Bermisi ala Gereja Lokal

289
Sr Stanisla FSGM (paling kanan) saat mendampingi anak-anak Sekami di salah satu paroki di Keuskupan Agats-Asmat.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Gereja sedang mengubah pola bermisi agar tidak hanya karitatif tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal. Anak muda juga dipersiapkan, jangan hanya menjadi penonton.

Foto seorang petani asal Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat seketika menyita perhatian Kongres Misi 2019 yang dilangsungkan di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, 2/8. Di dalam foto itu, sang petani itu terlihat dengan mimik wajah memelas. Ia memperlihatkan kedua tangan dengan kuku-kuku yang membusuk. Sontak, penampilannya itu menarik perhatian ratusan peserta.

Foto berikutnya menggambarkan limbah pabrik yang menjadi penyebab pencemaran Sungai Cikijing di Rancaekek. Sungai itu bahkan masuk dalam kategori sungai yang tercemar berat. Margaretha Quina lah orang yang sengaja menampilkan kedua foto itu.

Kaitannya bisa ditebak, kedua tangan petani itu membusuk karena terus menerus bersentuhan dengan air di Sungai Cikijing. Dari situ semua yang menghadiri kongres dapat menyimpulkan, bahwa misi di zaman ini, tak hanya sebatas “pewartaan”. Permasalahan yang terjadi di Sungai Cikijing itu pun menjadi salah satu tugas misi di zaman ini.

Misi Ekologis
Margaretha menjadi salah satu panelis dalam Kongres Misi 2019. Ia menampilkan ketidakadilan ekologis peserta kongres. Ia berkeyakinan, hal itu dapat mengubah perilaku konsumsinya dan bekerja demi lingkungan di level akar rumput. Ia adalah satu dari sekian anak muda yang tengah menjalankan misi di tengah berbagai bentuk ketidakberesan sosial.

Dalam Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus menekankan pentingnya merawat lingkungan demi rumah bersama. Paus menunjukkan keprihatinan terhadap lingkungan hidup, kemiskinan, dan radikalisme agama sebagai fokus misi.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Francisia Saveria Sika Seda mengamini apa yang tertulis dalam ensiklik paling terkenal itu. Ia melihat, dalam konteks Gereja Indonesia berbagai tantangan yang dihadapi adalah radikalisme agama, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan hidup.

Sebagai negara dengan penduduk Islam terbanyak, tantangan untuk menjalin relasi bersama umat Muslim akan terus menghadapi tantangan. Utusan Keuskupan Padang dalam Kongres Misi, Pastor Benediktus Manulang menceritakan, misi di keuskupannya berjalan di daerah mayoritas Muslim. “Baik Minang maupun Melayu, keislamannya kuat sehingga tidak serba mudah kita bermisi di daerah ini. Kecuali Mentawai memang mayoritas Kristiani,” ungkap Pastor Benediktus.

Menurut penelitian Maarif Institute pada Januari 2018 lalu, Padang memang menjadi salah satu dari tiga kota yang paling mudah terhasut ideologi radikal. Ajaran radikalisme ini punya celah untuk menyusup ke sekolah-sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler kerohanian Islam atau Rohis. Sejumlah aktivis Rohis di sekolah menerima pengaruh dari tokoh-tokoh yang dekat dengan gerakan solidaritas di Timur Tengah.

Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Padang sejak 2011 telah menggelar forum lintas agama yang secara khusus ditujukan bagi anak muda. Dalam program ini, Keuskupan Padang menggandeng Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat. Salah seorang pemuda Islam yang pernah menjadi peserta mengungkapkan program seperti ini dapat mengikis fanatisme agama dan program seperti ini tidak ia dapatkan di sekolah.

Anak muda menjadi salah satu target dalam misi Gereja Keuskupan Padang. Pastor Benediktus mengatakan, sebelum menghadiri Kongres Misi, timnya telah merencanakan beberapa kegiatan untuk Bulan Misi Luar Biasa pada Oktober mendatang. Lomba-lomba, seperti bertutur Kitab Suci dan Mazmur, juga Rosario Misi, dimaksudkan agar anak-anak dan remaja semakin menaruh minat pada Kitab Suci dan kehidupan menggereja.

Remaja Aset Misi
Setiap orang yang dibaptis, ia harus siap untuk diutus. Sehingga, saat Suster M. Stanisla FSGM diutus kongregasinya untuk bertugas di Keuskupan Agats, Papua, ia pun harus berangkat. Di tempat karyanya yang baru, Sr Stanisla mennjadi pendamping anak-anak Serikat Kepausan Misioner (Sekami).

Sr Stanisla meyakini, kesediaannya ke papua semata mengikuti tuntunan Roh Kudus. Kondisi alam papua yang dikenal memiliki medan berat menjadi bayangan awal biarawati kelahiran Srimulyo, Lampung ini. Apalagi, ia akan ditempatkan di Keuskupan Agats di mana mayoritas umatnya bertempat tinggal di atas air. Kini, sudah hampir tiga tahun sepuluh bulan Sr Stanisla tinggal bersama umat Agats-Asmat.

Melalui hasil observasinya di lapangan melayani anak-anak, Sr Stanisla melihat, tahap perkembangan iman mereka masih dalam kategori bertumbuh, bahkan diandaikan sebagai biji yang baru saja mengeluarkan tunas, namun belum berakar kuat. Dengan sabar Sr Stanisla bersama pendamping Sekami, mengajarkan membuat tanda salib yang benar, doa pokok seperti Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan, Aku Percaya, dan Doa Tobat.

Mengajari anak-anak ini tidak hanya sekali atau dua kali tetapi berulang kali, khususnya anak-anak yang tinggal di pedalaman jauh dari pusat kota. Terkadang rasa gemas menghampiri, tetapi melihat senyum lugu dan tulus mereka yang sungguh bersemangat untuk belajar semakin meluluhkan hati pendamping mana pun yang melihat. Anak-anak yang dibina menjadi tantangan sekaligus kekuatan untuk terus memelihara kobaran semangat bermisi. “Memang mereka masih sangat butuh pendampingan yang terus menerus,” ujar Sr Stanisla lirih.

Bagi suster kelahiran 20 Desember 1978 ini, persoalan sebenarnya terletak pada tenaga pendamping yang belum cukup memadai. Tenaga yang membantu Sekami datang silih berganti, jarang yang menetap. Belum lagi, ungkap Sr Stanisla, fasilitas untuk mendukung kegiatan mengajar Sekami masih sangat minim.

Usai mengikuti Kongres Misi Luar Biasa di Jakarta, Suster Stanisla bersama Tim KKI/KKM Keuskupan Agats memiliki harapan agar rekan pendamping Sekami semakin memiliki komitmen kuat untuk mendampingi dan memajukan anak-anak Asmat. Ia meyakini, melalui pendidikan iman, hal ini akan semakin memuliakan martabat mereka, sehingga anak-anak Asmat tidak miskin mimpi dan cita-cita.

Sr Stanisla berharap, orangtua siap mendukung dan mengarahkan anak-anaknya agar semakin rajin mengikuti kegiatan Sekami. Harapan lebih ia sampaikan bagi anak-anak suku asli Asmat, agar rajin datang bergabung dengan Sekami dan tidak minder.

Di Jakarta, KKI/KKM Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) juga melihat bahwa misi utama mereka terletak pada pembinaan remaja. Anggota KKI/KKM KAJ, Petrus Agustinus Febri dan Yohana Koten sepakat bahwa remaja KAJ memiliki pola pikir kritis, namun cuek soal iman. Secara khusus Yohana melihat remaja KAJ yang datang dari sekolah umum di mana dahulu mengenyam ilmu di sekolah Katolik tidak siap dengan tindakan intoleransi.

Anak-anak cenderung minder menunjukkan identitas mereka sebagai seorang Katolik seperti membuat tanda salib saat makan. Tidak hanya itu, mereka juga kurang siap ketika dihadapkan dengan pertanyaan iman seperti, “mengapa Katolik menyembah Bunda Maria?”, “mengapa Yesus di salib”, “mengapa orang Katolik berdoa kepada patung?”. Untuk itu, keduanya merasa bertanggungjawab untuk mendampingi dan membina para remaja karena di usia 10-15 tahun itu, pola pikir dan fondasi iman mereka semakin terbentuk pada usia ini. Mereka juga bercita-cita agar remaja Sekami memiliki militansi kekatolikan yang teguh dan tangguh.

Selain tangguh dalam keimanan, KKI/KKM juga memiliki misi untuk membentuk remaja berkarakter yang siap berbaur dengan berbagai individu dari latar belakang yang berbeda. Hal ini ditekankan karena terlihat ketika Jambore Nasional (Jamnas) di Pontianak tahun lalu, Sekami KAJ tidak siap berbaur dengan perbedaan. Meskipun Jakarta dikenal sebagai kota yang berbaur dari segala suku dan agama di Indonesia.

Untuk itu, agar remaja KAJ tidak berkubang dalam zona nyaman, KKI/KAJ membuat program Kaderisasi Remaja Misioner. Wadah ini juga menjadi salah satu sarana memilih perwakilan Jamnas Sekami berikutnya. Dalam program ini, para remaja dikenalkan dengan moto Sekami Children helping Children di mana moto ini menjiwai semangat peduli dan beramal kepada mereka yang berkekurangan, terlupakan, dan tertindas.

Semangat Sekami, doa, kurban, derma, dan kesaksian juga ikut mewarnai program ini. Keduanya melihat hasil dari program ini membuat ke-20 anak yang terpilih dalam program ini untuk mengikuti Jamnas Sekami telah menjadi sosok aktif melayani bahkan menjadi pendamping Sekami bagi anak remaja lainnya.

Memberdayakan Manusia
Gereja memang sedang mengubah pola bermisi agar tidak hanya karitatif tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal agar mandiri. Salah satu misi pemberdayaan sumber daya manusia yang sukses di Indonesia bahkan Asia dan lahir dari gerakan Gereja Katolik adalah Credit Union Sauan Sibarrung (CUSS) di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Penasihat CUSS, Pastor Freddy Rante Taruk melihat, bahwa dunia menjadi lapangan pelayanan dan lahan subur pewartaan Kerajaan Allah (Sukacita Injil).

Menilik Evangelii Gaudium artikel 2 yang berbunyi, bahwa dunia diliputi konsumerisme sehingga melahirkan kecemasan dan tidak puas diri hingga hati yang tumpul, maka tak ada lagi ruang bagi sesama, khusunya si miskin papa. Akibatnya, suara Allah tak lagi didengar dan keinginan untuk berbuat baik menghilang. Pastor Freddy mendirikan CUSS bersama masyarakat Toraja dengan landasan peduli terhadap kesejahteraan masyarakat.

Sebuah gerakan yang lahir dari kepedulian dan solidaritas terhadap sesama akan menyuburkan lahan misi, bahkan misi sosial ekonomi sekalipun. Ia juga mengingatkan bahwa Paus mencintai setiap orang, baik kaya maupun miskin, tetapi ia wajib atas nama Kristus untuk mengingatkan semua orang bahwa yang kaya harus membantu, menghormati, dan memperkembangkan yang miskin. Kita harus kembali kepada ekonomi dan keuangan pada pendekatan etis yang berpihak pada umat manusia” (EG.58).

CUSS tumbuh subur karena lahir dari kepedulian terhadap masyarakat Toraja yang belum memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga cenderung terjerat rantai kemisikinan yang berulang. CUSS mengajarkan masyarakat Toraja untuk berani memiliki tata kelola finansial yang baik dengan memberikan pelatihan literasi finansial agar mengenal sistem menabung, mengolah, dan meminjam uang untuk berinvestasi. Selain itu, pelatihan CUSS lahir dari kebutuhan masyarakat Toraja sendiri seperti pelatihan berternak babi dan menenun kain.

Tak hanya kepala keluarga yang dibina, CUSS juga membina anak keluarga tersebut sehingga memiliki pola pikir matang dalam mengelola keuangan dan memanfaatkan penghasilan. Dua sukarelawan yang berkerja di CUSS menyebutkan bahwa mereka bersedia tidak dibayar karena mereka sadar manfaat CUSS akan berguna bagi masyarakat mereka.

Atas kiprahnya yang sukses melaksanakan misi pemberdayaan dengan tata kelola yang baik, CUSS kembali meraih penghargaan dari Badan Koordinasi Credit Union Kalimantan dalam 2 (dua) kategori berbeda, yakni Tata Kelola dan Pemberdayaan Kelompok Binaan. Penghargaan ini disampaikan langsung oleh Pengurus Puskopdit BKCU Kalimantan dalam acara Rapat Anggota Tahunan BKCU Kalimantan Tahun Buku 2018 di Hotel MG Setos Semarang Jawa Tengah, 3 Mei 2019 yang lalu.

Felicia Permata Hanggu/Hermina Wulohering

HIDUP NO.32 2019, 18 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini