Pastoral Lain di Tengah Umat

336

Tetapi Pater Heuken terus berusaha dengan berburu bahan, membacanya, dan dari penelusurannya, ia merajut sejarah, lalu menuliskannya dalam puluhan buku. Tahun 1982, buku sejarah Jakarta pertama karyanya terbit dan laris manis di pasaran. Hingga kini, buku tentang sejarah Jakarta karyanya, antara lain: Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta, Menteng, Kota Taman Pertama Indonesia, Gereja-Gereja Tua di Jakarta, dan Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta.

Buku-buku Pater Heuken selalu menjadi rujukan atau panduan bagi berbagai pihak untuk mengenal, memahami, mencintai, dan pada akhirnya turut memelihara serta melestarikan begitu banyak tempat bersejarah di Jakarta. Pengenalan dan pemahamannya yang begitu dalam terhadap jejak sejarah Jakarta membuatnya sangat menghargai keberadaan tempat-tempat itu. Saat terlibat sebagai anggota Tim Pertimbangan Penasehat Bangunan Bersejarah dan Pemugaran DKI Jakarta era Fauzi Bowo, Pater Heuken tak pernah tawar-menawar soal pembangunan kota yang harus menghilangkan jejak sejarah pertumbuhan Jakarta.

Pastor Hueken mengatakan, baktinya pada Kota Jakarta, diakui sebagai hobi. Menelusuri jejak sejarah Jakarta ia lakukan sembari tetap melakukan tugas utamanya, menulis untuk Gereja. Ia mengatakan ketika ia suntuk mengerjakan tugas utamanya, menulis sejarah Jakarta menjadi hiburannya. “Tugas perutusan tidak selalu tentang agama,” ujar Pater Heuken. Semangatnya menekuni sejarah Jakarta mendapat dukungan dari Kongregasi Serikat Yesus Indonesia.

Demi menyokong proyek sejarah Jakarta ini, Pater Heuken bahkan mencari sokongan dana dari negara asalnya. Dedikasi Pater Heuken mendapat begitu banyak apresiasi dari dalam maupun luar negeri. Di usianya yang ke-90 tahun saat ini, Pater Heuken mengaku masih ingin menulis tentang sejarah Jakarta. Namun, ia katakan sepertinya itu tidak bisa terlaksana.

Kini, Pastor Hueken sedang mengerjakan tiga buku sekaligus tentang iman Katolik. Kekayaan Gereja tetap menjadi menjadi perhatian utamanya. Bila disuruh memilih, Pater Heuken tetap lebih memilih menulis tentang agama ketimbang sejarah.

Pemikir Persatuan
Tahun 2007, Pastor Franz Magnis Suseno SJ menggemparkan Indonesia. Ia orang pertama yang menolak menerima penghargaan Bakrie Award. Alasannya waktu itu, hal ini ia lakukan sebagai solidaritas dengan korban lumpur Lapindo, Jawa Timur. Ia beralasan, Grup Bakrie sebagai pemberi penghargaan itu, adalah perusahaan yang bertanggungjawab pada masalah lumpur Lapindo.

Sudah sejak puluhan tahun lalu, Pastor Magnis berstatus Warga Negara Indonesia. Meski berdarah Jerman, namun Pastor Magnis dikenal luas karena pemikirannya tentang persatuan dan kebhinnekaan Indonesia. Ia memperjuangkan pentingnya komunikasi yang baik di tengah masyarakat melalui dialog antar keyakinan. Persoalan intoleransi yang kian subur, menjadi keprihatinan Pastor Magnis. Ia juga dekat dengan kalangan pemikir Islam, salah satunya Gus Dur.

Pastor Magnis dipandang sebagai tokoh dengan kontribusi mendasar bagi dialog antar-keyakinan, baik dalam bidang sains dan akademik maupun diskusi publik. Ia juga dinilai telah berdedikasi tanpa lelah dalam advokasi terhadap toleransi antar-keyakinan di Indonesia. Inilah yang membuatnya mendapat penghargaan “Bhinneka Tunggal Ika Award 2017” oleh LKBN Antara dan Lembaga Pemilih Indonesia. Empat tahun lalu, ia juga mendapat Bintang Mahaputera dari Presiden Joko Widodo.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini