Politik Identitas Menuju Politik Bermartabat

94
Direktur Charta Politika, Yunarto Wijaya (memegang mikrofon), membawakan materi.
[Komsos Paskalis & koben photography]

HIDUPKATOLIK.com – Pendidikan politik identitas menjadi penting agar menguatkan kesadaran masyarakat akan peran mereka dalam membangun persatuan antar umat beragama.

Jika jadi Islam, janganlah menjadi orang Arab. Jika menjadi Hindu, janganlah menjadi orang India. Jika menjadi Kristen janganlah menjadi orang Yahudi. Pernyataan ini disampaikan Isidorus Riza Primahendra Ketua Perkumpulan Amerta dalam Seminar Kebangsaan yang berlangsung di Aula Fransiskus, Gedung Karya Pastoral, Gereja Santo Paskalis Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Sabtu, 3/8.

Riza menampilkan dalam seminar ini perubahan pola pikir masyarakat Indonesia. Di banyak tempat yang keras terhadap agama tertentu perilaku dunia luar negeri menjadi semacam budaya dan gaya hidup. Orang Muslim yang dulu tak terlalu kaku terhadap agama dan terbuka pada toleransi, kini menjadi semakin konservatif dengan ajarannya. “Tetapi bukan cuma orang Muslim, ada juga orang Kristen, Hindu, dan Buddha. Dahulu tradisi-tradisi tertentu terjadi di India, tetapi kini menjadi gaya hidup beragama di Indonesia. Hal ini membawa orang jatuh pada kultusisme akan suatu budaya,” ungkapnya.

Seminar bertema Seratus Persen Katolik Pancasilais, Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat, dihadiri sedikitnya 140 peserta dari berbagai kalangan profesi yang menaruh perhatian serius pada isu-isu kebangsaan. Selain Riza, hadir juga beberapa pembicara lain seperti Yunarto Wijaya selaku Direktur Eksekutif Charta Politik Indonesia, Beka Ulung Hapsara Komisioner Komnas HAM, Savic Ali Direktur Islami, CO dan NU online, Muhammad Abdullah Darraz Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta Pastor Hieronimus Yoseph Dei Rupa, Dosen STF Driyakara, Jakarta.

Mengupas substansi kebangsaan, Winarto mengatakan saat ini Indonesia mengalami polarisasi dalam kehidupan sosial. Polarisasi disebabkan oleh banyak faktor khususnya politik indentitas. “Politik ini marak terjadi di wilayah perkotaan dan kelas menengah atas. Sementara masyarakat pedesaan, tidak tertarik dengan isu ini apalagi dipertentangkan. Maka perlu politik identitas sebagai langkah awal kembali ke ideologi Pancasila.

Winarto menunjukkan efek dari adanya polarisasi ini. Salah satu yang paling terasa adalah martabat manusia bisa diperjualbelikan demi kedudukan, harta, dan gengsi politik. Bahaya ini, kata Hapsara, membuat manusia hidup dalam “topeng” politik yang dirasa mampu menyelamatkan posisi manusia tetapi nyatanya tidak. “Maka hal utama selain politik identitas, bangsa kita perlu menyadari martabat sebagai pemberian dari Tuhan, bukan perjuangan manusia,” ujarnya.

Seminar ini dilaksanakan oleh Seksi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAAK) Paroki Paskalis Cempaka Putih, Jakarta Pusat bekerjasama dengan Seksi Kerasulan Kitab Suci dan Tim Penggerak Tahun Berhikmat 2019. Menurut Kepala Paroki Paskalis, Pastor Agung Suharyanto OFM, seminar kebangsaan ini juga mengungkit soal Ajaran Sosial Gereja dalam kerangka Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta.

Pastor Agung mengatakan kesadaran akan pentingnya peran umat Katolik sebagai warga negara. Partisipasi dalam Gereja tidak menjadi patokan seseorang disebut sebagai warga negara yang baik. Melihat begitu banyak situasi intoleransi, radikalisme, dan tindakan-tindakan polarisasi membuat masyarakat mulai hidup dalam kewaspadaan. “Karena itu pentingnya kesadaran akan jati diri kita sebagai warga negara yang ada di bangsa ini. Pendidikan politik identitas menjadi hal yang perlu dikembangkan,” pesannya.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini