“Nama istriku Pratiwi.” Bramantyo menyebutkan sebuah nama yang sangat akrab di telingaku. Nama yang tak pernah kuhapus dalam ingatan masa kecilku.
Kurasakan lututku mulai gemetar. Pandanganku mengabur karena air mata. Teringat kembali aku pada malam-malam saat Mbok Mah mengantarkan tidurku dengan cerita-ceritanya.
“Ibumu meninggal sesaat setelah melahirkanmu. Selama mengandungmu, ibumu itu sudah lemah jiwa dan raganya karena menahan rindu pada suaminya. Ibumu yang lemah tak sanggup bertahan saat mengalami proses melahirkan yang sulit,” kata Mbok Mah waktu itu.
Tak kuasa aku menahan air mata yang berguliran mengaliri pipiku. Kini aku paham mengapa sikap kedua eyangku sangat tertutup setiap aku menanyakan tentang kedua orang tuaku.
“Mereka sudah meninggal. Jangan tanyakan itu lagi. Sekarang kamu hanya punya eyang.” Begitu selalu jawab eyang. Mungkin mereka tidak pernah menyangka bahwa jaman telah berubah. Aku bisa mendapatkan informasi apa saja hanya dengan ketukan jariku saja.
Masih gemetaran, aku meraih tangan lelaki berambut putih itu. Kuciumi dengan penuh rindu. Lalu dari bibirku keluar kata-kata bercampur isak keharuan.
“Pak Bramantyo, Pratiwi itu ibuku. Anda… Anda ayahku.” Aku tak sanggup lagi menahan sesak di dadaku. Semuanya tumpah dalam tangis keharuan. Bramantyo menatapku dengan pandangan tak percaya. Kulihat bibirnya bergetar hebat. Lalu muncul genangan di kedua matanya.Ia melangkah mendekat.
“Kamu? Sungguhkah ini kamu putriku?” Suara Bramantyo tak kalah gemetarnya. Kuanggukkan kepalaku kuat-kuat. Lalu aku langsung menghambur dalam pelukan lelaki itu. Kami bertangisan dalam rasa sakit dan haru yang teraduk-aduk. Tak pernah kusangka dalam perjalanan hidupku, aku mencatat sejarah terhebat sore itu.
Tantrini Andang
HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019