St Mariam Thresia Chiramel Mankidiyan (1876 – 1926) : Santa Baru India “Bunda Teresa yang Lain”

497
St Mariam Thresia Chiramel Mankidiyan.
[chfsisters.com]

HIDUPKATOLIK.com – Ia sering disebut sebagai “Bunda Teresa yang Lain”. Selain mengalami beragam karunia rohani, ia mendedikasikan hidupnya bagi mereka yang lemah dan tersingkir.

Mathew D. Pellissery tergolek lemah di ranjang. Sejak lahir pada 1956, ia lumpuh. Beragam cara telah ditempuh untuk sembuh. Tapi, semua berbuah nihil. Sampai pada suatu ketika, saat ia berusia 14 tahun, Mathew menjalani puasa selama 33 hari dan memohon kesembuhan melalui perantaraan Mariam Thresia Chiramel Mankidiyan.

Tak disangka, pada 21 Agustus 1970, ketika akan terlelap, kaki kanannya bisa diluruskan. Dan setelah 39 hari berpuasa, giliran kaki kirinya bisa selonjoran. Semenjak itu, Mathew bisa berjalan normal. Ia pun bergegas ke dokter. Ternyata, tim medis sebanyak sembilan dokter dari India dan Italia tak mampu menjelaskan kesembuhan yang dialami Mathew.

Otoritas Gereja pun menyelidiki kesembuhan itu. Dan pada 27 Januari 2000 atau setelah 30 tahun, Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan menyatakan bahwa kesembuhan Mathew merupakan mukjizat melalui perantaraan Hamba Allah Mariam Thresia. Mukjizat itu menjadi jalur lapang bagi Hamba Allah Mariam Thresia menjadi seorang beata. Pada 9 April 2000, Paus Yohanes Paulus II memimpin perayaan beatifikasi Hamba Allah Mariam Thresia di Lapangan St Petrus Vatikan.

Mukjizat kesembuhan yang dialami Mathew bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Sejak jasad Sr Mariam Thresia masuk dalam liang lahat, banyak orang berujar, “Dia hidup sebagai orang suci. Kelak, dia akan menjadi orang suci.” Ribuan orang setiap tahun berziarah ke makamnya untuk berdoa dengan aneka permohonan. Sampai Juli 2002, sebanyak 7000 kasus “mukjizat” penyembuhan telah dilaporkan. Jumlah itu terus bertambah hingga kini.

Salah satunya dialami Sr Claudia dari Kongregasi Keluarga Kudus (Congregation of Holy Family/ CHF), lembaga religius yang didirikan Sr Mariam Thresia. Ia mengalami rematik jenis khusus hipertopik osteoarthropathy, yang mengakibatkan seluruh anggota badan menjadi kaku dan tak bisa bergerak. Tim dokter telah menyatakan bahwa ia tak bisa disembuhkan.

Saban malam, ia berdoa memohon kesembuhan melalui perantaraan doa Sr Mariam Thresia. Pada hari kesembilan novena, rasa sakit itu kian parah. Malam itu, Sr Claudia bermimpi bersua seorang perempuan yang menyerupai Sr Mariam Thresia. Perempuan itu berkata, “Saat ini, kamu akan sembuh. Sakit akan segera meninggalkanmu.”

Ucapan itu bukan hanya ada dalam bunga tidur. Sontak, Sr Claudia merasakan kelegaan. “Saya bangkit dan duduk di tempat tidur. Saya menyadari bahwa saya sudah sembuh total.” Kesembuhannya pun didukung dengan pernyataan dari para dokter yang menanganinya.

Hidup Rohani
Mariam Thresia lahir pada 26 April 1876 di Puthenchira, Distrik Trichur, Kerala, India. Ia anak ketiga dari Chiramel Mankidiyan Thoma dan Thanda. Thanda adalah istri kedua Thoma. Istri pertamanya, Mariamkutty, wafat saat melahirkan pada 1872. Thoma dan Thanda tinggal di sebuah gudang jerami kecil. Mereka memiliki dua anak laki-laki dan tiga perempuan.

Thresia dibaptis pada Rabu, 3 Mei 1876, tujuh hari setelah kelahirannya, di Gereja Santa Maria Puthenchira. Saat berusia lima tahun, Thresia mulai mengenyam pendidikan di sebuah sekolah sederhana di desanya. Thresia dikenal sebagai anak yang cerdas. Ia juga belajar agama di parokinya. Ia amat cepat menghapal doa-doa.

Suatu hari, ketika sedang asyik bermain dengan rekan-rekannya, tiba-tiba Thresia menghilang. Ia lari masuk ke gereja lalu berdoa. Kelak ia menulis, “Saya merasa bahwa bermain itu membuang waktu dan membuat Yesus bersedih.” Semenjak kanak-kanak, Thresia telah menunjukkan pribadi yang dekat dengan Allah, bahkan ia rela melepaskan semua kesenangannya demi berjumpa dengan Allah. Thresia kecil juga sudah mengakrabi cara hidup rohani.

Thresia kecil memiliki tiga sohib dekat; Mariam Karumalikkal, Kochumariam Koonan, dan Thresia Koonan. Kelak, tiga rekannya itu menjadi anggota pertama Kongregasi Keluarga Kudus.

Sejak berusia 12 tahun, Thresia telah menunjukkan panggilan hidup rohaninya. Bersama tiga sohibnya, ia mencari tempat-tempat tersembunyi untuk mendaraskan doa bersama. Atau suatu hari, mereka mengunjungi gereja, membersihkannya, lalu menghias altar gereja.

Kehidupan rohani Thresia tak berhenti di situ. Untuk mengejawantahkan cintanya kepada Allah, ia mengunjungi dan menghibur orang-orang sakit. Bahkan, ia rela merawat orang-orang kusta yang miskin dan terlantar, serta anak-anak yatim.

Kehidupan rohani Thresia berbuah manis. Ia menerima beragam karunia rohani. Seperti St Teresa dari Avila, dia sering mengalami ekstasi dan pengangkatan. Hampir setiap hari Jumat, banyak orang berkumpul untuk melihat Thresia terangkat tinggi ke udara dan tergantung dalam bentuk salib di dinding kamarnya. Seperti St Padre Pio, Thresia juga mengalami stigmata.

Rumah Doa
Pada 1903, Thresia meminta izin uskupnya untuk membangun sebuah rumah doa. Namun, sang uskup, Mgr John Menacherry, Vikaris Apostolik Trichur (Syro-Malabar), tidak langsung mengiyakan. Ia menyarankan, agar Thresia bergabung dengan kongregasi yang sudah ada.

Thresia pun menuruti petuah sang uskup. Ia ikut hidup bersama para suster Fransiskan. Lantas, ia juga pernah tinggal di biara para suster Karmelit. Tapi rupanya panggilan Thresia bukan di situ.

Sepuluh tahun berselang, Mgr John Menacherry melihat kegigihan Thresia mempertahankan kehidupan rohaninya. Ia pun memberi lampu hijau bagi Thresia untuk mendirikan rumah doa sendiri. Bersama sohib pada masa kanak-kanaknya, Thresia memulai kehidupan doa dan matiraga di rumah doa yang baru. Komunitas kecil ini juga terus melayani mereka yang sakit, miskin, dan menderita, tanpa memandang kasta dan agama.

Satu tahun kemudian, 14 Mei 1914, Kongregasi Keluarga Kudus resmi berdiri secara kanonik. Thresia diangkat sebagai pemimpin pertama bersama Pastor Joseph Vithayathil sebagai pendamping religius.

Saat Sr Thresia wafat, kongregasi ini beranggotakan 55 suster, memiliki 30 asrama putri, dan sepuluh panti asuhan. Saat ini, kongregasi memiliki lebih dari 1500 suster dan 119 novis, yang berkarya di 176 rumah komunitas di tujuh provinsi. Selain berkarya di Kerala, kongregasi ini juga melayani di India Utara, Jerman, Italia, dan Ghana.

Orang Suci
Suatu hari, Sr Thresia mengalami luka di kakinya. Mula-mula, ia tak menghiraukan luka itu. Tapi nyatanya luka itu tak kunjung sembuh, karena diabetes akut yang sejak lama ia derita. Kondisi kesehatannya pun kian terpuruk. Pada 8 Juni 1926, sepanjang hari, ia mendaraskan doa, “Yesus, Maria, dan Yoseph, aku mempercayakan hatiku dan tubuhku ke tanganmu yang penuh kasih.” Tepat pukul sepuluh malam waktu setempat, ia menghembuskan napas yang terakhir dan pulang ke rumah Bapa.

Sejak hari itu, orang-orang yang melihat dan mengalami kesaksian hidup Sr Thresia, meyakini bahwa ia orang suci. Selang 45 tahun setelah wafatnya, sebuah komisi sejarah dibentuk untuk mengumpulkan bukti mengenai kehidupan rohani Sr Thresia. Pada 28 Juni 1999, Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Hamba Allah Mariam Thresia telah mempraktikkan kebajikan Kristen secara heroik. Dan pada 9 April 2000, ia dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Ia diperingati setiap 8 Juni.

Pada 12 Februari 2019, Paus Fransiskus melalui Kongregasi Penggelaran Kudus mempromulgasikan dekrit kekudusan Sr Thresia. Ia pun diangkat dalam jajaran para santa. Rencana, upacara kanonisasi akan digelar 13 Oktober mendatang.

Y. Prayogo

HIDUP NO.29 2019, 21 Juli 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini