HIDUPKATOLIK.com – Beberapa waktu lalu, saya terkejut ketika saya mengikuti misa di sebuah tempat, imamnya tidak mengenakan jubah lengkap, hanya stola saja. Apakah hal ini tidak bertentangan dengan aturan dalam Gereja terkait dengan kesucian Perayaan Ekaristi?
Aniceta, Kudus, Jawa Tengah
Terima kasih sekali anda memperhatikan para imam, termasuk liturgi, bahkan pakaian liturgi itu sendiri. Penglihatan anda membuat perasaan selama Ekaristi menjadi tidak nyaman karena anda memperhatikan sesuatu yang kurang berkenan bagi anda. Baik. Saya akan menjawab pertanyaan anda dan memberikan penjelasan supaya mengenal lebih baik lagi mengenai busana Liturgi.
Namun sebelum hal itu, ada satu hal yang perlu diketahui bahwa Perayaan Ekaristi dalam Gereja itu diatur dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR). Pedoman inilah yang menjadi dasar semua imam atau para petugas liturgi untuk merayakan Ekaristi Ritus Roma yang dikehendaki Gereja, termasuk bagaimana pemakaian busana liturgi.
Busana liturgi mempunyai makna yang dalam dan bukan sekadar aksesoris. Pemakaian busana liturgi ini dalam Ekaristi berlaku bukan hanya bagi Sang Imam, tetapi semua yang terlibat dalam liturgi. Inilah mengapa dalam PUMR disampaikan secara khusus dalam nomor 335-347.
Penyampaian ini menunjukkan bahwa busana liturgi bukan sekedar pakaian biasa. “Busana liturgis hendaknya tampak indah dan anggun bukan karena banyak dan mewahnya hiasan, melainkan karena bahan dan bentuk potongannya. Hiasan pada busana liturgis yang berupa gambar atau lambang, hendaknya sesuai dengan liturgi. Yang kurang sesuai hendaknya dihindarkan” (PUMR no. 344).
Untuk itulah, Gereja menganggap busana liturgi ini busana suci (sacred vestments) karena berhubungan dengan segala yang suci, apalagi Perayaan Ekaristi. Maka, pemakaian busana liturgi dalam Ekaristi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolerir oleh siapa saja, termasuk uskup dan imam. Secara jelas PUMR memberikan pedoman tentang penggunaan busana liturgi dalam ekaristi.
Sekiranya ada tiga hal yang utama dan dapat kita jadikan pedoman bagi ukup, imam, seksi liturgi, dan petugas liturgi. Mereka perlu memperhatikan ini, sehingga tahu bagaimana semestinya penggunaan busana liturgi dalam Ekaristi.
Pertama, busana yang lazim dipakai oleh semua pelayan liturgi termasuk imam adalah “alba”: “Busana liturgis yang lazim dikenakan oleh semua pelayan liturgi, tertahbis maupun tidak tertahbis, ialah alba, yang dikencangi dengan singel, kecuali kalau bentuk alba itu memang tidak menuntut singel. Kalau alba tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka dikenakan amik sebelum alba. Kalau pelayan mengenakan kasula atau dalmatik, ia harus mengenakan alba, tidak boleh menggantikan alba tersebut dengan duperpli” (PUMR no. 336).
Kedua, penegasan tentang penggunaan stola bersama kasula maupun dalmatik: “Juga, sesuai dengan kaidah yang berlaku, tidak boleh pelayan hanya mengenakan stola tanpa kasula atau dalmatik” (PUMR no. 336). Ini pun dipertegas bahwa “kasula” dipakai jika merayaan Ekaristi (Bdk. PUMR no. 337).
Dua prinsip di atas secara jelas memberikan arahan, bahwa imam yang merayakan Ekaristi tidak bisa seenaknya dalam berbusana, karena bukan pesta biasa, bukan acara privat. Ekaristi adalah perayaan Gereja, sehingga imam menggenakan pakaian yang diminta oleh Gereja. Untuk itu, semua imam termasuk uskup sebagai selebran, menggunakan alba, stola, dan kasula.
Stola itu sebagai tanda otoritas Imamat Kristus berdasarkan tingkat tahbisan. Stola dalam Ekaristi tidak bisa tanpa kasula dalam Perayaan Ekaristi, terutama selebran seperti perayaan sakramen lain, yaitu Sakramen Tobat yang imam hanya menggunakan alba dan stola. Imam bisa menggunakan alba dan stola saja ketika dia menjadi konselebran (imam yang tidak menjadi pemimpin misa) bilamana ketidakcukupan jumlah kasula ketika ada Perayaan besar (Bdk. PUMR no. 209).
Pastor Yohanes Benny Suwito
HIDUP NO.30 2019, 28 Juli 2019
Apakah tulisan di atas menunjukkan bahwa tidakan imam tersebut salah ?