Jangan Nodai Jubahmu dengan Darahku

712

Siang itu, sehabis melayat, aku terbaring di kasur sambil memandangi langit-langit kamar dan beberapa kali membayangkan nasib teman lamaku itu. Kematiannya, bagiku misteri. Sebab sejauh ini tak ada tanda Ratih bakal bunuh diri. Ia bekerja seperti biasa. Aku sama sekali tak punya firasat bahwa kehidupannya akan berakhir sesadis ini. Meski tak punya hubungan apa-apa dengan Ratih tapi hubungannya dengan keluargaku baik-baik saja. Kadang ia membantu kalau ada acara selamatan. Biasanya waktu yang dihabiskan bisa satu hari penuh atau kadang dua-tiga hari. Itu sebabnya aku kenal baik dirinya.

“Omongan Ratih itu cuma cantolan. Itu cuma candaan. Tak usah percaya. Kematianya sangat disayangkan tapi siapa boleh melawan kehendak Yang Kuasa. Kita hanya boleh pasrah,” kata Wawan mendengar kabar yang kusampaikan.

Tiba-tiba suaranya terputus. Tak terdengar sahutan dari seberang. Handphone-nya dinonaktifkan seketika. Sejak itu aku tak mendengar lagi kabar tentang Wawan. Hanya beredar isu bahwa ia ke kota untuk cari uang. Tapi itu hanya kabar burung. Kebenaranya bisa disangsikan. Setelah itu tak ada lagi yang membahasnya.

Aku tak setuju pada pendapat Wawan. Meskipun ia kenal Ratih sebagai pacar tapi aku lebih mengenal Ratih, entah sebagai sahabat, juga karena ia dekat dengan keluargaku. Dari pengalaman-pengalaman itu, aku bisa menebak, pasti ada yang tidak beres. Aku yakin Ratih mengalami pengalaman menyakitkan.

***

Jenasah Ratih disemayamkan persis di samping makam kedua orangtuanya. Banyak orang berdatangan mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir. Aku mengambil tempat agak jauh dari lokasi pemakaman. Aku mencari-cari sosok Wawan. Aneh, Wawan tak nongol di sana, begitu pula ayahnya. Laki-laki tua yang diduga bakal jadi mertua Ratih.

Ibadat pemakaman dipimpin oleh frater TOR (Tahun Orentasi Rohani) paroki. Banyak orang merayakannya sebagai sebuah ibadat syukur tapi aku menyebutnya sebagai misteri. Misteri kematian Ratih.

Beberapa bulan setelah pemakaman, terdengar bahwa Wawan diterima sebagai frater pada sebuah biara kontemplatif. Informasi itu disampaikan lewat pengumuman resmi di gereja saat misa hari minggu. Lamarannya diterima setelah menjalani beberapa persyaratan. Oleh karena itu, kini Wawan adalah frater, begitu orang banyak menyebutnya. Beberapa orang memanjatkan doa di depan patung Bunda Maria, sebagai syukur. Tapi aku pergi menginggalkan gereja.

Sejak hari itu, Pak RT jadi rajin ke gereja, sering mengikuti doa di lingkungan dan aktif menghadiri acara-acara kegerejaan lainya. Hidupnya sudah saleh.

“Aku hanya bisa berdoa semoga Wawan bisa jadi imam. Itu harapanku sebagai seorang ayah,” kata Pak RT dengan tenteram pada sebuah acara doa bersama di lingkungan.

Umat yang hadir serentak membalasnya dengan senyuman puas. Beberapa orang menepuk bahunya dengan akrab dan hangat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini