Jalan Panjang Mencari Keadilan

3248

Menghadap ke MPK
Akhir Juli 2018, Sisca melalui wadah Forum Peduli Sekolah St Lukas Pademangan bertemu dengan Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo untuk membahas permasalahan yang terjadi di Sekolah Santo Lukas. Bapa Uskup menyarankan untuk menghadap ke MPK KAJ, agar yayasan dapat dipertemukan dengan para guru.

Anggota Forum Peduli Sekolah St. Lukas Pademangan pun sempat bertemu dengan dewan pembina yayasan, Pastor Yoseph Waryadi SVD dan Joko Mulyadi, pada 20 September 2018. Dewan pembina menjanjikan akan membantu menyelesaikan masalah yang terjadi.

Seminggu setelah pertemuan itu, Sisca menerima undangan bipartit dari yayasan. Dalam surat itu, ia dikatakan melanggar PUK pasal 58 ayat 4 huruf j dan k yaitu melakukan penyerangan, penganiayaan, ancaman, serta penghasutan. Keesokan harinya, ia bertemu dengan kepala biro personalia yayasan. Siang itu, ia diberitahu secara lisan bahwa yayasan telah memutuskan hubungan kerja dengannya. SK PHK dikeluarkan pada 1 Oktober. Sisca menolak menandatangani risalah perundingan bipartit, sebagai bentuk penolakan pada keputusan tersebut. Alasan PHK dinilainya tidak jelas.

Konflik antara Sisca dan yayasan pun berlanjut ke Sudin Tenakertrans Kota Madya Jakarta Utara. Selama bulan November terdapat tiga kali mediasi tripartit yang dilakukan di Sudin ini. Dalam proses mediasi baik bipartit maupun tripartit, pihak yayasan diwakili oleh Doddy. Sayangnya, pertemuan-pertemuan ini tidak berujung pada perolehan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Sebelumnya, pada Agustus 2018, dalam sebuah pertemuan di Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dikatakan pihak yayasan telah menyatakan berkomitmen membayar tunjangan profesi Sisca selama dimutasi di SMA. Januari 2019, Sisca bersurat kepada yayasan menanyakan komitmen tersebut ketika tunjangan sertifikasi rekan-rekannya telah cair. Yayasan menjawab surat itu dengan menyatakan karena Sisca sudah di-PHK, kewajiban yayasan sudah selesai.

Meja Hijau
Awal Februari, yayasan membawa konflik ini ke meja hijau. Yayasan menggugat PHK Sisca karena melanggar PUK pasal 58 ayat 4 huruf c dan e; yaitu melakukan usaha dalam bidang politik/ideologi yang mengganggu suasana dan ketenangan kerja, serta melakukan usaha/tindakan yang merugikan yayasan baik citra, moral, maupun materiil.

Sisca dituduh melakukan pelanggaran. Bentuk konkret pelanggaran ini antara lain berupa provokasi. Doddy mengatakan, provokasi ini adalah terkait kebijakan pengunduran yayasan dari Yadapen. Sisca dikatakan mencoba mengumpulkan aspirasi. “Mengumpulkan aspirasi tidak salah, penyampaiannya juga tidak salah. Tapi cara menyampaikannya, protesnya terhadap kebijakan itu kemudian mengganggu suasana kerja keseluruhan,” kata Doddy.

Menurut Doddy, guru dan karyawan disibukkan dengan protes ini dan bukan lagi dengan pekerjaan yang seharusnya dilakukan. Pelanggaran ini dibuktikan dengan adanya saksi dan surat yang menyatakan protes terhadap kebijakan itu dan mengumpulkan beberapa tanda tangan pekerja.

Doddy mengatakan empat dari sekitar 15-20 pekerja yang awalnya ikut memprotes belakangan mencabut tanda tangan mereka. “Artinya bagi kami, itu bukan inisiatif dari pekerja-pekerja ini. Atas dasar itulah kemudian dilakukan PHK,” ujarnya. Surat-surat yang dikirim ke yayasan, ke keuskupan, dan beberapa instansi lainnya, kata Doddy, itulah yang merugikan yayasan. Menurutnya, soal aspirasi bisa dilakukan dengan datang baik-baik ke yayasan.

Konflik Santo Lukas Pademangan telah melewati mediasi demi mediasi namun tak menuai hasil. Sidang pengadilan bahkan telah mengeluarkan putusan-putusannya. Di pengadilan, kuasa hukum yayasan bukan lagi Doddy melainkan B. Woeryono, yang juga adalah konsultan hukum MPK.

MPK KAJ adalah organisasi nirlaba yang beranggotakan lembaga pendidikan Katolik (LPK) di wilayah KAJ. Supardi, salah seorang pengurus, mengatakan, fungsi MPK adalah memfasilitasi, mengkoordinasikan, dan memediasi LPK. Meski demikian saat ditanyai upaya mediasi yang dilakukan untuk konflik Santo Lukas Pademangan, ia menolak memberi komentar. Ia mengatakan, dibatasi karena tidak dalam kapasitasnya untuk berkomentar.

Ketua MPK, Pastor Yohanes Heru Hendarto SJ, mengatakan pihaknya telah melakukan upaya mediasi. Namun ia menegaskan, MPK tidak bisa berbuat apaapa jika konflik dalam LPK telah di bawah ke ranah hukum.

Sejak awal, ia mengatakan, pihaknya selalu menginginkan win win solution. Namun, mediasi-mediasi yang dilakukan, salah satunya oleh Supardi dkk, nyatanya tak membuahkan hasil. Pastor Heru mengatakan, MPK hanya bisa sampai pada rekomendasi dan tidak bisa memutuskan. “MPK adalah badan Gerejani, bukan badan hukum. MPK berada di posisi yang sulit,” kata Pastor Heru, Selasa, 23/7.

Pastor Heru juga menanggapi, sebagai konsultan hukum MPK, B. Woeryono tidak dibayar, dan adalah kebebasannya untuk membela siapapun. Hal senada juga disampaikan oleh Doddy. “Kuasa hukum yang kami dapat dari yayasan adalah untuk penyelesaian secara hukum positif,” katanya. Ia menambahkan, posisi B. Woeryono, adalah kuasa hukum secara profesional dan bukan merupakan mediator sehingga tidak perlu dikaitkan dengan MPK. Meski demikian, dalam mediasi yang dilakukan oleh MPK pada 14 Mei 2018, B. Woeryono juga tampak hadir.

Hermina Wulohering/Yanuari Marwanto

HIDUP NO.31 2019, 4 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini