Semangat Mencari Terobosan

493
Paus Benediktus XV.

HIDUPKATOLIK.com – Pada akhirnya misi bermuara pada tujuan rohani yang berhubungan erat dengan panggilan kepada kekudusan. Semua orang Katolik dianjurkan berpartisipasi.

Foto tahun 1919, Perang Dunia I baru saja berakhir. Tak terbayangkan sisa-sisa kehancuran yang masih terlihat di setiap sudut Eropa. Dunia yang berubah, menuntut sesuatu seruan kemanusiaan dari Gereja. Umat manusia menantikan panduan baru bagi langkah mereka.

Gereja pun menjawab, Paus Benediktus XV menerbitkan Surat Apostolik Maximum Illud pada 19 November 1919. Judul lengkap surat itu Maximum Illud : De Fide Catholica per Orbem Terrarum Propaganda, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Maximum Illud : Tentang Penyebaran Iman Katolik di Seluruh Dunia. Dalam pesannya, Paus ingin memberikan terobosan cara bermisi dan juga memaknai misi.

Untuk Dunia
Teks Maksimum Illud berisi arahan motivasi dan mendorong berjalannya karya misi. Utamanya surat apostolik ini ditujukan kepada para pemimpin Gereja : para patriark, primat, uskup agung, dan uskup di dunia Katolik.

Dosen Teologi Kontekstual di STFT Widya Sasana Malang Pastor Raymundus I Made Sudhiarsa SVD menyampaikan, ada sekian banyak dokumen yang ada sesudah Maximum Illud. Konsili Vatikan II adalah salah satunya dan menjadi terobosan kala itu. Terutama berhubungan dengan pendidikan imam-imam lokal. Misionaris juga bukan lagi dikenakan pada ekspatriat tetapi setiap orang yang dibaptis termasuk para imam dan mereka yang berkaul. Ad Gentes, sebuah dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja, menjadi salah satu dari Dokumen Konsili Vatikan II yang sangat kuat. Setelah itu, ada Ecclesiam Suam, Evangelii Nuntiandi, Redemptoris Missio, dan Evangelii Gaudium tahun 2013.

Pada Oktober mendatang, Gereja akan merayakan Bulan Misi Luar Biasa, sebagai peringatan seabad Maximum Illud. Pastor Raymundus, memberi gambaran bagaimana Gereja Kristus yang ideal. Paus mengajak kita menuju kepada Gereja yang ideal yang bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia.

Misi menjadi unsur yang begitu penting dalam Gereja dan setiap orang yang dibaptis adalah orang yang diutus. “Orang dibaptis, orang dipanggil, orang dikumpulkan bukan untuk dirinya sendiri, tetapi dibaptis untuk diutus, seperti para rasul, begitu juga dengan semua kita,” ujar Pastor Raymundus saat berbicara dalam Kongres Misi 2019 di Jakarta, 1-4/8.

Gagasan misi sebagai roh beriman dalam hidup menggereja menjadi penting. Dalam Evangelii Gaudium No.273, Paus Fransiskus mengatakan hal yang sama: “Misi itu bukan suatu ‘tambahan’ atau hanya suatu momen lain dalam hidup. Sebaliknya, misi adalah sesuatu yang tak dapat saya cabut dari keberadaan saya, tanpa menghancurkan diri saya sendiri. Saya adalah misi di atas bumi ini; itulah alasan mengapa saya berada di dunia ini.”

Pastor Raymundus mengatakan, misi adalah cara berada setiap umat beriman. “Nama kita adalah misi kita. Saya orang Kristiani, pembawa Kristus, saya Katolik, saya orang umum, saya adalah saudara universal. Saya adalah misi di atas bumi ini.”

Dalam pesan untuk Minggu Misi Sedunia pada Oktober tahun ini, Paus Fransiskus menyatakan hal yang sama, setiap orang yang dibaptis, laki-laki, perempuan dipanggil untuk mewartakan kabar Gembira. “Ini ditekankan sekali oleh Paus Fransiskus,” ujar Pastor Raymundus.

Gereja Lokal
Dalam Maximum Illud, ada relasi baru antara Gereja dengan negara, sebelum Konsili Vatikan II. Setiap misionaris pada waktu itu pergi bersama dengan ekspansi negara-negara Barat. Dalam banyak hal, misionaris mempunyai sentimen-sentimen nasionalisme bagi negaranya masing-masing. Ini juga berdampak pada daerah-daerah misi yang kerap terdapat semacam friksi-friksi. Contohnya, friksi yang terjadi antara misionaris dari Inggris dan Prancis. Beberapa kongregasi juga bersaing sejalan dengan rivalitas antara kedua neagra asal kongregasi itu.

Paus melalui Maximum Illud mengajak, agar sentimen nasionalisme dan friksi-friksi itu harus ditinggalkan. Misionaris hendaknya tidak membawa-bawa negeri asal. Meraka harus lebih mengutamakan masyarakat lokal dan pendidikan klerus lokal. “Paus mengajak kita kembali kepada mandat Kristus, bukan menjadi misionaris dari negara atau kongregasi tertentu,” ujar Pastor Raymundus.

Misionaris duta Kristus, yang membawa mandat darinya. Pastor Raymundus mengatakan, misionaris mau menegakkan Kerajaan Allah dan juga keselamatan jiwa-jiwa. Dua hal ini merupakan gagasan mendasar dan menjadi tujuan misi pada waktu itu.

Dalam Maximum Illud, Paus Benediktus XV mengatakan, “Misionaris yang sejati itu selalu sadar bahwa dia bukan bekerja sebagai agen dari negerinya, melainkan duta Kristus. Bagi setiap orang yang melihat cara hidupnya haruslah tampak jelas bahwa dia membawa iman, yang tidak asing bagi bangsa manapun di muka bumi, karena iman ini merangkul semua orang yang menyembah Allah dalam roh dan kebenaran.”

Maximum Illud juga menuntut tanggung jawab para pimpinan Gereja memajukan panggilan imam-imam lokal, pendirian seminari-seminari agar Gereja tidak lagi berwajah asing. Demikian juga pendirian pusat-pusat misi, kerja sama lintas kongregasi, serta menumbuhkan misionaris baik laki-laki maupun perempuan. Para misionaris ini sebagai duta-duta Kristus memiliki spiritualitas ugahari, pengorbanan diri, dan sederhana dengan kompetensi lintasbudaya. Cara hidup para misionaris juga harus menjadi khotbah yang menarik mengenai iman Kristiani yang diwartakan.

Bagaimana Kini
Pada akhirnya misi bermuara pada tujuan rohani yang berhubungan erat dengan panggilan kepada kekudusan. Ini juga menjadi agenda penting bagi Gereja Indonesia. Untuk mendukung karya misi ini, semua orang Katolik dianjurkan berpartisipasi baik melalui doa, promosi panggilan, maupun bantuan finansial.

Pastor Raymundus mengatakan, lewat surat apostolik ini, Paus telah berhasil membangkitkan kembali kesadaran seluruh Gereja akan jati dirinya sebagai umat beriman yang dikumpulkan untuk diutus. Daerah misi yang dimandatkan adalah seluruh dunia dan segala makhluk serta melingkupi segala zaman.

Tugas saat ini adalah bagaimana membuat Maximum Illud dari 100 tahun yang lalu tetap relevan dengan masa saat ini. Pertanyaan yang perlu dijawab, bagaimana model pewartaan yang paling menyapa bagi orang-orang pada zaman ini? Sejauh manakah pusat-pusat misi tradisional, paroki, sekolah, rumah sakit, lembaga sosial karitatif, masih efektif sebagai media misi dalam era dunia yang hyperconnected dan mobile dewasa ini? “Kelihatannya sudah banyak dibuat, tetapi terobosan juga diperlukan pada era baru, dengan orang-orang yang juga baru,” imbuh Pastor Raymundus.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.33 2019, 18 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini