan dunia, agar kehadiran Gereja semakin menjadi tanda dan pewarta sakramen keselamatan kasih Allah di tengah dunia.
Dalam rasa syukur atas para gembala kita, para pangeran Gereja, terlebih Ignasius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo, kita ikut berjalan bersama Gereja dalam peziarahannya sebagai murid-murid Kristus yang mewartakan Injil Kerajaan Allah. Kita bersyukur kepada Allah yang senantiasa menyertai Gereja dengan memberikan kepada kita gembala-gembala-Nya.
T. Krispurwana Cahyadi SJ
HIDUP NO.36 2019, 8 September 2019