Rosa Vivien Ratnawati : Hutan untuk Kesejahteraan Rakyat

1925
Rosa Vivien Ratnawati.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Masyarakat di sekitar hutan harus mendapat manfaat dari pemanfaatan hutan. Jangan sampai, masyarakat termarjinalisasi karena perambahan hutan yang tidak memperhatikan kelestarian ekologi.

Menjadi mahasiswa hukum, mengantar Rosa Vivien Ratnasari berkenalan dengan para aktivis lingkungan hidup di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Namun, interaksi ini justru menimbulkan ketertarikan baginya untuk mendalami hukum lingkungan. Saat akhirnya memilih karier sebagai pegawai negeri di Kementrian Lingkungan Hidup, Vivien ingin menjadikan dirinya berguna untuk orang banyak.

Vivien menjelaskan, pemerintah Indonesia berniat memberikan izin 12,7 juta hektar lahan perhutanan sosial agar dikelola masyarakat di sekitar kawasan hutan. Program ini bertujuan agar hutan bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat di sekitar hutan. Program ini juga digulirkan untuk mengurangi konflik lahan. Ada 32 juta rakyat Indonesia yang hidup di sekitar hutan. Masyarakat itu tinggal di 33 ribu desa.

Dari Pegawai Negeri
Karier Vivien bermula dengan menjadi pegawai negeri di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) di bawah Presiden Soeharto. Saat itu, Sarwono Kusumaatmadja duduk sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Sejak itu, Vivien pun belajar banyak tentang lingkungan hidup. Dengan latar pendidkan hukumnya, ia ditempatkan di Satgas Jaga Nusa. Satgas ini bertanggungjawab menangani penegakan hukum lingkungan. Sehari-hari, ia bekerja menangani kasus-kasus lingkungan.

Karier Vivien terus berlanjut hingga pada tahun 2006 ia dipercaya menjadi Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Perdata Kementerian Lingkungan Hidup. Dengan posisi ini, ia bertugas menangani konflik pengelolaan hutan.

Saat akhirnya Vivien menjadi Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, ia memfasilitasi konflik antara lima kelompok masyarakat Batin Sembilan di Jambi dan sebuah perusahaan. Perusahaan ini memiliki kewenangan untuk mengelola 98.555 hektare kawasan restorasi ekosistem.

Di kawasan tersebut, tinggal warga Batin Sembilan. Tarik-menarik antara kepentingan keberlanjutan lingkungan dengan keberlangsungan hidup masyarakat menyebabkan terjadi konflik di wilayah ini. Ada lima wilayah yang diklaim milik masyarakat. Dalam proses mediasi, akhirnya disepakati 1455 hektar lahan akan dikelola bersama 390 jiwa masyarakat Batin Sembilan. “Saya mengingatkan perusahaan, bahwa ada warga yang telah lama hidup di dalam wilayah konsesinya,” tutur Vivien.

Vivien menjelaskan, Direktorat Penanganan Konflik Tenurian dan Hutan Adat adalah wujud kehadiran negara. Peraturan Kementerian Hutan Hak menjadi basis hukum bagi masyarakat adat melakukan klaim hak hutan, jika komunitas mereka telah diakui.

Konflik Hutan
Menurut Vivien, tipologi konflik hutan yang terjadi di masyarakat saat ini terdiri dari empat hal. Konflik itu adalah konflik masyarakat dengan pemerintah, konflik masyarakat dengan perusahaan, konflik antar pemegang izin, dan konflik antar pemerintah. Untuk konflik masyarakat dengan pemerintah, ada dua hal yang menjadi pemicunya konflik.

Vivien mengungkapkan, penanganan konflik kehutanan dilakukan terutama bukan melalui penegakan hukum. Konflik semacam ini terutama ditangani melainkan pendekatan sosial. Penegakan hukum biasanya justru tidak menyelesaikan permasalahan itu sepenuhnya. Hal ini bahkan bisa menimbulkan masalah baru. “Penyelesaian konflik yang benar itu harusnya dilakukan dengan cara pendekatan. Kita harus mencari tahu lebih dahulu pokok permasalahan konflik,” terang Vivien.

Tahun 2016, Vivien diangkat menjadi Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi. Bertugas di bidang ini, mengharuskan nomor handphone Vivien menjadi terbuka pada masyarakat, karena ia harus menerima pengaduan terkait kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan, antara lain kasus pencemaran, perambahan hutan, sengketa lingkungan.

Vivien pernah menemukan sebuah perusahaan di Ketapang, Kalimantan Barat terus membuka hutan gambut yang merupakan habitat orang utan. Tanpa ragu, ia memberikan sanksi administrasi berupa penghentian seluruh operasi perusahaan. Vivien juga pernah menghentikan operasional sebuah perusahaan pengolah limbah bahan berbahaya dan beracun di Jawa Barat. Saat itu, ia menemukan fakta, bahwa perusahaan meletakkan seribu ton limbah medis di tempat terbuka dan hanya ditutup terpal.

Masalah Sampah
Tahun 2017, Vivien diangkat menjadi Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya. Persoalan sampah di Indonesia tidak hanya menjadi isu nasional tapi sudah menjadi isu global. Di Indonesia, rata-rata setiap orang menghasilkan 0,7 kilogram sampah. Jumlah timbulan sampah semakin bertambah seiring dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk. Akibatnya, semakin beragam jenis sampah yang dihasilkan.

Vivien menjelaskan, Indonesia berkomitmen mengurangi 30 persen sampah. Pemerintah juga berusaha mengelola sampah dengan benar sebesar 70 persen dari total timbunan sampah pada tahun 2025. “Paradigma pengelolaan sampah sekarang tidak hanya kumpul, angkut, dan buang akan tetapi dengan pendekatan sampah menjadi sesuatu yang bersifat ekonomi atau kita sebut circular economy,” jelasnya.

Saat ini dalam pengolahan sampah, pemerintah mempromosikan penerapan Reduce, Reuse, Recycle (3R). Vivien menjelaskan, saat ini ada 5.244 Bank Sampah yang tersebar di 34 provinsi dan 219 kabupaten/kota di Indonesia. Bank sampah memberi kontribusi pengurangan sampah nasional sebesar 1,7 persen. Tak hanya itu, pemerintah juga membangun Pusat Daur Ulang sampah organik menjadi kompos. Vivien menjelaskan, gas metan dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dapat dimanfaatkan sebagai gas alternatif atau dikonversi menjadi listrik.

Namun, yang paling utama adalah mendidik masyarakt untuk sadar sampah. Untuk itu, Vivien selalu mengkampanyekan hidup minim sampah. “Lebih baik membawa botol minuman dibandingkan mengkonsumsi air mineral dengan botol plastik,” ujarnya.

Vivien juga menegaskan peran dan tanggung jawab produsen untuk mengurangi limbah yang berasal dari produk atau kemasan mereka. Ia menjelaskan, ada tiga produsen yang menjadi target utama, yakni pemilik merek, pengecer, dan sektor jasa makanan dan minuman seperti hotel, restoran dan kafe.

“Mereka harus didorong untuk melakukan redesain produk dan mengurangi komponen yang tidak recyclable. Produsen juga harus membangun konsep take back-nya, penarikan kembali kemasannya, sampai juga membangun konsep recycling industrinya,” papar Vivien.

Rosa Vivien Ratnasari

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Mei 1970
Anak-anak :
– Joan Natalie Vilanoria
– Maria Gabriela Nauli

Pendidikan :
– SMA Tarakanita 1 Jakarta (lulus 1989)
– S1 Hukum Universitas Indonesia (1989-1994)
– Master of Sustainable Development University of Sydney Australia (1999-2000)

Karier :
• Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Perdata dan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan pada Kementerian Lingkungan Hidup (2006-2010)
• Asisten Deputi Bidang Perjanjian Internasional Kementerian Lingkungan Hidup (2010-2011)
• Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara pada Kementerian Lingkungan Hidup (2011-2013)
• Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup (2013-2015)
• Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015-2016)
• Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(2016-2017)
• Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017-sekarang)

Fr. Benediktus Yogie Wandono SCJ

HIDUP NO.33 2019, 18 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini