Bramantyo lelaki yang misterius bagiku. Ia tak pernah memajang foto dirinya di bagian profil. Selain itu ia juga jarang membalas komentar-komentar yang bernada memuji karya-karyanya. Ia hanya membalas seperlunya, atau menjelaskan secara singkat jika ada yang ingin membeli lukisannya itu.
Kemisteriusan lelaki itu semakin nyata. Lukisan terbaru yang dikirim ke dinding akunnya itu membuatku penasaran. Bagaimana ia bisa melukis seorang perempuan dengan wajah yang sangat mirip diriku? Bukankah kami sama sekali tidak pernah bertemu? Aku juga ragu jika ia diam-diam mengintip akunku untuk mendapatkan fotoku di sana. Yang kutahu Bramantyo bukan jenis lelaki iseng yang mau menghabiskan waktunya untuk mengintip akun-akun lain.
Hingga hari ketiga sejak aku menuliskan pertanyaan di kolom komentarnya, Bramantyo belum juga menanggapinya. Kurasa aku tak bisa menahan diri lagi. Tanpa berpikir panjang, segera kususuri informasi tentang keberadaannya lewat foto-foto dalam akunnya.
Usahaku tak sia-sia. Kutemukan sebuah foto dalam akun facebooknya itu yang menggambarkan kondisi galeri lukisnya. Pada salah satu foto tampak sebuah rumah mungil yang asri dengan papan bertuliskan “Galeri Bramantyo”. Lalu tertulis sebuah alamat lengkap di bagian bawah papan nama itu. Alamat itu cukup jauh dari kotaku. Namun demi sebuah informasi, jarak ratusan kilometer itu tak membuatku surut langkah. Aku membulatkan tekad untuk menemui lelaki misterius itu.
***
Hari beranjak sore saat aku berdiri mematung di depan sebuah rumah mungil dengan tanaman hijau di sekelilingnya. Kulihat di bagian samping rumah itu terpasang papan kayu dengan tulisan “Galeri Bramantyo”. Aku tersenyum lega.
Sambil menenangkan debar jantung yang makin kencang, kulangkahkan kakiku memasuki halaman. Seorang lelaki setengah baya dengan rambut putih membingkai kepalanya membuka pintu depan. Ia memicingkan matanya saat melihatku. Aku menganggukkan kepalku sopan.
“Pak Bramantyo?” tanyaku sopan. Lelaki itu mengangguk pelan. Mendadak hatiku bergetar. Mengapa aku merasa tak asing dengan lelaki ini? Bukankah ia tak pernah memajang foto profilnya di akun facebooknya? Pandangannya masih tak lepas dariku. Kulihat bibirnya gemetar, entah mengapa.“Saya salah satu pengagum lukisan bapak di facebook. Mmmhh… saya… saya tertarik dengan lukisan bapak yang terakhir,” kataku agak terbata-bata.
“Kamu siapa?” tanyanya kemudian. Suaranya terdengar bergetar. Matanya masih menatapku lekat.
“Saya Triana,” jawabku. Lelaki bernama Bramantyo itu menghela nafas.
“Kamu… kamu sangat mirip dengan dia,” ujarnya masih dengan suara bergetar.
“Dengan model dalam lukisan bapak itu kan? Saya jauh-jauh datang ke sini juga karena ingin mengetahui itu. Mengapa model dalam lukisan itu sangat mirip dengan saya? Kita belum pernah bertemu kan?” tanyaku.
Bramantyo kembali menghela nafas. Tatapannya padaku tak juga lepas. Seolah ingin membandingkan secara detil wujud diriku dengan perempuan dalam lukisannya itu.
“Masuklah Triana,” katanya kemudian. Aku pun mengikutinya memasuki ruangan. Di bagian dalam ruang tampak lukisan yang membuatku tak bisa tidur itu. Lukisan itu masih bersandar pada easel berukuran besar. Wajah perempuan itu terlihat sangat detil. Tampak sekali Bramantyo melukisnya dengan penuh perasaan. Beberapa kali lelaki itu menghela nafas panjang, sambil memandangiku dan lukisan itu bergantian. Seolah ia ingin memastikan betapa miripnya wajahku dengan wajah perempuan dalam lukisannya itu.
“Dia perempuan yang sangat kucintai. Tapi orangtuanya tak merestui hubungan kami. Hampir tiga puluh tahun lalu, kami memutuskan untuk menikah tanpa restu. Namun itu hanya dua bulan. Mereka menemukan persembunyian kami. Lalu dia dijemput pulang. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi sejak itu.” Suara Bramantyo terdengar getir.
“Siapa nama perempuan itu, Pak?” Tiba-tiba tubuhku bergetar hebat saat menanyakan itu. Sesuatu yang selama ini gelap bagiku seakan menemukan sinar terang.Aku berharap dugaanku benar.