Mendandani Ruang Liturgis

700

Dalam pengalaman pemahaman bahwa dekorasi adalah “mendandani altar” membuat para pendekor atau artis-florist asal-asalan dalam mendekor. Penting bunga warna-warni ditancapkan, dekorasi selesai. Banyak umat tidak punya pemahaman akan fungsi dekorasi dalam perayaan liturgi. “Salah satu fungsinya adalah untuk menghiasi dan menghormati Sang Mahasuci, yang hadir di tengah dan bersama umat-Nya,” ujar Pastor Riston.

Agar mencapai kesederhanaan dekorasi liturgis yang luhur, maka perlu sosialisasi liturgi kepada umat. Hal ini menjadi penting agar ada kesamaan pemahaman soal fungsi dekorasi dalam liturgi. Sejauh ini, banyak paroki yang “diam” dan kurang sosialisasi terhadap fungsi dekorasi ini. Pun ada sosialisasi, hanya sebatas cara merangkai bunga yang benar bukan penjelasan soal tuntutan Gereja terhadap dekorasi liturgis.

Persembahan Diri
Sudah hampir 13 tahun bertugas di Keuskupan Manokwari Sorong, Pastor Zepto Polii mengakui pengalaman umat terhadap dekorasi liturgi sangat minim. Ia mengingat, saat pertama kali menginjakkan kaki di Papua, dan ditugaskan menjadi Kepala Paroki St Paulus Fakfak, ia menyaksikan dekorasi liturgi masih menggunakan bunga plastik.

Pikiran umat sangat ekonomis. Mereka tidak ingin membeli bunga hidup setiap minggu. Selain mahal, lebih praktis membeli bunga plastik beberapa macam sesuai masa liturgi. Cara ini dapat menghemat pengeluaran paroki.

Atas pengalaman ini, timbul keinginan di hati Pastor Zepto untuk mau mengubah pola pikir umatnya. Dalam setiap khotbahnya, ia mencoba memberi pengertian akan makna dekorasi liturgi yang sesungguhnya. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, Pastor Zepto menjelaskan, bahwa bunga bukan sekadar kiasan, tetapi memiliki arti yang mendalam sebagai persembahan diri.

“Mereka membawa bunga yang mekar dari kebun atau pekarangan ke gereja sebenarnya menunjukkan persembahan diri kepada Tuhan. Maksudnya adalah bila bunga itu asal-asalan, maka Tuhan juga memberikan rahmat yang asal-asalan,” ujar imam yang kini menjadi Kepala Paroki St Albertus Agung Teminabuan, Sorong, Papua ini.

Imam Keuskupan Manado ini mengatakan, dekorasi liturgi itu tidak harus menggunakan bunga-bunga berwarna-warni dan mahal. Bisa menggunakan daun, cabang, ranting, atau jenis pohon lainnya yang bisa membuat indah liturgi. Sebab mencari bunga-bunga yang lazim dipakai pada hari Minggu untuk wilayah Papua sangat susah. “Bunga-bunga altar di Papua khususnya paroki kami selalu menggunakan flora nusantara khas Papua,” ujar Pastor Zepto.

Selain itu, pastoral nyata yang dibuat Pastor Zepto terkait dekorasi liturgis ini adalah mewajibkan setiap pekarangan gereja dan pastoran untuk ditanami bunga. Bila ada tanah kosong di halaman gereja, maka umat harus menanam bunga. Bunga-bunga itu kemudian dipakai untuk dekorasi altar atau ruang gereja.

Pengalaman yang sama juga dirasakan oleh Kepala Paroki St Yohanes Rasul Somohitan, Turi, Sleman, Yogyakarta, Pastor Koko Puji. Dikalangan umatnya, ia dikenal sebagai imam yang cukup ketat soal dekorasi altar. Ia melihat lebih sisi antropologis oleh perangkai bunga dalam kaitan dengan penghayatan spiritualitas.

Menurut Pastor Koko bunga punya peran khusus dalam kebudayaan manusia. Banyak kelompok masyarakat di berbagai zaman dan tempat berbeda punya persepsi yang hampir sama tentang bunga. Dalam proses itu, manusia menggunakan bunga untuk mengungkapkan dirinya, relasinya dengan orang lain. Bunga ikut menyamarakan pengalaman hidupnya, atau juga bisa menopang keprihatinan seseorang.

Dalam pengalaman seorang pendekor, bunga bisa disebutkan memiliki makna sakramental, yang bisa mempertemukan Tuhan dan manusia. Rangkaian hasil karya perangka bunga menjadi ekspresi dari relasinya dengan Tuhan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini