Memahami Sikap Suami

340

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh terkasih, setelah pacaran selama enam bulan – yang dipenuhi dengan hal-hal menyenangkan, saya dan kekasih memutuskan untuk menikah. Pada awal pernikahan, sikap suami tak banyak berubah. Dia penyanyang, rajin, dan hampir selalu tepat waktu saat pergi dan pulang bekerja.

Namun, saat saya hamil, sikap suami berubah. Dia jadi sering marah. Kadang tak wajar. Waktu awal menikah, jika ia marah, hanya menggebrak meja. Tapi, sekarang, dia memukul saya. Tapi, begitu saya melahirkan, anak perempuan, sikap suami kembali seperti masa pacaran: lembut dan kalem. Seakan, ia lupa bahwa pernah menyakiti saya.

Ketika saya hamil dan melahirkan anak kedua. Sikapnya kembali menjadi kasar. Dia menyakiti saya dan tega melakukan itu di depan putrinya (anak pertama). Anak kami pun menangis. Karena sering terjadi, keluarga saya pun menjadi buah bibir tetangga. Saya malu dan takut. Begitu juga orangtua dan saudara-saudari saya. Mereka mau melaporkan suami saya kepada polisi. Apa yang harus saya lakukan?

Marchella Christina, Bogor, Jawa Barat

Sungguh tidak mudah menghadapi situasi Ibu dan suami yang cukup serius karena tidak hanya berdampak kepada Ibu pribadi, juga kepada anak-anak. Saya juga sangat paham keprihatinan keluarga besar dengan kondisi Ibu dan anak-anak.

Saat ini yang terjadi, ibu dan anak-anak diliputi dengan ketakutan dan rasa tidak aman. Perasaan ini juga terjadi, bahkan ketika berada di dalam rumah sendiri. Dengan kenyataan ini, hubungan dalam keluarga sudah diwarnai dengan kekerasan.

Apa yang menyebabkan suami Ibu berperilaku demikian? Ada beberapa hipotesis atau dugaan sementara namun tentunya perlu data yang lebih banyak untuk menemukan akar masalahnya. Beberapa dugaan penyebab mungkin ada kecemasan atau ketidaksiapan untuk menjadi ayah. Kesiapan seseorang untuk menikah tidak secara otomatis siap pula menjadi orangtua. Kedua hal ini sangat berbeda, suami ibu bisa saja sudah merasa siap untuk menikah, namun, ia tidak siap untuk menjadi orangtua.

Kehamilan yang saat ini sedang ibu alami barangkali juga bisa menjadi penyebab. Kondisi kehamilan Ibu menjadi pencetus dari pengalaman menyakitkan. Suami mengasosiasikan kehamilan ibu dengan suatu yang negatif. Dugaan lain suami punya masalah pribadi yang mungkin dia sendiri tidak sadari.

Berdasarkan kondisi dan sedikit penjelasan di atas, saya menyarankan Ibu dan suami untuk mencari bantuan profesional. Ibu dan suami dapat berkonsultasi dengan lembaga atau biro yang punya kompeten untuk menyediakan layanan pendampingan keluarga. Lembaga ini, nantinya dapat membantu ibu dan suami untuk mendampingi dan menolong keluarga ibu.

Wieka Dyah Partasari

HIDUP NO.34 2019, 25 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini