Peziarahan Senja

312

HIDUPKATOLIK.com – Apa benar setiap potongan senja hanya menghantar kita pada gelapnya malam? Katamu, mozaik cinta kita akan terus menerabas pagar-pagar keterbatasan, menggapai sulur-sulur kebahagiaan.

“Ada banyak orang membutuhkanmu, mengagumimu dan menyayangimu,” kata bapak sewaktuku masih belia.

Aku pikir, aku ini cenderung pendiam, agak galak dan suka membandel dengan segala anjurannya. Jadi wajarlah bapak cukup getol dan tak pernah kapok-kapoknya menasihatiku dengan segala macam cara yang bisa ia lakukan. Tak pernah ia kehabisan akal apalagi kesabaran dalam menasihatiku, meski caranya cenderung rewel karena aku ini tak pasti memperdulikan anjurannya.

“Anya, kau ini mirip sekali dengan ibumu. Bapak yakin dia ada bersamamu, mengisi kekosongan hatimu. Tapi Maafkan bapakmu ini yang mungkin semakin tak becus mengurusimu, sementara dirimu sudah sangat matang untuk memahami ketidakmengertianmu tentang masa lalumu. Janganlah kau mencemaskan aku lagi, sebab ragaku memang akan hancur menghantam tanah.”

Berkali-kali ia menggemakan kata-kata ini sejak aku pindah ke Jakarta menjawab mimpiku menjadai akuntan. Kata-katanya persis. Tak sedikitpun ada yang berubah.

Dibelenggu ketidakmengertian tentang diri sendiri ternyata sangat melelahkan. Tapi, aku sudah terlanjur mengutuk kata-kata manis bapak. Bahkan, sekarang ini aku makin berjarak dengannya. Setidaknya sampai hari ini selumbar kekecewaan di mataku sudah tak kuat menampung basa-basinya. Ayahku pembohong, pikirku.

Paparan senja begitu genit memoles pori-poriku. Melumat padang rumput yang tampaknya lebih kering dari biasanya, seraya menyapa para pekerja proyek bangunan di pojok lapangan ini agar mereka menyudahi pekerjaannya dan kembali ke rumahnya masing-masing. Dan aku masih bersandar pada kokohnya batang damar, menghirup tipis-tipis selimut angin musim, sambil mewanti-wanti datangnya embun malam yang mungkin akan menusuk tulang-tulangku. Bola matahari sudah di ujung cakrawala dan deretan lampu taman mulai benderang.

Bising tawa anak kecil perlahan hilang. Pertanda bahwa para orang tua tak ingin anaknya ditelan malam. Padahal angkasa di ibu kota masih bisa memanjakan mata, kalau kita mau, walau awang-awangnya tak lagi tampak membiru, seperti hamparan samudera luas.

Dulu, sewaktu aku masih ingusan, bapak akan sangat senang jika bisa memboyongku ke alun-alun Magelang. Dialah makhluk pertama yang mengenalkanku tentang bagaimana rupa senja itu.

“Cahyanya genit memanjakan mata, memeluk tubuh-tubuh manusia yang berpengharapan,” bisiknya padaku saat matahari benar-benar tak lagi tampak.

Bapak mengerti kalau aku akan sangat merasa nyaman jika ia membiarkan bahunya menjadi singgasana kepalaku yang mungil, dan sebetulnya masih menyimpan ketidakmegertian yang terus mengakar hingga tak bisa terkatakan. Jadi, ia tak pernah mengelakkan bahunya demi aku. Tetapi, tahukah bapak akan ketidaktahuanku? Mungkin ia tahu. Mungkin juga ia tidak tahu sama sekali. Atau justru, bapak itu sebenarnya sedang berbicara kepadaku dalam rupa senja ini. Sejak saat itulah aku jadi sangat sering menunggu kapastian dari senja, mengharap hadirnya jawaban atas kebingunganku selama ini. Ya, selama ini. Sampai hari ini. Dan sekarang, kepada senja, aku sedang mengadu rasa.

Tiba-tiba cahaya keemasan mulai surut tersapu tebalnya awan hitam, yang tak sabar ingin dengan segera menumpahkan titik-titik airnya ke bumi. Dedaunan damar yang masih hijau dan lebat itu mulai saling menyerempet dan tak kenal malu. Mirip seperti suami-suami di ibu kota yang kusadari hari demi hari cenderung hanya mengejar nafsu diri dalam kesibukannya masing-masing. Atau seperti para istri-istri, baik yang tua maupun muda, semakin senang bermain kata-kata dalam rumpi pergosipan. Tanpa ingin tahu ada yang tersakiti. Tapi aku tetap diam, terpaku rapuh dalam belaian kesunyian.

Semua sudah gelap. Tak mungkin juga ada bintang yang berani mengintip. Barisan kelabu yang tepat di atas kepalaku ini belum jua menumpahkan asinnya air laut. Tetapi, telaga di mataku sudah lebih dulu meluap menyeruak membanjiri pipi lebamku, karena tak tertahankan lagi segala hantaman tak menentu dari otak dan perasaanku. Mengapa malam begitu kelam? Mengapa senja yang genit itu lari meninggalkanku sendirian? Adakah hal lain selain barisan kelabu yang mulai mengisi kekosongan di dadaku? Di mana bahu bapak yang dengan tegar dan halusnya menabik perasaan yang berkecamuk di kepalaku? Sekarang, aku lebih persis seperti gelandangan tak berumah. Atau wanita jalang yang tak lagi mempersoalkan kesucaian badaniah, karena disesakkan oleh prahara untuk memenuhi gizi lima orang anak tanpa suami.

Barisan kelabu itu mulai mencengkeramku dan menghujaniku dengan rintik-rintik masa silamku yang membingungkan, menakutkan, membuatku jadi tak berpengharapan lagi. Jika sudah begini, untuk apa lagi aku memberi waktu kerjaku yang sibuk demi menggenggam potongan-potongan senja seperti yang sudah kulakukan bertahun-tahun bersama bapak atau tidak bersamanya. Rasanya diriku mulai disetir untuk tak lagi percaya akan omongan bapak, yang katanya “rasa bingung akan diri sendiri itu bisa dimengerti bersama peluk hangat senja.”

Halah. Sekelilingku makin sunyi dan hitam. Aroma comberan pun tiba-tiba mendarat di hidungku tanpa permisi. Gulungan-gulungan awan kelabu sudah sepenuhnya menutup angksa. Gemerlap kelabu inilah yang bisa-bisa malah meyakinkanku betapa senja akan kalah dengan pekatnya gumpalan kelabu yang melayukan mata setiap manusia.

Apa mungkin rupa awan yang telah menodai indahnya hamparan langit keemasan sore hari ini ingin mempertontonkan kepadaku betapa senja itu bisa berubah kelabu, dan bisa tidak mengabulkan segala yang diharapkan dan di nanti-nantikan para pendaki gunung. Aku baru tahu. Tapi mengapa bapak tak pernah menunjukkan kepadaku bagimana cara alam menodai eloknya senja. Apa bapak takut aku tak bahagia? Atau dia sebetulnya tak ingin aku mengetahui sebuah kebenaran yang disembunyikan entah oleh apa dan siapa? Lantas, apa dan siapa juga yang kucari?

Ini benar-benar menakutkan. Bukankah ketidakpastian lebih membunuh dari pada pembunuhan? Akankah sesuatu yang hitam-putih ini ada titik terangnya? Aku tak mau budi-jiwaku ikut termonopoli juga oleh sesuatu yang kelabu. Apalagi terkotak-kotak oleh sejarah yang membingungkan, menjatuhkan mental kepercayaan diriku sebagai seorang anak yang tentunya pantas untuk menagih hak dan kuasanya. Namun, semuanya sudah terjadi. Segala kebingungan itu nyata menyambutku diantara siang dan malam kali ini. Tak ingin dadaku semakin sesak, kubualkan saja sajak tentang hidup, yang dengan spontan mengalir lewat bibirku yang sudah meregang dan membeku.

*)Bosan aku dengan penat dan enyah saja kau pekat Seperti berjelaga jika kusendiri

***

“Pak, apa artinya jika senja berhasil membuatku tersenyum?” Gurauku seraya menyambar permen dari tangan bapak.

“Itu berarti di matamu ada selumbar keyakinan dan mungkin juga pengharapan?” Aduh, sulit sekali mencerna kata-katanya.

“Vania Agmaya, bapak ingin kamu bisa bersahabat dengan senja. Berbincang-bincanglah denganya, katakan semuanya dengan jujur apa adanya. Pasti hidupmu akan sedemikian indah bak pancuran sinar senja dari ujung langit itu, sekalipun kau memang harus tahu bahwa yang kelabu dalam dirimu bisa datang kapan saja. Tetapi tidak untuk hari ini, karena yang kelabu itu, yang disampaikan oleh alam sendiri kepadamu akan datang di waktu yang tepat, saat kau memang pantas untuk mulai mengetahuinya dan layak untuk…”

Apalagi yang harus kuketahui selain keyakinanku bahwa aku tak memiliki ibu. Ibu yang bagi banyak orang, termasuk aku, adalah landasan untuk memacu harapan dan bagian dari tiang jiwa seorang anak.

***

Pagi yang lembab menyapa datangnya langit lazuardi khas ibu kota. Ini hari minggu keempat pada bulan Juni. Saatnya aku menyambangi rumah bapak, memastikan ia sehat. Pasti dia sangat merindukanku sebagai anak perempuan semata wayangnya. Tiba saatnya nanti, aku mau menceritakan kepadanya kalau aku ingin berterima kasih pada sesuatu yang kelabu, gelap dan hitam. Karenanya, aku dibawa pada peziarahan mencari terang, peziarahan hidup ke depan.

Soal kebiasaanku tersipuh sendu menyaksikan senja hari demi hari harus usai.

Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau senja itu tak akan pernah bisa melerai perlawanan antara jiwa dan perasaanku sendiri. Sedangkan, antara senja dengan awan hitam diantara siang dan malam, malah punya andilnya sendiri dalam membantuku memetakan lagi dengan jeli tentang apa dan siapa yang kucari, menyadari bahwa aku belum pernah mendengar sepatah kata apapun dari ibu.

Bapak akhirnya juga bukan pembohong. Justru aku patut bersyukur. Dialah makhluk pertama yang mengenalkanku pada senja, meski aku pun mulai tahu bahwa ada hal lain selain senja yang justru membuatku bisa menerima kenyataan ini dengan lebih legawa.

*) “Tentang Seseorang”-AADC

Beda Holy Septianno

HIDUP NO.23 2019, 9 Juni 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini