Jalan Panjang Mencari Keadilan

3248

Panggilan untuk Yayasan
Laporan Sisca ke Disnaker berbuntut surat panggilan untuk dirinya dan pihak yayasan. “Tahu bahwa saya melapor ke Disnaker, Pak Ketua marah,” ungkap Sisca. Para guru dan karyawan dikumpulkan jelang akhir Februari 2018. Dalam pertemuan itu dibicarakan mengenai THR, Dana Pensiun Lembaga Katolik Yayasan Dana Pensiun (Yadapen), dan mutasi.

Pada November tahun sebelumnya, yayasan menyatakan mundur dari Yadapen dan mengikuti BPJS Ketenagakerjaan sesuai ketentuan pemerintah. Dalam pertemuan itu, ketua yayasan menyampaikan bahwa keputusan ini diambil karena Yadapen bangkrut dan manajemennya amburadul. Menurut Tarmijan, keluarnya yayasan dari Yadapen adalah karena yayasan juga harus mengikutkan karyawannya dalam BPJS Ketenagakerjaan. “Jadi kan dobel, yayasan berat. Selain itu, Yadapen kalau kekurangan dana, dia minta (uang) lagi ke yayasan ini, per bulan itu bisa sampai 20 juta,” ungkap Tarmijan. Keputusan untuk keluar dari Yadapen tidak disambut baik oleh sebagian guru dan pensiunan guru Yayasan Pendidikan Umum Santo Lukas, termasuk Sisca. Imbas dari keluarnya yayasan dari Yadapen adalah mereka yang asetnya di atas Rp 200 juta, akan dipindahkan ke Asuransi Jiwasraya. Sementara untuk aset di bawah Rp 200 juta, akan diberikan sekaligus.

Hal ini tidak diterima terutama oleh para pensiunan. Frans Teluma, pensiunan guru SD St Lukas adalah salah satu yang asetnya di bawah Rp 200 juta. “Saya termasuk yang paling getol untuk mempertahankan agar tabungan kami di Yadapen tidak diberikan sekaligus,” ujarnya.

Jika menerima seluruh aset tabungan di Yadapen, dikhawatirkan mereka tak bisa mengelola uang tersebut. Lebih baik seperti yang selama ini terjadi, menerima sedikit-sedikit setiap bulannya. Frans mengatakan, ia kemudian berinisiatif mengumpulkan teman-temannya, guru, dan karyawan, untuk membuat petisi menolak kebijakan yayasan keluar dari Yadapen. Aksi protes ini berlangsung sejak pertengahan Desember 2017.

Sementara itu, Sisca menemukan kejanggalan dalam perhitungan asetnya di Yadapen. Bila dibandingkan dengan rekan guru lainnya terdapat kesenjangan yang cukup jauh. Masa kepesertaan Sisca di Yadapen saat itu telah mencapai 31 tahun, sementara rekan guru tersebut 30 tahun. Sebagai sesama karyawan perempuan, iuran keduanya sama-sama dihitung bujang, tanpa tunjangan anak dan suami.

Berdasarkan golongan, gaji pokok keduanya tak jauh berbeda. Namun, ketika aset dikembalikan, rekannya memperoleh Rp 153 juta, sementara Sisca hanya mendapatkan Rp 76 juta. Karena sistem Yadapen adalah dana pensiun lembaga kerja, maka Yadapen hanya bisa melakukan pelaporan ke lembaga, bukan ke perorangan.

Sisca pun menanyakan kepada Alex Ladjar, mengapa ada perbedaan jauh pada aset dia dan rekannya. Ia direkomendasikan untuk menanyakan pada yayasan, laporan pembayaran dari awal kepada pihak Yadapen. Dari laporan itu bisa ditelusuri perhitungan jumlah asetnya. Namun, yayasan menolak memberikan laporan tersebut. Tak yakin Yadapen sedang terguncang, Sisca pun bertolak ke Semarang pada Juni 2018. Ia menemui Direktur Yadapen, Pastor Agustinus Sarwanto SJ. Rupanya, apa yang disampaikan kepada para guru tentang Yadapen, ditepis oleh Pastor Sarwanto.

Mengalah
Masih dalam pertemuan dengan guru dan karyawan yang disebutkan sebelumnya, Sisca diminta mencabut laporannya ke Disnakertrans. “Saya juga diancam, kalau tidak mencabut laporan, gaji ke-13 tidak turun,” bebernya.

Bagi Sisca, bila itu menyangkut dirinya sendiri, ia akan terus mempertahankan. Namun, gaji ke-13 ini jelas menyangkut teman-temannya. “Kalau mereka tidak dapat (gaji ke-13) hanya karena ngototnya saya, saya berdosa sekali,” katanya.

Gaji ke-13 dan THR adalah dua cost yang berbeda, menurut Sisca. Ia mengatakan gaji ke-13 ini didapat dari uang daftar ulang sebesar uang sekolah yang sifatnya wajib untuk semua murid. Sisca pun akhirnya datang ke Disnaker. Namun ketua yayasan tidak datang seperti yang telah ia janjikan dalam pertemuan.

Dua bulan setelah pertemuan itu, yayasan memutasi Sisca ke unit SMA, setelah sebelumnya memberhentikannya dari jabatan sebagai wakil kepala sekolah. Mutasi dilakukan dengan alasan ijazahnya tidak linear, sehingga tidak bisa mengajar di SD dan harusnya ditempatkan sebagai guru bimbingan konseling (BK).

Saat melamar menjadi guru di almamaternya tersebut, Sisca menggunakan ijazah SPG. Ia kemudian mengambil S1 di FKIP Atma Jaya, Jakarta. Dalam PUK, dinyatakan kualifikasi untuk guru SD adalah S1 FKIP. Tidak ada pengurus yayasan yang bersedia diwawancarai. HIDUP diarahkan untuk menghubungi kuasa hukum saat mendatangi kantor yayasan, Selasa, 16/7.

Kuasa hukum yayasan, J. Doddy Priambodo, mengatakan, kebijakan yayasan melakukan mutasi pada Sisca adalah sesuai aturan pemerintah yang dikeluarkan tahun 2000-an. “Sehingga dengan konteks menyelaraskan itu dengan peraturan yang dibuat pemerintah, yayasan melihat lagi, mengevaluasi lagi gurunya, menyesuaikan ijazah dengan riil tempat dia bekerja,” kata Doddy saat dijumpai Kamis, 25/7, di kantornya di Cikarang, Bekasi.

Doddy mengatakan Sisca tidak memenuhi satu dari tiga prasyarat yang mestinya linier untuk bisa mengajar di SD. “Tiga hal itu ijazah, sertifikasi yang PGSD, dan satu lagi ada semacam surat yang dikeluarkan pemerintah. Dari tiga hal ini, kompetensi Sisca adalah guru BK di SMA bukan di SD,” tambahnya.

Sisca menolak untuk dimutasi, sebab ia mengatakan di dalam PUK dinyatakan kualifikasi untuk guru SD adalah S1 FKIP. Saat ia melamar di SD St Lukas, ia menggunakan ijazah SPG, kemudian melanjutkan S1-nya di Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Atma Jaya Jakarta tahun 1990.

Selain itu, Sisca juga mempertanyakan beberapa rekan lainnya yang ijazahnya tidak linier tetapi tidak dimutasi. “Kok mereka yang komputer, bahasa Inggris, ekonomi koperasi masih? Kenapa saya yang dimutasi dengan alasan tidak linier?” ujarnya. Dengan dimutasinya Sisca ke SMA, maka tunjangan sertifikasi dari pemerintah yang sebelumnya rutin ia terima, berhenti.

Tarmijan mengatakan, beberapa kali ia mencoba melakukan mediasi. Ia meminta ketua yayasan dan Sisca untuk bertemu empat mata agar tidak bermasalah terus. Namun, tak ada ada hasil. “(Sisca) tetap tidak mau. Yayasan juga kayaknya tetap tidak mau. Kalau mau bertemu empat mata (dengan yayasan) silakan buat surat pengajuan ingin bertemu. (Yayasan) maunya resmi. Tapi, dianya juga tidak mau,” tutur Tarmijan. Namun, menurut Sisca, ia sudah pernah minta bertemu dengan yayasan, baik melalui ponsel, surat, maupun secara lisan. Namun ditolak.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini