HIDUPKATOLIK.com – Tak ada penyebab tunggal ekstremisme. Melawan intoleransi butuh kerja sama semua elemen masyarakat.
Barisan perempuan berkelir hitam dengan rupa tertutup niqab kini tak jarang ditemukan di area perumahan. Model perumahan Islami membanjiri pasar properti. Para pengembang berlomba membuat hunian khusus warga Muslim. Fenomena ini terpotret mulai dari Depok, Bekasi, hingga Yogyakarta, atau kota besar lainnya. Walau ditengarai keberadaan perumahan syariah sudah lama, ada kekhawatiran gejala ini meningkat di tengah bangkitnya segregasi dan intoleransi.
Di Bantul, Yogyakarta, warga Kecamatan Pajangan menolak dipimpin Yulius Suharta, seorang Katolik. Penolakan terjadi setelah Yulius dilantik. Warga berdemo di kantor DPRD meminta ia diganti.
Hasil survey Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren terhadap 100 masjid di kementerian, lembaga negara, dan BUMN di Jakarta, Juli 2018, menunjukkan 41 masjid terpapar paham radikalis kategori rendah; tidak menyetujui intoleransi tapi memaklumi.
Setara Institute menyebut 10 perguruan tinggi negeri terpapar paham Islam radikalisme.
Pesta demokrasi memilih presiden dan anggota legislatif yang baru dilangsungkan April lalu pun tak lepas dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan momentum tersebut untuk mendesakkan ideologi dan gerakan radikalis yang bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan, sebagaimana tertuang dalam Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Jelang dan usai pemilu, polisi menangkap para terduga teroris yang merencanakan berbagai aksi saat tahapan dan proses pemilu sedang berlangsung. Paham dan gerakan radikalisme terus bergerilya mencari kesempatan beraksi.
Fenomena radikalisme kian serius. Eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa saat ini diadukan dengan ideologi lain yang diperjuangkan paham dan gerakan radikalis, seperti khilafah.
Gereja Katolik sebagai bagian dari bangsa Indonesia pun tak tinggal diam. Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun ini secara khusus mengangkat isu radikalisme dalam Rapat Pleno tiga tahunannya. Sekretaris Komisi Kerawam KWI, Pastor Paulus Christian Siswantoko mengatakan, menguatnya upaya yang merongrong dan memperlemah nilai-nilai keindonesiaan, seperti toleransi, politik identitas, dan radikalisme yang menyebar ke semua lini kehidupan menjadi perhatian khusus dalam sidang nasional yang diselenggarakan di Hotel Triniti, Jakarta Pusat, 20-23/8.
Mengambil Tindakan
Aktivis dan pengamat politik, Sebastian Salang, mengatakan bila Indonesia ingin selamat – Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika ingin dipertahankan – maka tidak ada pilihan lain. “Harus lawan dan hancurkan (radikalisme),” ujarnya dalam salah satu sesi, Kamis, 22/8. Di tengah perkembangan radikalisme, selain mengembangkan dialog lintas agama, suku, dan budaya, Sebastian Salang mendorong masyarakat yang tergabung dalam kelompok rasional, nasionalis, dan moderat agar tak boleh diam.
Bersuara melawan radikalisme pun tak cukup hanya dilakukan secara konvensional. Di era post-truth, ruang maya adalah medan melawan wacana radikal dengan wacana moderat. “Opini toleran, damai, inspiratif, dan membangkitkan harapan akan Indonesia di masa depan mesti dikembangkan,” katanya. Ia juga menekankan agar produksi konten melawan radikalisme juga menyesuaikan kebutuhan generasi milenial.
Sebelumnya, pleno hari pertama dibuka oleh desakan dari Deputi II Bidang Analisis dan Pengelolaan Program Prioritas Pembangunan Nasional Kepala Staf Kepresidenan di Kantor Staf Presiden, Yanuar Nugroho. Dengan tegas ia menyarankan tekanan publik atas radikalisme agar pemerintah melihat, ini sudah mulai memprihatinkan bagi negeri. Himpunan opini akan mengantarkan masyarakat juga pembuat kebijakan menempatkan isu radikalisme sebagai prioritas. Biasanya, Yanuar menambahkan, pemerintah hanya melihat 1-2 meter permasalahan di depannya. Namun, radikalisme yang menjalar sejak pemerintahan SBY ini sudah beberapa meter dari jangkauan pemerintah. “Maka sinergi ormas dibutuhkan tak hanya untuk diskusi, tetapi memunculkan suara penolakan radikalisme,” ujarnya.