Ignatius Hapsoro Wirandoko : Saatnya untuk Melayani

516
Ignatius Hapsoro Wirandoko.
[Yohanes Muryadi]

HIDUPKATOLIK.com – Sebagai dokter dan dosen, ia nyaris tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga. Namun, hidup dan aktivitasnya berubah total sejak sang istri mengalami musibah. Ada hikmah untuknya.

Pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 25 Pebruari 1972 ini bersyukur menikahi Sisilia Tri Purnomo. Selama menjalani biduk rumah tangga, Hapsoro menilai, sang istri merupakan figur pendamping hidup yang amat rajin serta penuh tanggung jawab. Seluruh pekerjaan rumah, mulai dari mengurus anak hingga mengatur keuangan keluarga, tertangani secara baik.

Saking sang istri begitu rajin dan telaten mengurus rumah dan keluarga, Hapsoro tak lagi memikirkan semua urusan tersebut. Ia tahu semua perkara itu pasti bakal beres. Dengan begitu, Hapsoro bisa fokus kepada pekerjaannya sebagai dosen dan dokter. Namun, ia mengaku, situasi tersebut perlahan-lahan membentuk pribadinya menjadi egois.

Hapsoro memandang mengurus rumah, anak, serta suami itu mudah. Tak seberat pekerjaannya sebagai dokter dan dosen. Karena itu, bila ia menemukan suatu hal di rumah yang tak beres atau tak sreg di hati, kendati kecil sekali pun, Hapsoro lekas naik pitam kepada sang istri. Ia tak mau tahu kesulitan yang dialami kekasihnya itu. Namun, ada satu kejadian, yang membalikkan 180 derajat pandangan dan sikapnya.

Buah Mangga
Hapsoro tak pernah bisa melupakan peristiwa pada 11 Mei, tujuh tahun silam. Sewaktu tinggal di Semarang, Jawa Tengah, di depan rumahnya tumbuh pohon mangga. Pohon itu berbuah lebat dan banyak yang telah masak. Hapsoro tergoda untuk mencicipi buah tersebut. Ia buru-buru mengambil tangga dan menyadarkannya ke sisi atap rumah. Hapsoro berpikir, dirinya bisa leluasa memetik mangga dengan berpijak di genteng.

Keluar dari rumah, Tri terkejut suaminya sudah berada di atas loteng. Ia khawatir sang suami jatuh. Tubuh Hapsoro yang gemuk menambah kecemasan Tri. Ia takut atap rumah tak mampu menahan berat tubuh sang suami. “Pa, saya yang manjat. Papa kan gemuk. Nanti atap tak mampu nyangga badan Papa,” kata Tri, mengenang.

Hapsoro pun turun, Tri menaiki anak tangga. Ia berdiri di atas atap rumah. Satu persatu mangga yang sudah dipetik, dilemparkan ke bawah, dan Hapsoro menangkapnya. Mereka sangat asyik, kegirangan. Sampai suatu ketika, brak, atap tumpuan kaki Tri ambruk. Ia jatuh . Tri pingsan seketika. Hapsoro memegang kaki isterinya . Semua dingin. Hatinya berdesir. Ia buru-buru membawa sang istri ke RS.

Hasil rontgen menunjukkan, ada beberapa ruas tulang belakang Tri rusak. Akibatnya, kedua kaki Tri lumpuh total. Hapsoro lemas menerima penjelasan itu. Meski sebelumnya ia telah menduga begitu memegang kedua kaki sang istri terasa dingin.

Ketika Tri siuman, ia berusaha menguat kan batin Hapsoro. Ia meminta sang suami tak usah terlalu khawatir dengan dirinya. Tri juga bercerita, dirinya sempat bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia seperti melayang di udara. Begitu hendak menginjak tanah, sang suami memapah tubuhnya. Sehingga kaki Tri tak menyentuh tanah. “Saya merasa enak sekali karena tak terantuk tanah,” ujar Tri.

Mendengar cerita sang istri, perasaan Hapsoro hancur berkeping-keping. Sebab ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, pendamping hidupnya akan lumpuh seumur hidup. Ia harus pakai kursi roda. Terbayang yang harus dilakoninya.

Berubah Total
Sejak kejadian yang merundung Tri, cara hidup Hapsoro berubah total. Kalau dulu ia tak pernah menyentuh urusan rumah tangga, kini ia harus memikirkan dan melakoninya, terutama merawat sang istri dan buah hati. Ia harus bangun sepagi mungkin, bergegas pergi ke pasar dan memasak. Menyiapkan makanan untuk istri, bekal untuk anak dan mengantar ke sekolah, lalu buru-buru pergi mengajar.

Sekembali mengajar, ia lekas pulang untuk melihat dan merawat Tri serta anak-anaknya. Pada sore hari, dokter Hapsoro menerima pasien di klinik di rumahnya. Kegiatannya begitu padat. Sampai ia merasakan, satu hari dengan 24 jam terasa amat kurang. Sebab, masih banyak yang ingin ia lakukan, terutama untuk keluarganya.

Ia tak menampik, pada ujung hari, ia merasakan lelah luar biasa. Biasanya, untuk melepas penat, ketika seluruh anggota keluarga telah lelap, Hapsoro memetik gitar dan bersenandung di halaman rumah. Saat-saat itu juga ia gunakan untuk merefleksikan hidupnya. Ia tak menyangkal, dirinya sempat bertanya kepada Tuhan ikhwal musibah yang menimpa sang istri.

Hapsoro mengenang, Tri juga pribadi yang lincah. Ia aktif di masyarakat dan gereja. Namun, semua itu akan sebagai kenangan. Tri kini lebih banyak di tempat tidur dan di kursi roda. Ia tak lagi melakukan pekerjaan seperti dulu. “Tuhan ampunilah kami. Tuhan tolonglah kami,” pintanya, sembari berlinang air mata.

Untuk menimba kekuatan dari Tuhan, ayah tiga anak ini senantiasa berdoa, membaca Kitab Suci, dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Kadang, ia mengajak istri dan anak-anaknya untuk saling meneguhkan. Tiap pagi, umat Paroki Bunda Maria Cirebon, Keuskupan Bandung ini juga mengajak istri dan putra bungsunya yang baru TK untuk mengikuti Misa.

Setiap kali, Hapsoro harus membopong istrinya untuk segala keperluan, mulai dari bangun tidur hingga beranjak ke peraduan. Caranya, ia dan sang istri berhadap-hadapan. Tri melingkarkan kedua tangannya di leher Hapsoro. Kemudian tangan Hapsoro memegang belakang lutut Tri dan mengangkatnya.

Aktivitas ini berkali-kali ia lakukan dalam sehari. Sering Hapsoro menitikan air mata karena kasihan dengan kondisi yang dialami istrinya. Tri juga merasakan hal yang sama. Ia tak tega melihat kegiatan suaminya terganggu karena dirinya. “Maafkan saya ya Pa. Saya sangat merepotkan Papa,” ujar Tri, lirih.

Hapsoro tak menjawab. Ia merangkul sang istri dan membenamkan wajah Tri secara lembut di dadanya.

Mengatasi Keterbatasan
Hapsoro tak habis dibuat takjub oleh sang istri. Kendati gerak terbatas, Tri tak ingin menyerah dengan keadaan. Di atas kursi roda, ia terus berusaha beraktivitas seperti biasa. Ia memasak, membuat kue, membersihkan rumah, dan menemani putranya belajar. “Istri saya sungguh luar biasa . Dengan segala keterbatasannya, ia tetap rajin bekerja,” puji Hapsoro kepada Tri dengan mengacungkan jempol.

Lewat olah rohani, Hapsoro dan Tri tegar menjalani ziarah kehidupan. “Di depan altar, kami telah berjanji untuk setia dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, sekarang ini saat untuk mewujudkannya,” ungkapnya.

Hapsoro menerima keadaan dan menjalani semua itu secara legawa. Ia meyakini, “salib” yang sedang dipikul keluarganya merupakan jalan menuju keselamatan, terutama bagi dirinya. Ada hikmah juga untuk pribadinya. Bila dulu ia lebih sering dilayani, kini saatnya untuk melayani. “Tuhan, saya terima salibku…Berilah aku kemampuan untuk memanggulnya. Aku yakin, jalan salib ini adalah jalan keselamatan dan kebahagiaan bagiku,” pungkas anggota Komunitas Pria Sejati Katolik Cirebon ini.

Yohanes Muryadi

HIDUP NO.25 2019, 23 Juni 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini