Yohanes Iwan Purwanto : Jalan Salib Perdamaian

306
Iwan saat melakukan Jalan Salib pada April lalu.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Ia berjalan kaki sejauh 33 kilometer dengan memikul salib dari kayu pohon waru seberat empat kilogram. Meski raga amat letih, banyak kebaikan yang ia alami sepanjang jalan.

Tatkala umat mengikuti Jalan Salib pada peringatan Jumat Agung pada April lalu, seorang umat Katolik di Klaten, Jawa Tengah berjalan menyusuri keramaian lalu lintas di Jalan Yogya-Solo, dengan memanggul Salib bertuliskan NKRI.

Mulai dari batas Kota Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta hingga batas Kota Tegalgondo, Klaten, sepanjang 33 kilometer, Yohanes Iwan Purwanto, menyempatkan istirahat di 14 armida Jalan Salib.

Aksi itu ia lakukan dari hasil permenungan bersama teman-temannya, pegiat budaya di daerahnya, antara lain Komunitas Kandang Banyu Udan, Kandang Luwak, dan Sapu Gerang. “Kandang Udan adalah komunitas pemerhati air hujan. Dulu, diperkenalkan oleh Romo Vincentius Kirjito,” tutur Iwan, saat ditemui di rumah kontrakannya, di Desa Nglinggi, Klaten Selatan, Rabu, 25/4.

Lintas Iman
Komunitas budaya yang ia sebutkan itu beranggotakan lintas iman. Ada Islam, Hindu, Kristiani, dan bahkan aliran kepercayaan. Kelompok budaya ini tak bisa tinggal diam dari kerisauan melihat gejala keterbelahan bangsa di tengah proses demokrasi.

Dalam konteks Pemilu, saat itu dirasakan bangsa Indonesia seolah terbelah antara kutub pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. “Diakui atau tidak, kita terbelah menjadi 01 dan 02. Energi bangsa selama kurun waktu (intens) tiga bulan terakhir terkuras di situ. Maka, butuh rekonsiliasi, perdamaian, untuk kembali bersama sebagai sebuah bangsa menatap ke depan,” tuturnya.

Jalan Salib yang dilakoninya itu sebagai simbol rekonsiliasi. “Dalam iman Kristiani, penyaliban Yesus untuk menebus dosa manusia, supaya manusia selamat dan menuju jalan damai,” katanya, berharap.

Salib yang ia pikul terbuat dari batang pohon waru setinggi 1,7 meter dan lebar 70 senti meter. Berat salib sekitar empat kilogram. Menurut Iwan, pemilihan pohon waru sebagai salib lantaran bentuk daun tumbuhan seperti jantung. “Lambang cinta,” jelasnya.

Mengenai tulisan NKRI dan bukan INRI seperti lazimnya tertera pada salib, bagi Iwan, dalam tradisi Yahudi, salib merupakan hukuman. Namun, Yesus melakukan evolusi spiritual. Salib adalah tawaran keselamatan dan perdamaian.

Pukul lima pagi, Iwan berangkat dari rumah kontrakannya. Rumah yang terletak di Desa Nglinggi, Klaten itu baru dua bulan ditempatinya. Tanpa diketahui tiga anaknya yang masih bocah, ia mengawali perjalanannya di Tugu Batas Kota Prambanan, di samping Taman Wisata Candi Prambanan.

Ia mengenakan celana pendek sebatas lutut berwarna hitam dan kaus putih serta kepala dibalut kain putih. Ia membalut badannya dengan kain ihram putih, pakaian tanpa berjahit yang dipakai oleh kaum muslim saat ibadah haji atau umrah. Ia juga membalut tubuhnya dengan kain berkelir merah. “Kain ihram yang saya pakai saat itu pinjaman dari teman diskusi yang baru saja menunaikan ibadah umrah, Mas Indit,” sebut Iwan.

Bukan Pertama
Ia sempat bercita-cita menjadi imam. Begitu lulus SMA, ia masuk Seminari Menengah St Petrus Kanisius Mertoyudan. Setelah itu, ia menjalani pembinaan iman sebagai calon imam Keuskupan Agung Semarang di Jangli Semarang dan Seminari Tinggi St Paulus Kentungan, Yogyakarta. Ia hanya sampai tingkat tiga di sana.

Menurut Yohanes Iwan, Jalan Salib yang dilakukan pada April lalu bukan yang pertama. Ketika hendak masuk seminari, ia pernah Jalan Salib dari kediaman orangtuanya di Tambaksari, Klaten ke Gua Maria Sendang Sriningsih, Prambanan. “Tapi waktu itu saya hanya memikul salib dari pring (bambu) kecil. Tidak seberat sekarang,” kenang suami Maria Theresia Ike Dian Puspita ini.

Kelahiran Klaten, 8 Mei 1976 memulai Jalan Salib dengan berdoa. Ia memohon keselamatan kepada Tuhan. Empat kilometer dari titik pemberangkatan dipilihnya sebagai lokasi perhentian awal. Perhentian selanjutnya adalah Pabrik Gula Gondang, Tegalyoso, Titik Nol Klaten, GOR Monumen Juang, RS Islam, Karangwuni, Terminal Penggung, Bangjo Kepoh, Pasar Delanggu, Pakis, dan berakhir di batas Kota Tegalgondo. “Ada empat belas perhentian, seperti Jalan Salib beneran. Tiap perhentian harusnya berdoa, tapi saya sulit mengungkapkan lewat kata-kata. Maka, saat perhentian sekitar waktu setengah jam itu saya manfaatkan untuk minum, peregangan otot, dan unjal ambegan (ambil nafas) saja,” ucapnya.

Iwan mengakhiri Jalan Salib-nya pukul 21.45. “Saya rasakan badan ini gerah, panas, capek banget, rasanya tidak karuan di perhentian kesepuluh. Sempat hampir tepar saya,” ungkapnya.

Sepanjang jalan melintasi rute Jalan Salib itu dirinya dikawal dua-tiga teman yang berboncengan sepeda motor dari jarak jauh. “Setelah melintasi Monumen Juang rupanya aksi saya mulai viral di media sosial. Menjelang malam, sesampai di Delanggu mulai banyak teman yang berdatangan dan mengawal saya, termasuk Banser NU dan komunitas sepeda onthel,” tuturnya.

Begitu Jalan Salib berakhir di perbatasan Boyolali, Iwan yang kondisi badannya sudah sangat lemah akibat keletihan, dijemput temannya dengan mobil. Memasuki halaman rumah harus jalan dengan cara dipapah oleh teman-temannya. Dan, ketika sampai di teras rumah, ia langsung menggeletakkan badan di lantai karena terkuras tenaganya dan merasa tidak kuat berdiri lagi. “Sehari penuh saya hanya bisa tiduran. Baru, dua hari kemudian mulai bisa jalan merayap dengan pegangan kursi,” kata jurnalis Metro TV ini.

Banyak Kebaikan
Ia mengenang, selama Jalan Salib, banyak orang menaruh perhatian dan menawarkan kebaikan kepadanya sepanjang perjalanan. Ada seorang pengemudi mobil yang melintas pelan di sampingnya mencoba untuk menawarkan minuman.

Ada juga perempuan berjilbab yang sedang naik motor, menghentikan kendaraaannya, dan menawarkan Iwan untuk memboncengnya. Bahkan, ada seorang ibu mengulurkan sejumlah uang kepadanya sebagai sangu perjalanan. “Saya cuma menjawab, ‘terima kasih. Mboten (tidak),” ungkap umat Paroki St Maria Assumpta Klaten, Keuskupan Agung Semarang ini.

Iwan bersyukur, aksi Jalan Salib-nya berlangsung lancar dan aman. “Padahal pas Jumat Agung itu, baru dua hari berlangsungnya Pemilu. Dalam melakukan aksi ini, sebelumnya saya izin ke Kantor Polres. Saya serahkan surat pemberitahuan ke Polres Klaten pada Rabu sore, setelah mencoblos Pemilu,” pungkasnya.

H. Bambang S

HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini