Kebijakan Zonasi

130

HIDUPKATOLIK.com – Kebijakan zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) menjadi polemik. Menurut Fidelis Waruwu (HIDUP, No. 27/2019), zonasi dapat dilaksanakan dengan mengandaikan mutu sekolah sudah merata. Sedang menurut Doni Koesoema, (HIDUP, No 28, 2019) kebijakan zonasi dapat memberikan pemerataan dan mengatasi favoritisme sekolah yang melahirkan diskriminasi bagi masya rakat miskin.

Menurut Doni, sekolah Katolik tidak perlu enggan mendukung program pemerintah yang sangat Katolik karena kebijakan zonasi ingin memperjuangkan keadilan dan pembelaan pada anak-anak dari keluarga miskin. Pandangan ini terlalu berlebihan, terkesan tergesa-gesa, menyederhanakan masalah persoalan mengenai impelementasi pemenuhan hak yang sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (UU No 20/2003 Psl. 5, tentang Sisdiknas). Kebijakan zonasi dan pendidikan gratis pun di sekolah negeri yang membuat sekolah negeri menjadi incaran masyarakat justru membuat masyarakat miskin dan lemah tetap tersisih untuk mendapatkan akses pendidikan gratis dan berkualitas.

Kebijakan zonasi belum mampu mengatasi persoalan adanya disparitas antara anak-anak miskin dan mampu secara ekonomi sebagaimana pandangan Sdr. Doni. Bila kita mengamati atau meneliti siswa-siswi yang masuk di sekolah negeri mayoritas adalah anak-anak yang mampu secara ekonomi. Karena kebijakan zonasi belum memberikan kuota khusus bagi anak-anak yang kurang mampu (miskin) untuk masuk di sekolah negeri sehingga mayoritas anak-anak miskin justru bersekolah di sekolah swasta yang murah dan kurang berkuaitas. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan baru dalam masyarakat, karena anak-anak kurang mampu tetap sulit mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Kebijakan zonasi bagi sekolah swasta (Katolik) sesungguhnya menjadi alarm untuk terus berbenah diri, agar dapat menjadi sekolah pilihan utama bagi masyarakat. Harapan Sdr. Doni agar sekolah Katolik harusnya murah hati pada anak-anak dari keluarga miskin sudah lama dilakukan oleh sekolah-sekolah Katolik. Dalam kondisi mayoritas sekolah Katolik akhir-akhir ini akan semakin sulit melakukan opsi tersebut karena positioning rata-rata sekolah Katolik semakin mengalami kesulitan untuk mempertahankan eksistensinya agar bisa bersaing menjadi pilihan utama bagi masyarakat.

Bila Sdr. Doni menganggp salah satu tujuan kebijakan zonasi adalah keberpihkan kepada siswa yang miskin, seharusnya pemerintah yang harus didorong agar memberikan kuota khusus bagi masyarakat miskin untuk masuk di sekolah negeri melalui kebijakan zonasi, bukan melimpahkan beban tersebut kepada sekolah swasta (Katolik) yang posisinya semakin sulit karena kebijakan pemerintah yang tak jarang kurang adil bagi sekolah swasta. Hal ini sesuai dengan UU Sisiknas No. 20 Tahun 2003, Psl. 12, bahwa anak berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Biaya yang diberikan oleh pemerintah melalui BOS untuk anak-anak miskin yang sekolah di swasta (sekolah negeri 2018/2019 di DKI Jakarta 1.965 dan Swasta 2.262) pun belum cukup memenuhi kebutuhan siswa untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Sudah waktunya sistem pendidikan kita dibangun benar-benar atas dasar kesetaraan. Bukan memberi subsidi pada mereka yang mampu, apalagi pendidikan gratis bagi yang mampu ekonominya di sekolah negeri. Pendidikan gratis harus diberikan kepada yang membutuhkan, bila pemerintah belum mampu menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua (swasta dan negeri). Kebijakan zonasi perlu diperbaiki agar benar-benar berpihak kepada kaum lemah dan miskin dengan menyediakan kuota bangku khusus bagi anak-anak miskin pada zona masing-masing.

Dr. Salman Habeahan

HIDUP NO.31 2019, 4 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini