Maaf, Rekonsiliasi, dan Tobat

61
Aksi damai mahasiswa-mahasiswi asal Papua di Bali.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Menyelesaikan kasus Papua, tidak hanya lewat kata maaf. Setiap orang harus merasa terpanggil untuk mencintai sesama sebagai ciptaan Tuhan. Inilah tobat sejati.

Papua damai! Papua damai! Papua damai!. Seruan ini terus diteriakkan dalam ruang Mukhtamar Partai Kebangkitan Bangsa di Bali oleh beberapa utusan dari Papua,Selasa, 20/8. Hal ini membuat Presiden Joko Widodo yang membuka mukhtamar itu segera menghampiri dan menyalami mereka.

Seruan Papua damai, bukan sebuah slogan yang baru saja diucapkan pasca kasus diskriminasi yang dialami oleh beberapa mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang beberapa waktu lalu. Seruan damai ini selalu digalakkan pemerintah ketika terjadi kasus diskriminasi terhadap orang Papua sebelum-sebelumnya tetapi tidak ada titik terang.

Kasus ini bermula dari para mahasiswa dituduh merusak bendera Merah Putih yang dipasang di depan asrama. Ormas, juga TNI yang tak terima lantas mengepung tempat itu berjam-jam. Makian dan teriakan rasisme bertubi-tubi dialami mahasiswa itu. Empat mahasiswa terluka dan ditangkap, lantas dilepaskan karena tidak ada bukti kuat menuding mereka.

Atas peristiwa ini, seruan Papua damai terus digalakan lewat aksi-aksi demo di seantero Papua. Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, harusnya tidak saja sampai pada tahap rekonsiliasi tetapi harus sampai pada tahap pertobatan hati. “Permintaan maaf dan seruan damai untuk Papua saja tidak cukup. Kami sudah bosan dengan seruan damai itu. Semua orang harus belajar mempertobatkan diri sendiri dan melihat orang lain sebagai saudara,” cetus Lukas.

Jalur pertobatan ini kemudian ditanggapi Gereja-gereja di Papua sebagai jalan rekonsiliasi. Setiap orang harus keluar dan terbuka melihat sesama sebagai ciptaan Tuhan yang sama dan semartabat dengan dirinya. “Penghargaan terhadap martabat adalah kunci rekonsiliasi yang segera diselesaikan terkait kasus di Papua,” ungkap Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC.

Mgr Mandagi dengan lantang menyebutkan bahwa semua manusia bermartabat sama, “martabat mulia” yang harus dihargai, dihormati, dan dilindungi. “Semua orang harus berbicara dan melawan rasisme serta tindakan amoral sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Orang Papua itu bukan orang biadab, tetapi beradab. Mereka adalah bangsa bermartabat yang sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia,” tegas Mgr Mandagi.

Atas duka yang mendalam ini, banyak warga tergerak hati, melepaskan embel-embel agama dan bersatu mendoakan tanah Papua. Di Maumere, Provinsi Nusa Tenggara Timur kegiatan doa untuk Papua digelar beberapa paroki di pusat kota Maumere. Di Jakarta, masa yang tergabung dalam Pencinta NKRI dan Pancasila menggelar doa bersama untuk Papua di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta, Selasa, 20/8. Di Bali, mahasiswa Papua juga menggelar aksi damai dan menyeruhkan agar berhenti diskriminasi terhadap orang-orang Papua. Dan beberapa aksi solidaritas untuk tanah Papua yang digerakan di beberapa daerah lainnya.

Di Surabaya sendiri, rekonsiliasi ini pertama-tama mulai diawali dengan permintaan maaf pemerintah Kota Surabaya yaitu Walikota Surabaya Tri Rismahar ini. Risma meminta maaf bila dari pihaknya telah menodai rasa persatuan yang selama ini cukup kuat di Surabaya. “Kalau memang ada kesalahan kami di Surabaya, kami mohon maaf.”

Maaf berikut juga datang dari Gubernur Jawa Timur Khofifa Indar Parawansa. Ia lantas meminta maaf atas perilaku beberapa Ormas yang dengan gegabah melukai hati para mahasiswa di Papua. “Atas nama warga Jawa Timur, saya mohon maaf.

Permintaan maaf dua pemimpin di Jawa Timur ini membuat banyak orang mengapresiasi. Meski begitu, banyak pihak juga berharap agar tidak saja sampai pada permohonan maaf. Rekonsiliasi lewat jalur hukum menjadi ketaatan wajib bagi para pelaku rasisme.

“Papua adalah tanah rekonsiliasi. Semua orang perlu membuka hati menerima dan mencintai mereka sebagai saudara di Tanah Air. Papua adalah anugerah Tuhan yang luar biasa. Kita perlu belajar dari mereka, meski seringkali mengalami diskriminasi mereka tetap merasa sebagai satu saudara,” ungkap Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.35 2019, 1 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini