Djoko Pekik-Ch. Tini Purwaningsih : Peristiwa Paling Menggembirakan

1745
Djoko Pekik dan Ch. Tini Purwaningsih.
[Dok. Keluarga Djoko Pekik]

HIDUPKATOLIK.com – Ia mempersunting sang kekasih ketika masih berstatus tahanan kota. Saking melarat, ia tak mampu menebus akta nikah. Beruntung ada imam yang membantunya.

Pelukis Djoko Pekik tak mampu mengambil akta nikah seharga Rp 15 ribu. Pekik juga tak mampu menahan tangis ketika didorong dari pintu bus oleh kondektur, lantaran tak mampu membayar ongkos angkutan umum itu. “Saya ini ijab (menikah) di gereja ketika belum bebas dari tahanan politik, jadi ndak punya biaya. Akte nikah yang harusnya kami tebus seharga Rp 15, sampai dua-tiga tahun belum bisa saya bayar. Akhirnya, sama romo yang ngijabkan, dibayari,” kenangnya di hadapan ratusan umat yang menghadiri Misa Syukur 50 Tahun Pernikahan Djoko Pekik dengan Ch. Tini Purwaningsih di plataran galeri sekaligus rumah tinggalnya di Desa Sembungan, Bangunjiwo Kasihan Bantul, DI Yogyakarta, Sabtu, 20/7.

Misa syukur petang itu dipimpin Pastor G. Budi Subanar SJ, didampingi Pastor GP Sindhunata SJ, Pastor V. Kirdjito, dan Pastor FX Baskara T. Wardaya SJ. Pada Misa itu Djoko dan Tini mengucap pembaruan janji nikah. Perayaan itu dihadiri anak, menantu, dan cucu. Tampak pula hadir para seniman dan kolektor dari berbagai kota, antara lain Oei Hon Djien dan Gregorius Djaduk Ferianto. Usai Misa digelar pentas musik.

Dijaga Petugas
Sejoli ini menikah di Gereja Hati Santa Perawan Maria tak Bercela Kumetiran Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang, 18 Juli 1969. Misa dipimpin oleh Pastor Dibyo Darmodjo. Sebelumnya, ketika mau menikah, Pekik ditantang oleh Pastor Dibyo. Kata sang imam, kalau kawin campur bisa, asal nanti mendidik anak-anaknya secara Katolik. Pekik pun terus terang mengakui, “Romo, saya tidak bisa mendidik secara Katolik. Mendidik secara Katolik tidak gampang. Kan, saya abangan,” ucapnya.

Sampai dua-tiga tahun setelah pernikahan, Pekik belum bisa membayar akta nikah. “Romo yang ngijabkan bilang, kalau saya ora ndedet (tidak punya uang) akan dibayari romo. Saya memang waktu itu kendel-kendelan (asal berani) nduwe bojo. Kere, melarat ya..harus dilakoni,” tekad kelahiran Gorbogan, Jawa Tengah, 1 Februari 1938.

Pekik mempersunting Tinuk, nama kecil Ch. Tini Purwaningsih, sewaktu pelukis tersebut masih dalam status tahanan kota. Ia menjadi tahanan politik karena keaktifannya di organisasi lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Saya ditahan di Benteng Vredeburg, depan Gedung Agung Yogyakarta sejak 8 Desember 1965”, katanya.

Ia menuturkan, pada 1966, Presiden Soekarno ke Magelang untuk mewisuda Akademi Militer Nasional. Saat itu Bung Karno memanggil Komandan Detasemen Polisi Militer Yogyakarta, Kolonel (CPM) Mus Subagyo, yang bertanggung jawab menangani tahanan G30S. “Kolonel Mus Subagyo diperintah Bung Karno supaya para seniman tahanan PKI yang ada di Yogya jangan ada yang dibunuh. Kalau ditahan supaya tetap di Yogya, karena kata Bung Karno melahirkan satu seniman itu lebih sulit daripada mencetak seratus insinyur,” kata Djoko Pekik menirukan pesan Bung Karno yang disampaikan Komandan CPM Yogya ke dirinya.

Ia bisa merasakan kepulangan Kolonel Mus Subagyo dari Magelang kala itu menjadikan gugup, setelah diperintah Bung Karno untuk mengistimewakan seniman tahanan PKI di Yogya. Sejak itu, setelah ditahan di Benteng Vredeburg selama tujuh tahun, penahanannya dipindahkan di rumah Kolonel Mus Subagyo di kawasan Kotabaru. “Di rumah tinggal Kotabaru, saya bersama perupa Lian Sahar yang sama-sama ditahan disuruh nglukis (melukis). Tapi, saya menolak melukis. Kegembiraan saya dikeluarkan (dipindahkan) penahanan ke rumah Pak Mus itu saya curahkan dengan membuat patung ‘Memanah Matahari’. Meski di rumah Pak Mus, siang-malam tetap dijaga empat petugas CPM bersenjata larang panjang,” tutur Pekik.

Digropyok
Kesempatan menjadi tahanan kota itu secara diam-diam dimanfaatkan Pekik muda untuk mendatangi kediaman pacarnya, Tini Purwaningsih di kawasan Wirobrajan. “Saya pacaran sama Tini sampai malam,” kenangnya indah.

Suatu malam, pada medio 1968-an, saat ngapel di rumah pacar, Pekik pernah didatangi Ketua RT Gampingan, yang datang bersama para pemuda bersarung dengan senjata pedang. “Saya digrudug, digropyok (digrebek). Mereka tanya, tahanan koq di sini. Saya ditangkap dan dibawa ke Kantor Polisi Wirobrajan,” tuturnya.

Ternyata, di Polsek, tidak tersedia ruang tahanan. Lalu dibawa ke Koramil, juga tidak dilengkapi tahanan. Maka, selanjutnya Pekik digelandang ke Polresta Ngupasan. Waktu itu sudah jam dua belas malam. “Saya dimasukkan ke tahanan kriminal Gedung Bunder Ngupasan. Campur dengan copet, maling, dan penjahat lainnya. Paginya diambil tentara dan diperiksa di Kantor Jalan Magelang. Lalu petugas CPM yang mencari-cari saya, menjemput untuk membawa ke Kotabaru. Saya dimarahi Pak Mus karena nyolong-nyolong pergi,” katanya.

Pada 1972, Pekik dibebaskan dari tahanan, tapi di tengah masyarakat kadung dicap PKI. “Bebas tahanan, saya di-black list. Selama 30 tahun saya di black list, dianggap sebagai gembong PKI, baru berakhir sejak pemerintahan Gus Dur,” ucapnya sedih.

Keluar tahanan, Pekik masih lontang-lantung. Hidupnya sulit dan serba kekurangan. Buka jahitan kecil-kecilan pun tidak laku karena zamannya susah. Pekik merasa sakit hati dengan kondektur bus jurusan Yogya-Semarang yang ditumpangi. Ia baru pulang dari RS.
Anaknya, Paulus Loko Nusa, yang belum genap setahun opname. “Ketika bus lewat depan rumah, saya minta turun. Tapi malah dijengkangke (didorong) dan jatuh karena ndak punya duit bayar ongkos naik bus,” kenangnya jengkel.

Sempat menjadi tukang jahit kecil-kecilan, Pekik nyambi nglukis. “Tapi nglukis kan butuh bahan, saya tidak punya cat minyak. Karena saya dekat dengan maestro lukis Affandi, saya minta sisa-sisa cat,” tuturnya.

Pada 1988, usaha jahitannya dirasakan lumayan untuk menghidupi anak-anak. “Saya saat itu juga jual lurik gendong, buat hem (baju) berbagai model. Usaha laku dan lumayan punya duit,” ucapnya mensyukuri.

Setahun berikut, ada kegiatan pameran lukisan dalam rangka pertukaran kebudayaan Indonesia-Amerika Serikat (KIAS). Lukisan-lukisan yang dipilih lima kurator Indonesia untuk dipamerkan di Amerika, ditolak panitia pameran karena lukisan Djoko Pekik dan Lian Sahar tidak diikutkan.

Diprotes Seniman
Lukisan Pekik kemudian disertakan setelah seorang kurator Amerika dilibatkan dalam memilih lukisan yang akan dipamerkan di museum besar Amerika. Tiga lukisan Pekik yang diikutkan dalam pameran KIAS itu, salah satunya berjudul Keretaku Tak Berhenti Lama. “Tahun 1989 saya diprotes para seniman Indonesia. Mereka tidak terima, eks tapol kok bisa pameran di luar negeri,” kenang Pekik, yang saat itu dibela Menlu RI Mochtar Kusumaatmadja.

Sejak itu namanya yang lama tenggelam karena dipenjara, kembali dikenal orang karena pemberitaan media. “Akhirnya lukisan saya diuber-uber para kolektor,” ucapnya senang. Satu lukisan Pekik berjudul Berburu Celeng laku Rp 1 miliar.

Pekik bersama istri, ibu mertua, serta adik ipar pernah ziarah ke Bethlehem, kungkum di Sungai Jordan, Kroasia, Vatikan dan Lourdes pada akhir 2004. Ia juga ikut memanggul salib di Via Dolorosa, njagong di Kana, sekaligus pembaruan janji nikah di sana, menikmati air yang telah berubah menjadi anggur. “Saat di Vatikan, kebetulan saat itu pas ada Misa oleh Paus Yohanes Paulus II,” kenangnya.

Pasangan Djoko Pekik-Tini Purwaningsih dikaruniai delapan anak dan 18 cucu. Mereka bersyukur karena bisa mengalami perayaan emas perkawinan. “Saya tidak ada banyangan bisa hidup seperti ini. Perayaan 50 tahun pernikahan ini sebagai peristiwa yang paling menggembirakan. Saya sangat gembira sampai sekarang,” sebut seniman
berkumis dan berjenggot putih itu.

H. Bambang S

HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini