Musim Kerawam

173

HIDUPKATOLIK.com – Menjelang Pemilu April lalu, hampir semua keuskupan mengadakan acara publik yang dikemas dalam bentuk diskusi, talkshow atau ceramah. Ada yang mengundang tokoh Katolik, tokoh agama lain, bahkan pejabat. Walaupun judul dan format berbeda, dua hal yang sama. Pertama, sedikit-banyak terkait dengan Pemilu 2019, dan kedua, bagaimana umat atau Gereja Katolik memosisikan diri. Orang Katolik diajak berpikir tentang politik. Dengan kata lain, orang Katolik dibuat demam kerasulan awam (Kerawam).

Bagaimana memahami demam Kerawam itu? Tentu kehadiran Pemilu menjadi pemicu demam itu. Sudah sejak tahun lalu intuisi politik kita diasah melalui Pilkada dan diharapkan berpuncak pada Pemilu lalu. Masalahnya, untuk hal yang amat penting itu, yakni tentang bagaimana kita terlibat mengurus negara, mengapa harus menunggu demam dulu?

Politik selalu mengandung unsur proses, baik secara pendidikan politik, lembaga politik, kepentingan politik, sirkulasi politik maupun komunikasi politik. Terkait proses, beberapa hal tidak bisa ditinggalkan. Proses butuh waktu dan orang yang berdedikasi. Apabila kegiatan berlangsung ujug-ujug, atau dilakukan semudah membalik tangan, segalanya tidak akan mendalam, mentah, dan kesan ikut-ikutan.

Memang, perlu disebutkan, pemahaman tentang Kerawam dewasa ini sudah jauh lebih maju. Gereja telah beberapa lama sepakat, sebagai fungsi, Kerawam adalah wadah dan sarana bagi hierarki dan umat berpikir tentang politik kenegaraan. Sebagai entitas (komisi atau seksi), itulah tempat klerus dan awamnya berpikir politis serta merencanakan sesuatu yang bersifat politis (tapi tidak bertindak politis). Adapun tindakan atau perilaku yang politis (politik praktis) dilakukan oleh awam (individual/ormas/orpol).

Untuk mampu melihat perbedaan antara berpikir politis dan bertindak politis saja perlu berlatih. Demikian juga ketika ingin mempraktikkan apa yang disebut berpikir dan bertindak politis, perlu konteks yang hidup dan apa adanya. Semuanya butuh waktu.

Hal itu bukannya tidak disadari penggiat Kerawam. Kerawam tanpa pemahaman politik dan kemampuan komunikasi politik dengan pihak eksternal, sama saja bohong. Masalahnya, terdapat empat hal yang menggelayut penggiat Kerawam.

Pertama, jumlah penggiat relatif sedikit. Di banyak paroki, Kerawam kosong, terkadang digabungkan dengan HAAK (Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan). Jika HAAK jua kosong, alhasil paroki setempat berkembang mengalir begitu saja, tanpa mata dan telinga. Jika ada apa-apa, yang muncul hanya kekagetan dan elusan dada saja. Kedua, terkait dengan yang pertama, Gereja nampaknya tidak menempatkan Kerawam sebagai fokus utama, apalagi satu-satunya. Ini ada benarnya. Menjadikan Kerawam sebagai fokus utama atau satusatunya bisa-bisa menjadikan Gereja tak berbeda dengan ormas atau parpol. Namun, bukankah proporsional kalau menaruh perhatian pada upaya pembinaan kaum muda untuk mau terjuan dalam politik? Sayangnya, hal itu pun tidak dilakukan.

Ketiga, ada pihak yang kemudian melihat Kerawam sebagai kegiatan sampingan. Sudah diberi dana kecil, jumlahnya tak tentu pula. Kesulitan penggiat Kerawam memperlihatkan “hasil” kerja mereka menjadi kesulitan besar saat negosiasi jika membutuhkan dana menyambangi para pemuka agama di wilayah masing-masing misalnya. Keempat, tidak semua Gereja ada di lingkungan yang membutuhkan reksa-pastoral Kerawam kuat. Di komunitas masyarakat Kristen yang mayoritas, misalnya, tentu tidak memiliki tantangan sekeras umat di lingkungan lain di mana mereka minoritas.

Kita mensyukuri demam Kerawam belakangan ini. Namun itu tidak benar dan tidak cukup. Yang benar, Kerawam merupakan kegiatan berkesinambungan. Mirip investasi sosial. Tidak cukup apabila Kerawam hanya mengambil bentuk diskusi, khususnya diskusi yang dilakukan menjelang Pemilu doang.

Adrianus Meliala

HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini