Bukan yang “Harga Mati”, Papua Butuh Dialog

69
Diskusi bertajuk “Papua dalam Dialog” di Margasiswa PMKRI, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 7/9.
[HIDUP/Hermina Wulohering]

HIDUPKATOLIK.com – Referendum bukanlah alternatif penyelesaian konflik Papua. Papua butuh dialog.

Pasca reformasi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 menghendaki penyelesaian konflik di Aceh dan Papua dilakukan secara damai. Presiden B. J. Habibie, dalam dialog dengan 100 warga Papua, mengatakan, “Kalian boleh minta apa saja, yang penting jangan minta merdeka.”

Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, Pastor Franz Magnis-Suseno SJ, mengatakan, ia sepakat dengan pernyataan Habibie tersebut. Munculnya konflik-konflik Papua beberapa waktu belakangan ini, membuat seruan refendum kembali bergaung. Romo Magnis mengatakan referendum Papua bukanlah alternatif penyelesaian konflik dan tidak akan terjadi. Selain karena kasus Papua berbeda dari Timor-Timur (kini Timor Leste), Romo Magnis juga mengatakan tidak akan ada aktor internasional yang mendukung rencana Papua merdeka. “Kalau kita memberi harapan bahwa kemerdekaan itu masih mungkin, maka kita menipu diri sendiri,” ujar Romo Magnis dalam diskusi bertajuk Papua dalam Dialog, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Sabtu, 7/9, sore di Margasiswa, Menteng, Jakarta Pusat.

Situasi Papua belakangan ini, kata Romo Magnis, sungguh menuntut dialog. “Ketika semua membicarakan referendum, mari kita berdialog untuk sama-sama mencari jalan keluar. Semua hal pasti bisa dibicarakan,” katanya.

Ia menambahkan, munculnya aksi demonstrasi di Papua menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk mengubah pendekatan dalam penanganan konflik Papua. “Yang harus diakhiri adalah kekerasan dan pendekatan keamanan. Dialog bisa menjadi pendekatan baru untuk mengakhiri konflik dan meminimalisir adanya penyimpangan atau pelanggaran HAM,” ujarnya.

Namun, Romo Magnis juga menekankan, dialog yang dimaksud bukan sekadar pertemuan antara Jakarta dengan Papua, melainkan lebih kepada pendekatan strategis untuk membahas masalah, mencari solusi bersama, hingga membangun kesepakatan yang mengikat antaraktor dalam konflik Papua.

Penggunaan cara-cara yang bersifat pemaksaan, ia katakan harus diganti dengan pendekatan baru yang humanis dan berbasis HAM. Adalah tugas bagi negara untuk menemukan suatu cara di mana orang Papua merasa bukan hanya diterima tetapi bisa berkembang dan diakui dalam kerangka NKRI.

Sementara itu, politikus dan mantan tokoh militer dari Papua, Laksamana Madya TNI (Purn.) Freddy Numberi, menyebut dialog tidak akan terwujud apabila Papua tetap pada opsi “Referendum Harga Mati” dan Jakarta berkeras dengan “NKRI harga mati”. “Mau bicara apa kalau dua-duanya harga mati?” ungkapnya.

Dalam diskusi ini, tidak hanya pemerintah yang didorong untuk segera melakukan dialog. Koordinator Jaringan Papua, Adriana Elisabeth, juga mendorong para mahasiswa untuk menjalankan dialog sebagai model pendekatan baru untuk Papua. “Perlu sesi khusus, dialog untuk kaum muda karena kaum muda mempunyai pandangan serta pendekatan berbeda dalam melihat diri dan dunia,” ujarnya. Senada dengan Adriana, Romo Magnis meminta PMKRI untuk terus mengembangkan persaudaraan di antara mahasiswa dan orang muda.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini